Di kala hati berada dalam titik kerapuhan, hidup seolah berubah menjadi kelabu. Seperti siang tanpa sang surya dan malam tanpa rembulan. Tiada sinar yang dapat menyinari hati yang terselimutkan kegelapan.Hingga semilir angin datang menawarkan kesejukan di setiap hembusan. Mencoba menghapus tinta hitam yang menodai isi hati. Tidak sepenuhnya, akan tetapi perlahan noda itu akan hilang seiring hembusan yang datang tanpa kenal lelah, mengembalikan dalam keadaan yang semestinya, menjadi seperti sehelai kertas putih tanpa noda.
Membawa mereka pergi meninggalkan jiwa yang terpenjara oleh sunyi. Biarkan angin membawa kedamaian untuk penghuni baru dan biarkan masa lalu menjadi kenangan tanpa harus menghapusnya.
Saka berjalan mendekati bibir danau, tangannya masih menggenggam jemari tangan Mentari yang mengekor di belakang. Wanita itu tak berkomentar apa pun mengenai hal yang akan dilakukan oleh Saka.
"Naiklah!" seru Saka pada Mentari.
"Apa?" Kening Mentari berkerut.
Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Saka memintanya naik. Ya, memang di depannya sekarang ada sebuah perahu kayu yang biasa digunakan untuk menikmati keindahan danau langsung dari permukaan air. Tapi, benarkah ia harus menaikinya. Sudah lama sekali ia tidak menggunakannya lagi. Ia sendiri lupa kapan terakhir kali menaiki perahu kayu itu.
"Apakah aku harus selalu mengulangi setiap perkataanku?" Saka berdecak kesal melihat tingkah Mentari yang tidak segera menuruti perintahnya.
"Bukan seperti itu, maksudku... untuk apa aku menaikinya? Apa yang akan kau lakukan?" Mentari sedikit cemas dibuatnya.
"Menghabisimu."
DEGG.
Mentari bagai dihantam dengan batu yang sangat besar, degup jantungnya tak karuan kala mendengar kata itu. Ia merasakan aura aneh keluar dari tubuh Saka. Suaranya terdengar sangat berat saat mengatakan kata mencekam itu. Apa yang sebenarnya terjadi pada Saka, kenapa tiba-tiba sikapnya begitu aneh.
"Aku akan membunuhmu dengan menggunakan perahu ini dan menenggelamkanmu hingga ke dasar danau sampai kau tak bisa bernafas dan tidak menampakkan tubuhmu lagi di permukaan." Saka menunjukkan wajah menyeringai yang membuat Mentari mundur perlahan.
"Kau..."
Mentari tak dapat menyembunyikan ketakutannya. Kenapa tiba-tiba Saka menjadi sosok yang menakutkan. Jelas-jelas pria itu mengajaknya untuk bersenang-senang tadi. Tapi kenapa sekarang dia mau membunuhnya. Apa ini mimpi?
"Kenapa kau terlihat ketakutan? bukankah kau menginginkannya. Meninggalkan semua masalahmu dan mengakhiri penderitaan yang kau alami. Aku akan membantumu menyelesaikannya dengan senang hati." Saka semakin menjadi-jadi menyudutkan Mentari.
"Tt, tapi bukankah kau mengajakku untuk..." Tiba-tiba lidah Mentari terasa kelu, ia tak bisa melanjutkan ucapannya kala sepasang mata cokelat milik Saka mengunci pergerakannya.
Wajah pria itu mendekat dan semakin dekat hingga menyisakan beberapa senti dari wajah Mentari. Bahkan Ia bisa merasakan deru nafas Saka yang menerpa wajahnya. Sedangkan Mentari hanya bisa menahan nafasnya berharap ia terbebas dari tatapan Saka yang sangat menakutkan itu. Ia seperti mengalami dejavu di mana ia berada dalam situasi yang sama.
"Untuk apa?" tanya Saka, "Kenapa kau tak melanjutkan ucapanmu, kau takut, hmm?" Saka maju perlahan yang membuat Mentari juga mengambil langkah mundur agar Saka tak menyentuh tubuhnya.
"Jangan mendekat, kumohon jangan menyentuhku." Suara Mentari sedikit bergetar tak bisa menyembunyikan kepanikannya.
Bukannya berhenti, Saka justru lebih gencar menyudutkan Mentari berusaha mengunci pergerakannya. Dan ya, Mentari tak dapat bergerak lagi saat tubuhnya menabrak sebuah pohon di belakangnya. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, ia semakin panik. Buliran bening mulai memenuhi mata bulatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN KEMARIN
RomanceSaka adalah seorang mahasiswa yang tengah berlibur di sebuah desa terpencil. Di sana Ia bertemu dengan seorang gadis dingin bernama Mentari. Di mana gadis itu sedang tidak bersahabat dengan takdir. Akankah Mentari menerima keberadaan Saka?Mungkinkah...