MARAH

31 10 1
                                    

Bukan kesulitan yang berarti bagi Bara mengetahui semua yang dilakukan putri semata wayangnya. Dua pengawal yang dititah menjaga Dania, lupa berjamaah tidak melapor padanya. Beruntung ada satpam penjaga gerbang depan melaporkan semua yang dilihatnya. Meskipun tidak jelas kronologis kejadian, Bara yakin telah terjadi sesuatu.

Kalau benar Dania sakit, pasti ada penyebabnya. Jangan-jangan putrinya itu begadang lagi gara-gara Retno. Bara tidak habis pikir Dania masih mengira kalau Retno masih peduli padanya. Padahal kemungkinan besar Bunda tercintanya itu sedang menikmati waktu bersama pria lain. Tangan Bara mencengkeram erat, hatinya kembali teriris saat kenangan itu kembali.

***

Riuh seketika kondisi rumah saat mobil Bara memasuki gerbang. Anto sadar dia melakukan kesalahan dengan tidak melapor tentang kejadian Dania sakit. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.

Dania yang sudah mulai membaik kondisinya, memohon pada sang ayah supaya tidak memarahi dua pengawalnya.

"Yah, jangan marahi mereka. Dania yang salah semalam sengaja mengunci pintu dari dalam. Dania mau sendiri," aku Dania lirih.

Bara menghela napas panjang. "Kamu tahu itu bahaya, Nia. Kalau sampai Mbok Yamin telat ambil tindakan gimana? Kamu nggak pikirin Ayah?"

Dania semakin menunduk, tidak ada niat sedikit pun membuat mereka cemas. Dia ingin melupakan pikiran tentang Bunda. Dia ingin melakukan banyak hal yang bisa mengalihkan rasa rindunya. Namun semua tertahan di ujung bibirnya. Dia sangat tahu Bara pasti menolak keinginannya.

"Mulai sekarang kunci rumah semua Anto yang pegang. Jadi kamu tidak perlu kunci kamar lagi."

"Tapi Dania juga butuh privasi, Yah," sela Dania. Aturan baru lagi? Padahal dirinya sakit juga bukan keinginannya. Kesal, sedih, marah, tetapi Dania cuma bisa diam.

"Privasi seperti apa maksud kamu? Kamu cuma ingin kebebasan untuk terus mikirin Bunda yang ...." Bara menghentikan kalimatnya. Tidak pantas membicarakan Retno di depan banyak orang. Apalagi mereka cuma pegawai.

"Memangnya kenapa kalau Dania mikirin Bunda, Yah? Salah? Dania cuma ingin tahu di mana Bunda. Dania kangen Bunda, dan Ayah nggak pernah ngerti perasaan Dania."

Semua orang di ruangan itu melongo. Saling tatap lalu menyingkir perlahan, meninggalkan majikan mereka.

Bara tersentak dengan reaksi Dania yang tak seperti biasanya. Bara mulai interospeksi diri, apa selama ini sikapnya keterlaluan pada Dania? Apa dirinya egois? Hanya memikirkan tentang perasaannya saja? Dia benci pada istrinya, apa salah kalau dia ingin Dania juga melakukan hal yang sama? Toh, selama ini dia sendiri yang membesarkan putrinya itu. Retno yang notabene ibu kandungnya memilih pergi dengan pria lain.

Bara memijat leher belakangnya. Semua urat di sana terasa kencang. Selang beberapa saat Mbok Yamin datang membawa secangkir teh tawar hangat.

"Maaf, Pak. Diminum dulu tehnya. Atau Bapak mau saya buatkan wedang jahe?" tanya Mbok Yamin perlahan. Sebenarnya ketar-ketir juga dia datang menyuguhkan minum pada majikannya itu. Keadaan lagi panas-panasnya.

***

"Tidak perlu, Mbok. Saya mau istirahat di kamar saja sekarang. Terima kasih tehnya." Bara menyesap tehnya sedikit. Dengan langkah gontai, Bara berlalu menuju kamarnya. Jas yang dipakai, diletakkan begitu saja di kursi.

Sepeninggal Bara, Mbok Yamin membereskan cangkir teh yang cuma berkurang sedikit. Terdengar helaan napas berat dari wajahnya yang tak kalah lelah. Bertahun-tahun dia mengabdi di keluarga ini, baru sekarang terjadi konflik berkepanjangan hingga bertahun-tahun. Rumah besar ini jadi suram tanpa majikan perempuannya. Jas yang dipakai Bara tadi, dimasukkan ke keranjang cucian.

Biarkan Dia saja yang selesaikan semuanya. Karena hanya Dia yang memilki kehendak dan kekuasaan atas segala sesuatu. Mbok Yamin membisikan doa dalam hati untuk keluarga yang dia sayangi.

***

"Na, ada tugas, nggak?" tanya Dania dengan napas tersengal. Dia baru saja sampai ke sekolah. Suasana hatinya sedang kacau semalam. Tidak sempat menghubungi Helena untuk menanyakan pelajaran hari kemarin.

"Nggak ada, " jawab Helena singkat. Lalu sibuk dengan kegiatannya sendiri.

Dania menoleh, mendengar nada suara sahabatnya ada yang aneh. Dania menghentikan aktivitasnya, menggeser kursi lebih dekat.

"Sahabat gue ini kenapa, sih?"

Helena masih diam, dia kesal ada masalah yang dihadapi Dania, tetapi dia tidak tahu apa pun. Sebagai sahabat, orang paling dekat dibanding siapa pun di sekolah ini, Helena merasa tidak berguna sama sekali.

"Na, jangan diam terus, dong! Cerita ada apa?" desak Dania mulai tidak sabar.

"Nggak enak kan didiemin? Gimana rasanya?" semprot Helena tiba-tiba.

Kening Dania berkerut, dia tidak paham arah pembicaraan Helena.

"Na, gue nggak ngerti lo ngomong apa. Kalo soal kemarin gue nggak ngabarin lo, itu karena hape gue lowbat. Dan mendadak ... ehm ...." Dania berpikir ulang untuk menceritakan kejadian kemarin. Suasana kelas banyak orang.

"Kenapa? Nggak mau cerita? Ya udah, nggak apa-apa, gue kan gak ada artinya buat lo."

Dania geleng-geleng kepala melihat ulah Helena.

"Gue akan cerita tapi nggak di sini, Na. Banyak orang, lo lihat sendiri," ujar Dania sambil mengawasi sekitar. Dia tidak mau masalahnya diketahui banyak orang.

Sejujurnya Dania agak terganggu dengan sikap Helena barusan. Terlalu berlebihan menanggapi masalahnya. Bagaimana lagi, Helena tetap sahabatnya. Dania tidak bisa mengabaikan orang yang selalu peduli padanya.

***

OUR MEMORIES ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang