Sosok Bertopi Navy

0 0 0
                                    

Tubuh Mentari berakhir mendarat di tempat duduk yang melingkar dengan tiang menjulang tinggi di tengahnya. Permukaan yang halus mampu membuat siapapun yang duduk di sana nyaman karenanya.

Punggung Mentari bersandar pada tembok beton silinder warna putih menunggu Saka yang tengah bergabung membentuk satu barisan teratur dengan ujung yang di huni gadis berparas ayu. Sibuk menukar mata uang dengan kertas yang diburu para antrian.

Mentari menatap cemilan berwadah kotak dengan isi melebihi kapasitas yang ia beli sebelum terdampar di ruang tunggu. Ya, Saka mengajaknya menonton bioskop yang katanya ada film yang sayang untuk dilewatkan. Ia sempat menolak, namun seorang Saka selalu memakai jurus andalan agar Mentari mau menuruti permintaannya. Seperti biasa, Mentari kalah. Dan sepertinya pula ia perlu hiburan di tengah kesibukannya.

Detik selanjutnya, mata berkeliaran mengamati apa yang terjadi di sekitarnya. Banyak lalu lalang orang lewat di hadapannya seakan tidak menyadari keberadaannya. Kepalanya bergerak menoleh ke samping. Di sana ia mendapati segerombolan para gadis saling terkekeh seperti sedang menertawakan kejadian konyol di sekolahnya. Membully teman sekelasnya mungkin, atau berhasil mengusir guru menyebalkan yang selalu mengadakan kuis dadakan dengan jebakan mereka. Entahlah, yang jelas masa-masa seperti mereka memang masih gemar membuat ulah tanpa memikirkan akibatnya.

Pandangannya beralih pada suara menggemaskan yang merengek pada orang dewasa di hadapannya.  Seolah menginginkan pergi dari tempat yang dipenuhi orang-orang dewasa yang selalu bertingkah egois. Si orang dewasa yang ia tebak sebagai ibunya terlihat membujuk lembut gadis kecil yang usianya sekitar lima tahun itu agar menghentikan rengekan yang akan menjadi tontonan gratis para manusia di sana.

Dipandangnya lamat-lamat malaikat kecil yang mengeluarkan senjata ampuh di wajah gembilnya. Seakan mengingatkannya pada sesuatu. Sesuatu yang telah lama hilang sebelum sempat melihatnya. Dibuangnya nafas panjang membuang sesak di dada tiap kali menoleh pada masa lalu. Pandangan berakhir pada langit-langit berhiaskan neon di tiap sudut. Andaikan masa lalunya seputih bidang itu, mungkin ia tidak akan seburuk ini sekarang.

Hampir saja buliran di matanya melewati pembatas jika saja tidak ada yang menyenggol pundaknya. Dalam hati ia menggerutu, “tidak cukup luaskah tempat ini hingga harus mengganggu ketenangannya?” Namun di detik berikutnya ia sadar jika saat ini ia berada di tempat umum yang siapa saja boleh mengambil andil ingin berada di mana tak terkecuali tepat di sampingnya. Ia tak begitu mempedulikan siapa yang kini tengah menempel di lengan bagian luarnya. Mencari keberadaan Saka yang masih saja tak kunjung keluar barisan lebih baik ketimbang mencari masalah dengan orang yang tidak dikenalnya.

“Kau beruntung!” pergerakan Mentari terhenti ketika indera pendengarannya menangkap suara yang amat dekat. Suara yang begitu familiar. Tanpa menunggu otaknya memberi perintah, kepalanya menoleh pada sumber suara.

“Kau?” Ternyata orang yang tadi membuyarkan lamunannya adalah Viona. Gadis itu tidak menatapnya melainkan mengarahkan pandangan di mana Saka masih setia pada posisinya yang sesekali memeriksa keberadaan Mentari.

“Dia begitu mencintaimu. Aku tidak pernah melihat binar di matanya selama ini. Hadirnya dirimu membuat seorang Saka sedikit berubah.” Gadis itu menatap Mentari setelah mengakhiri ucapannya.

“Kau menyukainya?” Suara Mentari datar bahkan terdengar sangat tenang saat menanyakan sesuatu yang mungkin untuk sebagian orang adalah boomerang untuk sebuah hubungan. Tapi di usianya yang sudah tidak lagi mudah termakan situasi, membuatnya bisa mengatasi setiap gejolak di hati. Arah pandangnya pun tertuju pada Saka.

“Suka atau tidak, tidak akan pernah mengubah arah pandang seorang Saka berpaling melihatku,” imbuhnya. “Di matanya hanya ada dirimu, semua orang tahu itu.”

HUJAN KEMARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang