SAKIT

50 14 7
                                    

Malam yang paling menegangkan dalam hidup Bara. Ayah mondar-mandir di depannya dengan muka tegang. Ibu demam dan belum turun juga. Bahkan sempat mengigau, bicara banyak hal yang tidak jelas. Bara ingin membantu, tetapi Ayah mencegahnya. Besok ada ujian akhir di sekolah. Ya, Bara sebentar lagi akan lulus SD.

Tak bisa dihilangkan dari ingatannya, seorang suami yang pontang-panting merawat istrinya dengan sepenuh hati. Seperti apa pun kehidupan mereka sekarang, Bara selalu mencari kebaikan di antaranya, sehingga selalu bersyukur. Contohnya pemandangan yang dilihatnya sekarang. Kesetiaan Ayah pada Ibu tidak diragukan lagi. Begitu pula sebaliknya, Ibu tidak pernah mengeluh sedikitpun dengan hidup bersama Ayah.

Sepercik harap menyelusup dalam hati, semoga kelak dia mendapatkan jodoh yang bisa menerima dirinya sepenuh hati. Menerima pula kedua orang tuanya, bukan menerima dirinya saja. Aah, Bara menepuk jidat berharap kesadarannya kembali. Ibumu sedang sakit, Bar. Jangan halusinasi soal begituan.

Setelah semalaman terjaga, sampai Bara memaksa tidur di ruang tamu depan kamar orang tuanya, akhirnya Ibu membaik. Alhamdulillah, Bara lega. Dia mengusap keringat di dahi ibunya. Melirik sang ayah yang masih tertidur pulas di atas tikar tipis berbantal lengan, Bara mengambil kain batik untuk menyelimuti ayahnya.

Melihat jam masih menunjukkan pukul 03.40 Bara beranjak ke dapur kecil dekat kamar mandi. Ruangan yang disebut dapur itu, hanya terdiri dari kompor gas dua tungku yang bentuknya usang, tapi masih aman dipakai. Peralatan masak seadanya, tetapi cukup lengkap sebagai penunjang orang tuanya berjualan. Rak piring hadiah pernikahan masih berdiri kokoh di sudut samping meja kecil tempat mereka makan. Semua tertata rapi meskipun tanpa campur tangan sang ibu yang masih lemas.

Bara sebagai anak laki-laki sangat terampil menggunakan semua peralatan di sana. Memasak air untuk menyeduh teh, lalu tanpa canggung Bara memasak nasi. Anak seumuran Bara biasanya asyik bermain dan bergaul dengan teman sebaya. Tetapi Bara tanpa mengeluh melakukan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan orang tuanya.

Adzan berkumandang tepat setelah air teh dan nasi siap. Bara bingung tidak ada lauk untuk sarapan. Harusnya Ibu dan Ayah bisa langsung sarapan dan minum teh hangat.

"Sholat dulu, Bar! Nanti Ayah beli telur di warung. Jam segini masih tutup warungnya," ujar Ayah mengejutkan Bara. Sepertinya beliau sudah bangun sejak Bara kebingungan membuat lauk buat sarapan.

Semua penat dan lelah malam itu terbayar lunas dengan pulihnya kesehatan Ibu.

***

Alarm berbunyi kedua kalinya, tetapi Dania belum bangun juga. Mbok Yamin berkali-kali mengetuk pintu, tetapi tidak ada reaksi dari dalam. Dia bingung harus laporan ke Pak Bara atau tidak. Karena resikonya tidak bisa ditebak, majikannya itu bisa melakukan hal yang dia pikir mustahil terjadi. Contohnya saja dua pengawal yang ditugasi mengawasi Dania.

Baiklah, Mbok Yamin akan mengetuk sekali lagi. Kalau tidak berhasil juga, baru dia lapor ke penjaga suruhan Pak Bara dan minta kunci cadangan. Resikonya Pak Bara bisa saja akan melesat pulang secepat mungkin.

Mbok Yamin bergegas menemui dua pengawal yang sedang menikmati sarapan di dapur. Ada meja dan beberapa kursi disediakan untuk para pekerja rumah yang ingin makan dan minum dengan nyaman.

"Mas, minta kunci serep kamarnya Mbak Dania."
Salah satu pengawal yang berbadan gempal bereaksi lebih dulu.
"Ada apa, Mbok?" tanyanya sambil menaruh piring di meja.
"Nggak usah banyak nanya, to. Buruan mana kuncinya?"
Pengawal yang bernama Anto, bergegas tanpa memberikan kunci pada Mbok Yamin.

Teman Anto bernama Edi, dia bereaksi santai seperti tidak terjadi apa-apa. Enak sekali dia menikmati sarapannya. Mbok Yamin tidak ambil pusing, dia segera menyusul Anto yang lebih dulu pergi.

"Mbak Dania! Mbak Dania!" Anto coba mengetuk pintu lagi. Tetap tidak ada jawaban. Tanpa pikir panjang Anto membuka pintu dengan kunci yang dibawanya.

Pintu terbuka, Mbok Yamin menyerobot masuk. Dia panik, tetapi lega setelah melihat anak majikannya masih tertidur di ranjangnya. Tunggu! Ada yang aneh, Mbok Yamin mendekati Dania, perlahan mengulurkan punggung tangannya ke arah dahi.

"Ya Allah, dia demam." Mbok Yamin membuka selimut yang dipakai Dania.

"Mas, tolong matikan AC dan buka jendelanya," perintah Mbok Yamin tanpa ragu.

"Ada yang bisa saya bantu lagi?" Dengan cekatan semua perintah Mbok Yamin dikerjakan Anto tanpa banyak.protes.

"Ambil baskom kecil, isi dengan air hangat. Bawa ke sini, cepat!" Mbok Yamin membuka semua baju Dania yang basah terkena keringat. Dania harus diganti baju yang kering. Kalau tidak akan bertambah buruk kondisinya. Sebelum Anto kembali datang, Dania sudah rapi.

Anto datang dibantu Edi membawa handuk kecil untuk mengompres Dania.
"Makasih. Kalian udah kabari Pak Bara?" Mbok Yamin mengompres Dania dengan telaten. Pertanyaannya barusan hanya ingin memastikan kalau dia juga harus bersiap menghadapi aturan baru lagi atau tidak.

"Belum, Mbok. Kita kasihan sama Mbak Dania, tapi perintah Pak Bara itu cuma satu, Mbak Dania harus tetap aman. Soalnya ...." Kalimat Edi terhenti karena sikutan Anto di perutnya.

"Ada apa?" Mbok Yamin menatap mereka dengan nada curiga.

"Eh, anu ... Pak Bara cuma pengen anaknya aman di sini. Proyek kali ini mungkin agak lama selesainya. Apalagi lokasi syutingnya lumayan jauh. Jadi harus dicek semuanya," urai Anto panjang lebar. Tidak ada kebohongan di sana. Hanya saja tetap ada hal yang masih dirahasiakan. Mbok Yamin menduga ini ada hubungannya dengan Bu Retno.

Detik berikutnya suasana hening, tidak ada yang memulai bicara selain fokus pada kondisi Dania. Biasanya kalau demam begini, Dania cuma masuk angin. Mbok Yamin akan mengompres lalu membuatkan wedang jahe hangat.

***

Dua pengawal tertidur bersandar di dekat pintu. Mbok Yamin datang membawa minuman jahe dan semangkuk bubur. Dia bernapas lega, panas Dania sudah turun.

Aroma.wangi dari wedang jahe dan bubur ayam buatan Mbok Yamin membangkitkan kesadaran Dania.
"Mbok, jam berapa sekarang?"

"Nggak usah nanya soal jam, Mbak. Mending sekarang Mbak duduk, Mbok suapin bubur ayam. Enak lho, ini," tukas Mbok Yamin sambil menata bantal di belakang punggung Dania.

Senyum semringah muncul di wajah rentanya. Dania ikut tertular energi senyum itu. Apalagi ditambah nikmatnya bubur buatannya, Dania bisa melupakan sakit dan kerinduan pada Bunda karena kehadiran Mbok Yamin. Sosok paling sabar, dan satu-satunya orang yang belum pernah dimarahi ayahnya.
"Enak, Mbok. Makasih udah ngerawat Nia, tadi."

"Mbak ini ngomong apa? Kalo bukan Mbok yang ngerawat, siapa lagi? Masa mereka berdua itu." Mbok Yamin dan Dania menoleh berbarengan. Melihat dua pengawal yang tertidur pulas tanpa beban.

"Makasih juga buat kalian," batin Dania lalu menyesap pelan wedang jahenya.

Peristiwa hari ini akan.tetap jadi rahasia mereka berempat. Ketidaktahuan Bara berarti peraturan tidak ada yang bertambah.

***

OUR MEMORIES ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang