Rindu

24 24 4
                                    

"INU!" pekik Mentari seketika terjaga. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Nafasnya terengah-engah. Detak jantungnya berdegup sangat kencang. Diraih segelas air di atas nakas dengan cepat dan meneguknya sampai habis. Ia mencoba mengatur nafas yang memburu. Mimpi buruk itu lagi. 

Ia menarik kedua kaki, ditekuk, didekap dan menenggelamkan kepala ke dalamnya. Terisak dalam sepi sangatlah menyakitkan setiap mengingat kejadian itu. Waktu di mana dirinya sangat terpukul kehilangan seorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Sampai kapan ia harus seperti ini? Haruskah ia lari dan mencoba memulai hidup yang baru? Mampukah ia melakukan itu sementara dalam hatinya masih dipenuhi rasa bersalah?

Diusap pipinya yang sudah basah oleh buliran bening dari matanya. Tiba-tiba ia teringat akan Saka. Ingin sekali bertemu dengan pria itu untuk menumpahkan semua isi hatin. Saka benar, ia butuh seorang teman untuk mendengar keluh-kesahnya. Pemuda itu, bagaimana kabarnya? Sudah sebulan pria itu pergi. Tanpa disadari Mentari mulai merindukannya. Gaya bicaranya, cara meyakinkannya. Ya, meskipun sikapnya masih kekanak-kanakan, tapi dia mampu mengajak Mentari keluar dari lingkaran yang membelenggu. Sedang apa dia? Apa dia juga sama dengan Mentari yang sedang memikirkannya?

Ujung matanya melirik ke arah benda yang menggantung indah di kapstock belakang pintu. Segera ia turun dari tempat tidur dan berjalan meraih benda itu. Jacket berbahan jeans milik Saka. Keningnya berkerut. Bodoh. Kenapa dirinya sampai lupa tidak mengembalikannya sebelum Saka pergi? Sekarang bagaimana caranya ia memberikan baju itu? Sementara ia tidak tahu sama sekali di mana rumahnya. Tidak mungkin ia terus menyimpannya.

Tunggu, bukankah sebelum pergi, pria itu sempat memberinya alamat? Dengan berbekal alamat itu, ia yakin bisa menemukan tempatnya tinggal. Ya, benar. Ia segera mencari lembaran kertas yang Saka beri. Sial, ia lupa menempatkannya. Mentari segera mencari dimulai dari nakas, tidak ada. Di tempat tidur, nihil. Di meja rias juga kosong. Lalu di mana? Mungkinkah di lemari baju, sedikit ragu tapi ia tetap mencari. Dan benar saja, kertas itu ada di bawah lipatan baju. Kedua ujung bibirnya terangkat setelah mendapatkan apa yang ia cari. 

Maaf, bukan maksud Mentari untuk mencoba melupakan. Ia hanya ingin bahagia, ingin membuktikan pada semesta bahwa ia masih pantas untuk hidup lebih baik.

***

Deringan kencang menjalar ke seluruh ruangan tanpa henti. Bahkan ia akan terus mengeluarkan suara nyaringnya sebelum sang tuan menyadari keberadaannya. Terlihat pergerakan di balik selimut tebal berwarna kelabu. Tangan seseorang mulai bergerak mencari sumber suara yang memekakkan gendang telinga siapa pun. Tak butuh waktu lama untuk menemukan si pembuat onar.  Dengan cekatan salah satu jari menekan tombol yang membunuh seketika suara itu dan meletakkannya kembali ke atas nakas. Hening.

Setelahnya, kepala seseorang menyumbul dari persembunyian. Kesal karena mimpi indahnya terganggu hanya karena benda kecil yang merepotkan. Tubuhnya masih sangat malas untuk menyapa hari. Dengan setengah terpejam, dikucek kedua mata yang enggan menatap hari sembari melirik benda yang membuatnya terbangun. 

Menampilkan angka sembilan lewat beberapa menit.

"Masih pagi ternyata," gumamnya. Saka kembali menempelkan kepalanya pada benda empuk yang selalu menemaninya tidur guna melanjutkan mimpi yang terlewatkan.

"Apa? Jam 9?" pekiknya tiba-tiba. Ia terlonjak melempar bantal kesayangannya. Ia lupa jika hari ini ada janji dengan dosen pembimbing. Sudah terlambat, tidak, ia tidak boleh bermalas-malasan. Ia harus segera pergi. "Kenapa tidak ada yang membangunkanku?"

HUJAN KEMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang