Saka masih bergelung di balik selimut bermotif polkadot ketika terdengar decitan pintu kamarnya. Matanya terlalu malas untuk mengintip matahari pagi yang mulai menerobos melalui celah tirai yang tergerai indah menutupi jendela. Baginya menuntaskan tidur lebih baik dari menyambut hari libur dengan bangun lebih awal.
"Beri waktu sebentar lagi," gemingnya menggeliat ketika sinar matahari berbondong-bondong menyelimuti wajahnya yang polos. Ia berusaha menghalangi cahaya yang sangat menyilaukan mata dengan telapak tangan. Bola matanya mengintip seorang wanita tengah membuka tirai lebar melalui celah jemarinya.
"Sudah terlalu siang untuk sekadar bermalas-malasan." Wanita itu berbalik menangkap Saka tidak menggubris ocehannya bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia menggeleng kasar. Disibakkan kain tebal yang melindungi Saka hingga menampilkan kaos hitam polos menutupi dada bidangnya.
"Mentari, kau menggangguku," gerutunya sambil bergerak memunggungi Mentari yang tampak kesal.
"Hari libur bukan berarti harus bangun sampai matahari berada di atas kepalamu," omel Mentari tidak menyerah. "Besok masa sidangmu, bukan? Jangan sampai kau melupakannya dan tidak mempersiapkannya hari ini."
"Tapi_"
"Tidak ada kata tapi, Saka," sela Mentari cepat tak memberi kesempatan pada Saka untuk mengajukan alasan.
"Baiklah, baiklah. Aku bangun, kau puas?" Saka terpaksa menuruti perintah wanita itu karena jika tidak wanita itu akan terus membombardirnya dengan ocehannya yang khas.
"Bagus." Mentari memutar tubuhnya dan berjalan menuju jendela dan membukanya lebar-lebar agar udara pagi mengisi setiap sudut ruangan mengganti udara yang terperangkap semalaman. Dihirupnya aroma sejuk hingga memenuhi paru-parunya. Sangat menenangkan. Walaupun rasanya tidak sesejuk udara di tempat tinggalnya dulu. Ia sangat merindukan tempat itu. Matanya terpejam berharap dengan membayangkannya rasa rindu yang kian membesar bisa terobati.
Lamunan Mentari buyar ketika sesuatu telah melingkar dengan sempurna di pinggangnya. Ia sedikit terlonjak mendapati Saka tengah memeluknya dari belakang. Ia membuat pergerakan kecil untuk melepas lengan Saka agar laki-laki itu tidak menyadari jika degup jantungnya tiba-tiba tidak beraturan. Tubuhnya merinding ketika nafas Saka menyapu lehernya. Ia tidak nyaman dengan situasi seperti ini.
"Biarkan seperti ini dulu. Aku merindukanmu," bisik Saka yang kemudian menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Mentari. Menghisap aroma tubuh Mentari yang selalu menjadi candunya. Mempererat lingkarannya seolah hanya dia pemiliknya. Memaksa Mentari untuk menahan nafas agar tak melakukan tingkah konyol.
"Jangan seperti ini, ibumu bisa lihat," kata Mentari beralasan, "aku takut ibu berpikir macam-macam tentangku." Ia mencoba meyakinkan Saka agar mau melepaskannya.
Namun, memang dasarnya Saka semaunya sendiri. Ia tak bergeming sedikitpun. Bahkan ia tidak peduli jikalau ada yang melihatnya dengan Mentari. Ia hanya ingin menumpahkan rasa rindu yang siap meledak kapan saja. Wanita itu sangat sibuk akhir-akhir ini hingga membuatnya harus sedikit bersabar.
Dan sekarang, ia tak lagi bisa menahan gejolak yang memenuhi tubuhnya. Tidak. Bukan untuk memenuhi jiwa lelakinya. Ia hanya ingin memeluknya sedikit lebih lama. Tidak lebih. Karena ia tidak ingin merusak kepercayaan yang diberikan Mentari padanya.
"Terimakasih," ungkap Mentari pada akhirnya dengan mengelus punggung tangan Saka yang masih melingkar indah di pinggangnya.
"Untuk apa?" geming Saka tanpa membuka mata. Pikirannya masih tenggelam dalam imajinasi. Mentari mencoba melepaskan kaitan tangan Saka dan bergerak memutar perlahan hingga bola matanya bertemu dengan hazel berwarna hijau milik Saka. Bahkan jarak wajah mereka sangat dekat hingga Mentari bisa merasakan deru nafas Saka pada wajahnya.
Meski baru bangun dari tidurnya, ketajaman sorot mata Saka tidak pernah berkurang. Biarpun begitu, ada keteduhan di sana yang membuat pertahanan Mentari roboh perlahan.
"Terimakasih karena kau mau menungguku, mengertiku, meyakinkanku. Dengan segala kekuranganku, keegoisanku. Walaupun aku yakin aku tidak lebih baik dari wanita di luar sana yang jelas-jelas mengejarmu. Tapi kau tetap memilihku yang bahkan memiliki masa lalu yang..." Mentari tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena sesuatu membungkam bibirnya tiba-tiba. Matanya membelalak ketika dengan berani Saka menyatukan bibir mereka.
Mentari mendorong tubuh Saka hingga sentuhan mereka terpisah.
"Apa yang kau lakukan, aku belum selesai bicara," pekik Mentari. Tidak tahukah Saka jika tindakannya membuat jantung Mentari hampir lepas dari ikatannya. Yang berbuat malah terkekeh tidak berdosa. Menyebalkan.
"Itu karena kau membahas lagi yang tidak perlu dibicarakan. Dan yang tadi itu adalah hukuman untukmu," tukas Saka dengan santainya.
"Tapi,"
Cup.
"Saka, hentikan!" Mentari mundur selangkah menghindari Saka yang mulai menyebalkan. Menyela ucapannya dengan membungkam bibirnya dengan daging lunak miliknya. Ia terus membeo karena Saka terus mengganggunya dengan tingkah yang menurutnya konyol hingga ia membungkam mulut Saka dengan telapak tangannya.
"Aku bilang hentikan, kenapa kau masih melakukannya?" kata Mentari kesal. "Ibu akan marah jika melihatmu seperti tadi. Bukan hanya kau, Ibu pasti akan marah padaku."
"Tenang saja, tidak akan ada yang berani memarahimu." Saka meraih tangan Mentari yang bertengger di bibirnya. Menatapnya lembut dengan senyuman yang bisa melelehkan bekunya hati Mentari.
Ia memeluk Mentari erat sambil berbisik tepat di telinganya. "Dengan atau atau tanpa masa lalumu, aku berjanji akan selalu mencintaimu. Jadi jangan lagi kau merendahkan dirimu."
Hati Mentari terenyuh dengan pengakuan Saka. Dunia tidak adil, kenapa ia harus bertemu dengan orang sebaik Saka. Sementara dirinya hanyalah debu di balik daun kering yang tertiup oleh angin. Ia tak kuasa menahan genangan di ujung matanya. Menutupi wajahnya dan bersembunyi dalam dada Saka dan menghirup aroma tubuhnya sedikit membuatnya tenang.
****
"Ke mana dia?" tanya Saka ikut bergabung menonton acara TV bersama Ibu dan Mentari di ruang keluarga setelah menyelesaikan sarapannya. Matanya celingukan mencari sesuatu yang luput dari penglihatannya.
"Sudah pergi sebelum kau turun," jawab Erryna tanpa mengalihkan pandangan dari majalah favoritnya. "Dia terlihat buru-buru sekali."
"Sok sibuk," decih Saka. "Terus bekerja meski libur. Tidak bisakah dia meluangkan waktunya sebentar saja?"
Ibu menutup majalah sebelum menyahuti ucapan anak bungsunya. "Sudahlah, tidak perlu menyudutkannya. Siapa tahu memang ada urusan yang sangat penting. Lagi pula, dia sudah meluangkan waktu dan bermalam di sini. Sejak kepergiannya, baru semalam dia menginjakkan kaki di rumah ini. Sungguh kejutan dan Ibu sangat bahagia." Saka tak menampik jika hari ini wajah Ibunya terlihat berseri. Dalam hatinya, ia juga bahagia. Akhirnya kakaknya yang menyebalkan itu mau menemui Ibu.
Saka mendesah kasar. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tapi ia masih berharap keadaannya akan terus membaik.
Mentari yang sedari tadi memperhatikan obrolan ibu dan anak itu hanya bisa terdiam karena memang ia sama sekali tidak mengerti dengan sesuatu yang pernah mereka alami sebelumnya. Demi mengusir rasa canggung yang mendera, ia menyibukkan mulutnya dengan cemilan di dalam wadah bertutup yang selalu tersedia di meja. Meski kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak bisa ia ungkapkan.
Sejujurnya Mentari sangat ingin bertemu dengan Tama. Ditambah ketika ia datang tadi pagi, ia melihat ada mobil asing di halaman depan. Ia sedikit bersemangat untuk bertemu. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa bertemu dengan Tama. Apakah dia sama menyebalkannya seperti Saka? Tidak. Tidak ada niatan lain selain ingin bertemu. Mentari hanya ingin mengenal keluarga Saka lebih jauh. Hanya itu.
Dan ketika tahu Tama sudah pergi, Mentari sedikit kecewa. Tapi ia berusaha menutupi perasaannya, karena jika tidak, Saka dengan cemburunya akan terus bersikap menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN KEMARIN
RomanceSaka adalah seorang mahasiswa yang tengah berlibur di sebuah desa terpencil. Di sana Ia bertemu dengan seorang gadis dingin bernama Mentari. Di mana gadis itu sedang tidak bersahabat dengan takdir. Akankah Mentari menerima keberadaan Saka?Mungkinkah...