Semenjak meninggalkan apartemen, tak sedetik pun Saka berhenti memikirkan Mentari. Hingga saat ini, tubuhnya terdampar di sofa panjang menghadap benda yang mempertontonkan manusia yang lihai melakoni sandiwara, pikirannya masih saja tertuju pada wanita itu. Sesekali ia melirik ponsel yang tak pernah luput dari jangkauannya berharap ada notifikasi yang sangat di tunggu.
Perubahan sikap Mentari membuat tanda tanya besar di kepalanya. Rasa hati ingin menanyakan langsung apa yang sebenarnya terjadi. Tapi logika menolak untuk melakukan. Alhasil, membuatnya uring-uringan tak jelas.
Diraihnya remote TV dan menekan tombol secara acak. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan menonton acara yang bisa menghibur dirinya. Berkali-kali menekan tombol, berkali-kali pula ia tak menemukan sesuatu yang menarik. Dilempar benda bertombol itu ke sofa. Ia mengacak rambutnya kasar karena gusar. Terdengar dengusan berat dari hidungnya. Tidak ada yang bisa membuatnya tidak memikirkan Mentari.
"Apa yang harus aku lakukan?" Ia mulai menyandarkan kepalanya di sofa. Memijit pelipisnya yang berat. Sepertinya ia butuh menyegarkan tubuh, menetralisir gejolak yang memenuhi pikiran.
Ia mengangkat pundak kemudian bergerak menuju dapur yang terletak di ruangan paling ujung. Mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Meleguknya sampai habis dengan sekali tarikan nafas. Pandangannya kosong menatap gelas yang sudah tidak berisi namun masih digenggamnya.
"Ada apa?" Terdengar suara yang mengejutkan kesendirian Saka. Ia menoleh ke sumber suara yang sangat dihafalnya.
"Tidak ada." Saka beralih berjalan ke meja makan dan duduk di salah satu kursi. Mengambil piring kecil dan mengisinya dengan sepotong cake buatan ibunya.
"Masih tidak mau cerita?" tanya Bu Erryna yang sekarang sudah mendaratkan tubuh di kursi makan sebelah anaknya.
Saka terdiam.
"Kau tahu?" tutur Bu Erryna menjeda perkataannya. "Dulu sebelum Ibu dan Ayah menikah, kami sering bertengkar. Layaknya pasangan muda pada umumnya. Tapi semua itu dapat kami selesaikan dengan hati terbuka. Apa pun masalahnya akan kami bicarakan. Tentang semua yang kami rasa tidak nyaman dan apa yang kami inginkan. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk hidup bersama." Bu Erryna mencoba mengingat kembali masa-masa yang pernah dilalui. Ia tahu, saat ini Saka sedang ada masalah dengan Mentari. Oleh sebab itu, ia sedikit menceritakan jalan cerita yang pernah dialaminya. Agar Saka mau dengan nyaman mencurahkan apa yang memenuhi pikirannya.
Saka masih terdiam.
"Hadirnya dirimu juga Tama menambah kehangatan dan kebahagiaan kami. Mempunyai keluarga yang lengkap ditemani anak-anak yang lucu seperti kalian," lanjut Bu Erryna yang tak luput menghiasi wajahnya dengan lengkungan indah.
"Tapi kalian berpisah tanpa aku tahu penyebabnya," sambung Saka cepat. Namun masih dengan suara datarnya. "Bisa Ibu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Seketika senyuman Bu Erryna hilang ditelan pernyataan Saka.
Bu Erryna menelan saliva dengan susah payah. Ia tak menyangka jika anaknya akan melayangkan pertanyaan itu alih-alih membahas kehidupannya sendiri.
"Bukankah sudah Ibu jelaskan dulu. Apalagi yang membuatmu ragu?"
"Penjelasan apa yang menguatkan alasan kalian harus berpisah hanya karena tidak bisa lagi hidup bersama?" tanya Saka merendahkan suaranya. Ia tidak mau menyakiti hati ibunya hanya karena mendengar suara keras dari mulutnya sebagai bentuk protes. "Seingatku, aku tidak pernah mendengar pertengkaran di antara kalian sampai kalian mengatakan perpisahan pada kami. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa kalian bodohi dengan alasan yang tidak bisa dicerna oleh kepalaku.
"Ibu tahu? keputusan konyol kalian berdampak pada kehidupanku juga Kak Tama. Tidak, Kak Tama yang lebih tersiksa dengan ini," tukas Saka.
"Maafkan, Ibu. Ibu tidak bermaksud untuk menyulitkan hidup kalian. Tapi Ayahmu juga Ibu memang harus mengambil langkah itu agar kami tidak saling menyakiti. Apa gunanya kami bersama jika tidak ada lagi rasa cinta yang dulu pernah kami bangun. Itu akan membuat kami semakin terluka."
"Cinta." Saka mengulang kata itu seolah mencari tahu maknanya. "Ke mana perginya cinta kalian?"
Bu Erryna menghela nafas. "Entahlah. Ibu juga tidak mengerti. Yang Ibu tahu, ketika kami sama-sama sibuk dengan dunia masing-masing, di saat itu pula kami mulai melupakan perasaan itu."
"Semudah itukah?"
Bu Erryna membuang nafas panjang. "Ibu hanya berharap takdir kalian tidak seperti apa yang kami alami."
"Mungkin aku bisa," jawab Saka sedikit ragu. "Tapi aku tidak yakin dengan Kak Tama."
"Maafkan, Ibu," sesal Bu Erryna yang tak lagi bisa menyembunyikan kesedihannya.
"Sudahlah. Semua telah berlalu, tak banyak yang bisa kita lakukan selain menjalani hidup lebih baik," kata Saka.
Bu Erryna berdeham. "Semakin hari kau tampak lebih dewasa. Apa ini ada hubungannya dengan Mentari?"
Mentari? Astaga. Ia melupakan apa yang sempat mengganggu pikirannya.
"Sepertinya aku butuh istirahat?" Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, ia memilih menghindar.
"Saka, kau belum menjawab pertanyaan Ibu!" Bu Erryna memutar tubuhnya untuk melihat Saka yang berjalan memunggunginya.
"Lain kali saja," ucap Saka tanpa menoleh dan terus melangkah menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, dihempaskan tubuhnya pada ranjang. Ia kembali menatap layar ponsel. Masih tidak ada tanda-tanda Mentari memberi kabar. Apakah wanita itu sudah lebih baik? Saka mendengkus ketika tersadar pertanyaan itu takkan pernah terjawab andai ia tidak menghubunginya.
Saka bangun dari ranjang. Tubuhnya mulai bergerak melangkah ke sana ke mari seperti setrika. Menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. Jalan pikirannya buntu. Ia memang harus memastikan jika Mentari baik-baik saja.
Jari tangannya mulai menggeser layar ponsel mencari kontak yang menjadi penghuni deretan nomor telepon beberapa bulan ini. Ditempelkan benda tipis itu pada daun telinga. Ia begitu tak sabar menunggu si pemilik ponsel mengangkat panggilannya.
"Cepat angkat, kenapa lama sekali?" Gemingnya menunggu respon dari seberang. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya sambungannya terhubung.
"Mentari, kau di mana?" tanya Saka begitu girang saat mendapat jawaban dari Mentari.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" Ia tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya setelah mendengar jawaban dari lawan bicaranya.
"Sendiri?"
"Tidak, bukan begitu maksudku. Entahlah," jeda Saka sambil menggaruk alisnya yang tak gatal. "Mentari, jangan terlalu lama berada di luar. Udara malam tidak baik untuk tubuhmu. Cepatlah pulang dan jangan lewatkan makan malam. Aku tidak mau kau sakit."
"Ya, aku memang berlebihan. Tapi aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Sampai nanti." Saka memutuskan sambungannya. Entahlah, dari sekian banyaknya pertanyaan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya ia ingin tahu apa yang terjadi di food court siang tadi. Tapi, ya sudahlah. Mengetahui Mentari tidak mengabaikannya lagi sudah membuatnya sedikit lega.
Ia menghempaskan tubuhnya keras ke atas ranjang. Sepertinya ia bisa tidur nyenyak malam ini. Ia tak bisa membayangkan jika wanita itu terus mengabaikannya. Bisa-bisa ia akan terjaga sampai esok hari. Mentari bagai pemandu yang memutar roda kehidupannya. Di saat sang pemandu menghilang, rodanya akan terhenti dan terjatuh. Konyol memang. Tapi itulah yang Saka rasakan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN KEMARIN
RomanceSaka adalah seorang mahasiswa yang tengah berlibur di sebuah desa terpencil. Di sana Ia bertemu dengan seorang gadis dingin bernama Mentari. Di mana gadis itu sedang tidak bersahabat dengan takdir. Akankah Mentari menerima keberadaan Saka?Mungkinkah...