Bab 2. TEMPRAMEN

62 33 27
                                    

Sudah sepuluh menit yang lalu Saka menginjakkan kaki di pinggiran danau. Matanya disuguhi pemandangan yang menawan setibanya di tempat itu. Dihirupnya dalam-dalam udara bebas yang menyejukkan. Benar apa yang dikatakan orang, tempat ini sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Sangat cocok untuk melepas kepenatan yang memenuhi rutinitas sehari-hari. Tempat ini memberikan kenyamanan tersendiri bagi para pengunjung untuk melupakan sejenak masalah yang mereka hadapi.

Tercium aroma khas tanah yang masih lembab. Sepertinya beberapa waktu lalu danau ini sempat diguyur hujan lebat. Saka tampak menengadahkan kepalanya memperhatikan langit yang terlihat sedikit tidak bersahabat. Mengingat bulan-bulan ini adalah bulan di mana musim penghujan masih berlangsung. Padahal jika dilihat dari waktunya, harusnya sudah berakhir. Namun, sepertinya sang dewi hujan enggan untuk enyah dari tempatnya.

Saka mulai menyusuri pinggiran danau. Airnya begitu jernih, ikan-ikan kecil berenang dengan bebasnya, beberapa tanaman air juga ikut mewarnai keindahan danau. Ia juga sempat melihat sebuah perahu kayu yang sepertinya biasa digunakan para pengunjung. Ia tersenyum puas. Tidak sia-sia ia berlibur ke sini. Tidak terlalu buruk pikirnya. Daripada ia harus mengisi liburan di rumah yang sangat membosankan atau nongkrong di kafe atau mall yang membutuhkan perjuangan melawan polusi yang tiada habisnya, serta kemacetan panjang yang sudah menjadi ciri khas kota-kota besar. Memikirkannya saja sudah membuatnya kesal.

Di tengah asyik menikmati keindahan danau, langkahnya seketika terhenti. Pupil matanya tertuju pada sesuatu yang tidak asing lagi baginya. Entah ini hanya kebetulan atau memang berjodoh? Ah, pernyataan itu membuat Saka pusing.

Yang jelas tak jauh dari tempatnya berdiri ada sosok yang pernah ia lihat saat dirinya akan menuju losmen. Wanita itu terlihat menerawang jauh ke arah danau. Penampilannya nampak sederhana namun anggun. Paras cantik dan menawan serta kulit putih mulus tanpa noda. Saka sama seperti kaum adam pada umumnya yang akan terpesona melihat wanita cantik. Tapi tidak ada niatan untuk menggoda. Hanya mengagumi saja, tidak lebih dari itu.

Baginya wanita itu sangat rumit jika kita mejatuhkan diri masuk ke dalam kehidupannya. Akan sangat merepotkan. Mereka sering membesar-besarkan masalah dan membuat kehebohan ke seantero dunia yang sebenarnya hanya sesuatu yang sepele. Bisa kalian bayangkan bukan, jika hal seperti itu akan membuang waktu dan tenaga tanpa hasil yang pasti. Sangat menyebalkan. Terkecuali ibunya. Beliau tidak masuk dalam kategori itu. Ia sangat menyayangi ibunya lebih dari apa pun.

Lama Saka memperhatikan sosok wanita itu dari jauh. Hanya diam tanpa ada pergerakan sedikit pun. Saka memperhatikan wajah wanita itu yang terlihat memendam sesuatu. Sesuatu yang sulit diartikan. Seperti menanggung beban yang amat berat. Entah apa yang sedang menimpanya.

Sekilas Ia teringat kala itu wanita itu tersimpuh di sebuah tempat peristirahatan terakhir dengan wajah sedihnya. Apakah karena itu alasannya memasang wajah murung? Orang tuanya kah, kerabatnya, atau kekasihnya? Entahlah, terlalu banyak pertanyaan dalam hatinya yang tidak akan mendapatkan jawaban pasti.

"Sial!" umpatnya dalam hati. Tiba-tiba ia merasakan rintikan air mengenai tubuhnya. Baru saja ia berjalan-jalan, hujan sudah menghadangnya. Tidak bisakah hujannya ditunda dulu? Ia masih ingin berlama-lama di sana. Terlebih lagi ada wanita yang membuatnya penasaran. Tapi, alam sama sekali tidak mendukungnya. Apa boleh buat, ia harus menyerah dan mencari tempat untuk berteduh. Ia sempat melirik di mana sosok wanita yang menyita perhatian dengan ekor matanya. Dan lagi. Entah ke mana wanita itu pergi, karena di sana sudah tak nampak lagi batang hidungnya.

Diedarkan pandangan ke segala arah mencari rimbanya. Namun nihil, tak seorang pun terlihat di tempat itu. Saka tak ambil pusing, diangkat kedua tangan untuk menutupi kepalanya dan segera mencari tempat untuk berteduh.

Melihat guyuran hujan yang semakin deras, tidak memungkinkannya untuk melanjutkan langkah kembali ke losmen. Mau tidak mau ia harus menunggu hujan sedikit reda. Untung saja ia tak lupa memakai baju panjang berbahan jeans, setidaknya tidak terlalu dingin dalam situasi seperti itu.

HUJAN KEMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang