JADIAN

31 9 7
                                    

Ujian sudah di depan mata. Dania berusaha semaksimal mungkin mengejar ketertinggalannya. Nilai dan tugas yang harus mengulang, dia penuhi sesuai target dari guru.

Lelah dan bosan hampir membuatnya menyerah. Tetapi saat mengingat rencananya mencari Bunda, semua lelah tak dihiraukan. Sepertinya pengawasan juga makin kendor sekarang.

Waktu berjalan dan memaksa Dania terus push kemampuannya. Belajar mengulang materi yang belum paham, dan bertanya dengan guru di luar jam pelajaran. Kalau kurang sumber materi Dania menyambangi perpustakaan. Tempat yang sempat ditinggalkan karena dipenuhi oleh pikiran tentang Bunda.

"Belajar atau melamun?" sapa seseorang lirih tepat di sampingnya.

"Anjas."
"Apa?" goda Anjas dengan tatapan lembutnya.

"Bikin kaget, aja. Untung aku nggak teriak," ujar Dania dengan lirih juga. Jangan sampai siswa lain terganggu dengan suaranya atau suara Anjas. Aturan yang ada di perpustakaan mana pun.

"Aku mau ngomong penting. Bisa?" tanya Anjas serius.

"Sekarang?" tanya Dania balik.

Anjas mengangguk, membantu Dania merapikan buku-bukunya, dan reflek menggandeng jemari Dania yang bebas dari membawa buku.

Dania sempat terpana, tetapi Anjas bersikap biasa saja. Genggaman hangat yang merambat cepat ke wajah Dania. Sepanjang jalan genggaman itu tak terlepas, mengundang perhatian tiap cewek yang melihat. Dania tertunduk, sial-siap kalau saja ada yang melotot atau memarahinya.

"Njas. Kita mau ke mana, sih? Masih jauh?" tanya Dania sambil terengah napasnya.

Dania menduga mereka mau ke kantin. "Njas, aku capek. Kita ke kantin, kan? Traktir aku minum, ya?"

"Siap, Tuan Putri!"

"Iissh, apaan, sih."

Dania duduk di tempat yang sudah disediakan Anjas. Beberapa detik kemudian Anjas datang dengan secangkir kopi yang masih mengepul asapnya.

"Surprise!" Anjas menyodorkan kopi di depan Dania.
Aroma kopi menguar, Dania terpana sesaat. Menatap Anjas penuh arti. Dan cowok itu mengiyakan dugaan Dania.

"Tapi, darimana kamu tahu soal ini?" Dari aromanya saja Dania tahu ini kopi resep Bunda. Dan cuma Mbok Yamin yang tahu soal ini. Oh bukan, Bara juga tahu, tetapi tidak mungkin dia yang membuatnya. Dia sangat membenci minuman yang bernama kopi. Terlebih kopi itu racikan Bunda.

"Nia, aku mau jujur soal sesuatu. Tapi jangan salah paham dulu, dengarkan aku sampai selesai bicara. Oke?" pinta Anjas sambil menatap intens dua mata hazel Dania.

Dania gugup ditatap seperti itu. Ini pengalaman pertamanya diperlakukan semanis ini sama cowok. Detak kehidupan di dalam sana mulai tak beraturan. Anjas meraih tangannya, menggenggam, lalu mengelus punggung tangannya lembut. Seperti terkena sengatan listrik, getar halus merambat ke hatinya.

"Aku sayang kamu, Nia. Sudah lama sekali rasa ini ada, tapi aku pengecut, nggak berani bilang ke kamu. Saat pertama lihat kamu, posisimu terlalu tinggi. Sekarang aku yang akan berusaha menjangkaumu. Mendampingimu ke mana pun kamu mau pergi. Bahkan saat kamu berjuang mencari Bunda, aku mau temenin kamu."

Dania terharu, cairan bening mengambang di matanya. Siap meluncur ke pipinya. Sebelum itu terjadi Dania memalingkan mukanya. Berharap tangisnya tidak pecah. Tak disangka sebesar itu perhatian Anjas padanya.

"Aku tidak memiliki kelebihan yang bisa dilihat dengan mata. Tapi aku pastikan kamu akan bahagia bersamaku."

Aah, pertahanan Dania runtuh. Air matanya turun juga, Anjas menangkup wajah cewek di depannya ini dengan tatapan lembut yang memabukkan. Anjas mengusap air mata di pipi Dania. Senyumnya menenangkan, mampu meredakan tangisnya.

Di sudut tempat lain, Helena tersenyum. Rencananya sampai di sini berhasil. Malah lebih dari itu, mereka berdua saling suka tanpa settingan. Anjas yang diam-diam juga menyukai Dania, bisa sebucin itu.

Sahabat tersayangnya akan ada seseorang selain dirinya yang akan mendukungnya bertemu Tante Retno-bundanya Dania.

***

Hal yang paling menyedihkan Bara, saat dia harus kehilangan Ibu. Sore sesaat setelah warung ditutup dan Bara rehat sejenak sambil menunggu penatnya mereda, salah seorang tetangga tergopoh-gopoh menyusulnya. Kata-katanya tak beraturan, intinya ibunya kritis. Dan dia harus segera pulang.

Sampai di rumah, semua terlambat. Ibu memutuskan menyerah dan pergi tanpa meninggalkan satu pesan pun. Ayah mendekat dan memeluknya erat. Sesak rasanya, mendadak Bara seperti lupa cara bernapas.

"Ibu hanya berpesan kita harus kuat. Kamu dengar kata Ayah, kan. Kita harus bisa bertahan," bisik Ayah dengan suara bergetar.

Bara menuruti ayahnya, sesak itu ditahan sekuat tenaga. Jangan sampai tangis itu pecah. Dia laki-laki, putra semata wayang Ibu. Dan pesan terakhirnya adalah dia harus kuat.

Semua orang yang ada di sana terharu, melihat kedua pria yang baru saja ditinggalkan orang tercinta itu menahan kesedihan. Berusaha keras tidak menitikkan air mata setetes pun.

Bara mendekat ke jenazah ibunya. Kain batik itu adalah selimut yang terakhir kali Bara pakaikan pada beliau. Perlahan dan penuh takzim, Bara mencium kening Ibu untuk terakhir kali.

***

OUR MEMORIES ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang