Belum Siap

26 24 1
                                    

"Kau ini lama sekali." Tangan kiri Saka menarik pergelangan tangan Mentari, mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Mentari hingga saling bertautan.

"Begini bukankah lebih baik?" Sepersekian detik Ia dan Mentari membiarkan tangan mereka terkunci hingga akhirnya Saka melepaskan kaitannya.

Mentari masih terpaku pada posisinya. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Apa kau selalu memaksakan kehendak?" Mentari mulai membuka suara.

"Tidak," jawab Saka dengan santainya.

"Lalu kenapa kau melakukannya padaku?"

Saka membenarkan posisi duduknya menghadap Mentari agar ia bisa melihat wanita itu dengan leluasa.

"Aku tidak memaksamu. Aku tahu kau pasti menerimaku sebagai teman, hanya saja kau masih ragu. Kau terlalu lama untuk berpikir dan aku tak bisa menunggu selama itu," ungkap Saka tersenyum ringan.

"Kenapa kau begitu yakin aku akan menerimamu, bisa saja aku menolaknya, bukan?" Mentari menatap wajah Saka mencari jawaban, seolah ia kurang puas akan penjelasan yang Saka lontarkan.

"Kau tak mungkin menolaknya, aku tahu itu. Kau butuh sandaran saat kau merasa lelah. Tidak usah menampiknya. Dengar, hatimu tidak setegar tubuhmu, kau bisa saja menjadikan keangkuhanmu sebagai tameng hatimu yang rapuh, tapi tidak denganku. Kau tidak bisa selamanya bersembunyi, kau harus membagi keluh kesahmu agar kau tidak merasa sendirian."

"Apa aku terlihat begitu menyedihkan?" tanya Mentari mengalihkan pandangannya ke arah danau. Menerawang jauh mengingat kembali hari-hari yang ia lalui selama ini. Tanpa semangat, tanpa tujuan hidup.

"Tidak jika kau mau bangkit dari keterpurukanmu. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi bukankan hidup masih harus berlanjut dengan atau tanpa masa lalu. Kau tidak bisa seperti ini terus menerus, kau harus bisa menunjukkan pada dunia jika kau memang pantas untuk memperjuangkanan hidup. Masa depan selalu menunggumu tanpa peduli masa lalumu." Saka memberi semangat pada Mentari agar ia mau bangkit dari kesedihannya.

"Masih pantaskah aku mendapatkannya setelah apa yang terjadi padaku?"

Buliran bening kembali terlihat di ujung mata Mentari bersiap untuk menumpahkannya. Jemarinya meremas ujung bajunya menahan rasa sesak di dada. Ia seperti dihimpit oleh ribuan batu besar yang siap menghancurkannya setiap saat jika teringat kejadian waktu itu. Sesuatu yang mengubah dunianya menjadi kelabu.

"Kau berhak mendapatkannya," kata Saka menjeda ucapannya, "apa kau tahu kenapa sampai saat ini kau masih berada di sini? Ini adalah tanda jika kau masih diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk memperbaiki kesalahanmu. Apa kau tidak pernah menyadarinya?" Ia mencoba meyakinkan wanita di hadapannya agar mau melangkah maju beranjak dari tempatnya. Selama ini Mentari hanya diam di tempat dan enggan untuk bergerak. Yang ia lakukan hanya menoleh ke belakang tanpa bisa kembali.

Mentari menoleh menatap wajah yang memperhatikannya sedari tadi. "Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya atau tidak?'

"Jika kau yakin, kau pasti bisa. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita punya kemauan." Saka menepuk bahu Mentari memberinya semangat. "Kalau boleh kutebak, orang yang ada di rumah itu adalah orang tuamu, bukan? Apa kau tidak ingin melihat mereka bahagia? Apa kau tidak mau melihat mereka tersenyum kepadamu? Apa kau tak merindukan mereka? Kupikir mereka juga sangat merindukanmu," lanjutnya lagi.

"Kau benar. Aku sangat merindukan orang tuaku, tapi aku tidak bisa memeluknya. Aku tidak bisa muncul ke hadapan mereka begitu saja. Aku takut ayah menolak keberadaanku lagi. Aku telah membuatnya kecewa sehingga ayah tak mau lagi menerimaku. Lalu apa yang harus aku lakukan jika ayahku saja tidak mengharapkan kehadiranku? Apa aku masih punya harapan untuk melanjutkan hidupku?"

HUJAN KEMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang