Peluh membanjiri tiap sudut wajah lelahnya. Anak laki-laki berumur sekitar 11 tahun, berlari mengejar bis yang menuju terminal kota. Bawaannya tampak berat, tetapi tak tampak sedikitpun ekspresi lelah atau kesal. Sudah menjadi rutinitas selepas pulang sekolah, Bara harus menyusul Ayah yang tengah berjualan di sana. Warung kopi dan berbagai macam jajanan pasar dan gorengan dijual murah meriah. Sang ayah sengaja mengambil untung sedikit asalkan dagangannya laris. Teori jitu yang berbuah manis, makin banyak pelanggan yang datang dan datang lagi.
Bara selalu semangat membantu Ayah yang mulai renta. Sedangkan Ibu yang tinggal di rumah, menyiapkan bahan untuk dijual esok hari. Kondisi kesehatan Ibu yang tidak fit menahannya untuk tidak ikut berjualan di terminal.
Semua serba pas-pasan, malah terkadang kurang. Tetapi semua dianggap angin lalu, semua kekurangan dengan mudah tergantikan rasa syukur. Ayah mengajari itu sejak Bara masih suka duduk di atas pangkuannya.
Kesabaran Ayah selama ini menjadi benteng yang cukup kuat. Berkali-kali preman mengganggu Ayah saat berjualan. Meminta jatah uang atau makan minum seenak perutnya tanpa membayar.
"Ingat kata Ayah, kekerasan tidak selamanya mampu selesaikan masalah. Selama mereka tidak keterlaluan pada kita, sabar jadi solusinya." Ayah menggamit pundak Bara sambil menikmati matahari terbenam. Sore menjelang maghrib, Bara duduk bersama Ayah di sebuah bangku kayu panjang di depan warung.
"Tapi, Yah, kalau mereka terus menerus meminta makan minum tidak bayar, kita kan rugi," timpal Bara dengan ilmu hitungannya.
Ayah tersenyum. Dia memilih bersabar tidak melawan adalah juga untuk melindungi keluarga kecilnya. Dia bisa saja melawan dengan ilmu bela diri. Namun preman itu bisa saja menyerang istri atau anaknya di luar pengawasannya.
"Biarkan Allah saja yang atur untung dan rugi kita, Nak. Dia Maha Kaya, punya segalanya. Kita tinggal minta pasti Allah kasih."
***
Dania masih terpaku di depan pintu. Pak Musiran yang lebih dulu masuk menghentikan langkah. Menoleh dengan tatapan lembutnya, memberikan isyarat untuk tidak khawatir soal apa pun. Dania mengangguk.
Bara masih larut dalam lamunan masa kecilnya. Mencari tahu apa yang terjadi pada Dania, sehingga harus ada kejadian seperti ini. Tertidur di kelas memang baru pertama kali, tetapi sebelumnya ada laporan Dania absen dari tugas-tugas pentingnya di sekolah.
"Maaf, sudah menunggu lama, Pak. Saya harus melakukan sesuatu dulu tadi," ujar Pak Musiran membuka percakapan.
Dania mendekat dengan perasaan campur aduk, takut , merasa bersalah, tetapi juga tidak bisa mengenyahkan pikiran tentang Bunda.
"Duduk Dania!" perintah Pak Musiran.
"Iya, Pak."Bara menoleh sedikit ke arah putrinya. Sejenak tatapan mereka bertemu, lalu segera mengalihkan fokus ke guru BK.
"Begini Dania, sekolah terpaksa memanggil wali kamu datang ke sekolah. Kami hanya ingin tahu apa kamu ada masalah atau tidak. Selama ini prestasi kamu sangat bagus, bahkan masuk peringkat tiga besar paralel. Beberapa bulan terakhir prestasimu sangat menurun. Parahnya kejadian barusan."
Dania tidak protes sama sekali. Dia hanya terunduk, mendengarkan sambil menyatukan telapak tangannya di pangkuan.
"Maafkan putri saya, Pak. Sebenarnya tidak ada masalah apa-apa di rumah." Bara mencoba bicara, dia tidak ingin urusan keluarganya dimasuki orang lain.
"Benar begitu, Dania?" Pak Musiran memastikan pernyataan Ayah Dania.
Dania gugup, membuka mulut hendak bicara lalu menutupnya lagi. Bingung, apa yang harus dia katakan pada guru muda di depannya.
"Baik, kalau kamu masih tidak mau cerita. Saya hanya tidak ingin prestasi kamu tambah turun. Apalagi sebentar lagi ujian nasional."
Bara memastikan beberapa hal pada guru Dania. Dengan mengawasi lebih ketat kegiatan putrinya. Tentu saja Dania bersungut-sungut dalam hati. Mengawasi yang dimaksud Ayah hanya satu kemungkinan. Aktivitasnya akan makin dibatasi dan Dania tidak diijinkan lagi minum kopi resep Bunda lewat Mbok Yamin.
Dania sudah tidak mendengarkan lagi semua ucapan Pak Musiran. Dia hanya mengangguk-angguk tanpa memahami. Wajahnya ditekuk, kesal kebebasan mengingat Bunda harus dirampas oleh Ayahnya sendiri.
***
"Sudah, Non! Itu baso bakalan dingin kalo cuman diaduk-aduk. Makan dulu yang kenyang, baru berpikir," seloroh Helena.
Dania menghela napas berat. Tenggorokannya susah menelan kalau pikirannya tidak tenang.
"Gue gak bisa lagi minum kopinya Bunda, Na. Hukuman Ayah pasti berakhir di sana sampai gue beneran berubah." Dania menutup mukanya pasrah. Semangatnya sudah terbang bersama aturan baru yang diberlakukan Bara.
"Gue paham, Non. Itu kan kopi kenangan lo. Tapi mendingan sementara turuti dulu, deh. Nggak ada ruginya, lagian kopi kan nggak bagus juga kalo keseringan."
Dania membenarkan sekaligus tidak menyetujui pendapat sahabatnya itu. Benar untuk menuruti aturan Ayah. Tetapi tidak setuju kalau dia harus melupakan kopi resepnya Bunda.
"Aaargh!!" Dania menumpahkan kekesalan pada baso di depannya. Dia memotong bulatan baso tapi meleset. Kuah yang sudah tercampur sambal dan kawan-kawannya menciprat ke baju dan matanya terkena.
"Na, perih! Aduh!" Dania panik.
Helena ikutan panik, mulutnya yang baru saja menelan suapan terakhir siomaynya hampir keluar lagi.Tak disangka ada seseorang yang menghampiri dan menarik kasar tangan Dania. Helena cuma bengong melihat adegan di depannya. Dania yang tidak bisa melihat jelas cuma mengikuti arah orang yang menariknya. Dia pikir orang itu Helena.
"Di depan kamu ada wastafel, cepat basuh mata kamu dengan air." Dania tertegun. Helena kenapa berubah jadi cowok?
"Cepetan!!" perintahnya lagi.
Dania tidak ambil pusing siapa orang itu. Dia fokus mengambil air dan membasuh matanya. Beberapa kali sampai perihnya berkurang.
"Kalo sudah enakan, ini tisu buat ngeringin muka kamu." Orang itu menaruh satu pack mini tisu ke telapak tangan Dania.
"Makasih." Dania mengelap mata dan wajahnya. Pandangannya lebih jelas sekarang, dan di depannya berdiri cowok tampan yang ditaksirnya sejak kelas X.
"Hei! Udah mendingan? Aku duluan, lain kali jangan sambil marah-marah kalo makan." Cowok itu-Anjas-siswa yang jadi incaran banyak cewek di sekolah.
Dania hanya tersenyum, bibirnya kelu sampai tak sepatah kata pun keluar. Anjas menepuk lembut pucuk kepalanya lalu pergi. Mimpikah ini? Sejenak Dania bisa melupakan masalahnya dan tersenyum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES ( TAMAT )
Novela JuvenilDania hidup enak, berkecukupan, mau apa tinggal bilang dan bim salabim, Bara-ayahnya-akan memberikan semuanya. Kehidupan yang nyaris sempurna tapi tak sama bagi Dania. Cinta masa remaja tak seperti harapannya. Sakit hati menjadi ujung rasa cinta yan...