Perang sesungguhnya sudah di depan mata. Dania mengisi tiap sudut otaknya dengan belajar dan belajar. Tentu saja Bara tidak keberatan. Kecurigaannya berangsur menghilang. Setelah doa bersama itu, Dania tampak murung, masih melekat kuat di ingatan Bara, wajah dengan mata sembab kala itu.
Sepertinya sekarang semua kembali normal. Bahkan Dania lebih sering belajar daripada sebelumnya.
"Mbok Yamin!" Bara mengedarkan pandangannya ke seluruh bagian dapur.
"Ya, Pak! Sebentar, Mbok lagi angkat jemuran," teriak Mbok Yamin dari halaman samping rumah. Tempat mencuci dan menjemur pakaian sengaja dibuat di lantai dasar. Mbok Yamin tidak kuat kalau harus naik turun tangga.
"Ya, Pak. Perlu dibuatin apa?" tanya Mbok Yamin dengan setumpuk pakaian kering di kedua tangannya.
"Kenapa nggak minta bantuan Anto atau Edi sih, Mbok?" Bara merasa iba juga melihat asisten rumah tangganya kerepotan sendiri.
"Udah, nggak apa-apa. Ini kan enteng." Mbok Yamin memang masih cekatan seperti muda dulu. Sekarang memasuki usia kepala enam, dia masih mampu mengatasi pekerjaan rumah, dibantu dua orang lagi untuk merapikan kebun dan membersihkan rumah. Sedangkan Mbok Yamin fokus di dapur, sambil sesekali membantu pekerjaan lain. Contohnya seperti sekarang.
"Saya mau Mbok perhatikan makannya Dania. Akhir-akhir ini sering di kamar dan dia belajar terus. Saya nggak mau dia sampai lupa makan. Sediain aja semua yang dia suka." Bara melihat jam di pergelangan tangannya. Dia menyesal harus ke luar kota lagi pagi ini.
"Maaf, Pak. Kalau Mbak Dania minta anu ... em ...." Mbok Yamin berpikir ulang mengatakan dua menu favorit Dania. Takut majikannya marah seperti sebelumnya.
Bara menghela napas berat. Dia paham apa yang akan disampaikan Mbok Yamin. Dengan menahan semua gejolak di hati, Bara mengangguk. Tanda mengijinkan Mbok Yamin menyediakan dua menu boomerang itu.
Bara menyeret koper mini ke depan. Mobilnya sudah menunggu. Kali ini giliran Edi yang mengantarnya. Anto akan di rumah bersama dua security handal yang Bara tugaskan.
Mbok Yamin mengantarkan kepergian majikannya dengan doa tulus. Semoga pintu hati majikannya terbuka dan mampu memaafkan demi bersatunya sebuah keluarga.
***
Perjalanan yang menyenangkan. Kali ini tidak macet dan hawanya masih sejuk. Bara menikmati waktunya. Lega dan bahagia, pekerjaannya lancar, Dania juga berubah lebih baik. Meskipun tanpa ibunya.
"Kamu lihat, aku bisa merawat anak kita sendirian, tanpa kamu," gumam Bara pelan. Sejenak ingatan Bara merambah ke masa mereka masih bersama.
Namun lamunannya buyar saat Edi mengerem mobil mendadak.
"Ed, yang bener, dong! Ada apa?" tanya Bara gusar. Keningnya hampir saja benjol terkena kursi di depannya, tetapi tertahan safety bealth."Maaf, Pak. Ada mobil mencegat kita di depan." Edi berusaha tenang.
Tak lama ponsel Bara bergetar halus.
"Halo." Bara tidak melihat nomor yang menghubunginya. Dia reflek langsung mengangkat."Bara Brata Kusuma. Suruh pengawal atau sopirmu keluar. Aku mau bicara," perintah seseorang di seberang.
Bara terdiam, suara ini adalah orang yang ingin mengajaknya membuat film tak senonoh.
"Saya sudah menolak sejak awal. Kenapa Anda terus mengganggu saya?" tanya Bara dengan intonasi tetap tenang.Terdengar suara tawa keras. "Kamu pikir bisa lepas dariku begitu saja? Setelah menolak ajakanku? Perlu kamu tahu, selama ini belum ada yang menolak. Dan mereka tambah sukses sekarang. Materi berlimpah dan masih eksis." Orang itu terus memaksa.
"Saya bukan mereka, orang-orang bodoh yang begitu mudah percaya dengan Anda," sahut Bara.
"Sialan, kamu sudah berani melawanku." Orang itu geram menahan marah.
"Kita ini tidak saling mengenal, kenapa kalimat Anda seperti saya ini bawahan Anda? Semua orang tahu siapa pemilik PH Kusuma," Bara berkelakar sombong. Orang seperti ini memang harus ditanggapi dengan kelebihan kita.
"Ho ho ho!! Baiklah, aku bebaskan kamu sekarang. Tapi aku sarankan, mulailah perketat penjagaan keluargamu yang tercerai berai."
Hubungan telepon terputus. Bara geram, ancamannya berhasil membuat naik darah. Bara membuka pintu mobil, begitu pula Edi. Sayang, mobil itu pergi lebih dulu. Edi menghafal nomor polisi dalam sekali lihat. Tanpa banyak bicara, pesan dikirim ke Anto, untuk diselidiki lebih lanjut.
Yah, mereka terlalu lambat bertindak. Namun, ini lebih baik. Bagaimana kalau mereka ternyata bersenjata dan berjumlah banyak? Edi tidak mau mengambil resiko itu.
"Ed, kejadian ini jangan sampai bocor. Jangan sampai kantor tahu apalagi orang rumah," pungkas Bara.
Siapa sebenarnya penjahat ini? Bara akan terus mencari tahu.
***
"Mbak Nia, ada temannya datang," ujar Mbok Yamin di depan pintu kamar Dania."Suruh langsung ke kamar aja, Mbok. Nggak dikunci, kok." Dania meneruskan membaca materi di atas tempat tidur. Dia sengaja menyibukkan diri belajar dan belajar. Tujuannya hanya satu, ingin fokus ujian dulu tanpa terganggu perihal Bunda. Dania tahu kalau ini tidak dilakukan, akan mengacaukan segalanya. Termasuk prestasi yang berhasil dia raih baru-baru ini. Pak Musiran akan mengomel untuk ke sekian kalinya, jika hal itu terjadi.
"Selamat malam!"
Dania hampir loncat dari tempat tidur saat tahu yang datang ke rumahnya adalah Anjas.
"Anjas? Kok, kamu bisa di sini?" Dania menepuk jidatnya, dia tadi langsung menyuruh masuk, karena dia pikir yang datang Helena.
"Aku nggak lama, kok. Boleh masuk?"
Dania mengangguk. Tak lama Mbok Yamin masuk dengan dua cangkir kopi istimewa, dan tiramisu."Mbok, kapan belinya? Nia kan belum ngasih uang tadi?" Biasanya Mbok Yamin akan beli saat Dania suruh. Dia tidak mau Ayah marah karena tidak suka semua hal berbau Bunda ada di rumah. Padahal satu fakta nyata, Dania-lah yang paling berbau Bunda.
"Yee, orang yang bawa Mas Anjas, kok. Sebagai gantinya Mbok harus bikinin kopinya Bunda," timpalnya sambil geleng-geleng kepala. Mau ngasih tapi pamrih.
Anjas melotot mendengar sindiran halus Mbok Yamin. Dania cuma tersenyum.
"Nia, ada hal penting yang harus aku sampein ke kamu. Tapi jangan panik dan kaget dulu. Janji?" Anjas mendekati Dania yang sedang mengambil sepotong tiramisu untuknya.
Dania menatap Anjas, ekspresinya serius sekali.
"Ada apa? Bunda? Dia kenapa?""Belum apa-apa udah panik. Dengerin dulu!" Anjas memasukkan sepotong besar tiramisu ke mulutnya.
"Njas, ada apa? Ayo, cerita!" Dania menodong Anjas dengan pertanyaan lagi, setelah menutup pintu tanpa dikunci. Memastikan saja tidak ada yang menguping.
Anjas menelan suapan terakhirnya, lalu meminum es kopi resep rahasia Mbok Yamin. "Oke, ada yang mengawasi Tante Retno. Entah siapa."
"APAA?"
***
Kira-kira bisa menebak siapa yang mengawasi bundanya Dania?
Silakan berandai-andai, ya.
Selamat membaca. Saya tetap setia menunggu vote dan krisar atau komentarnya, ya. Makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES ( TAMAT )
Teen FictionDania hidup enak, berkecukupan, mau apa tinggal bilang dan bim salabim, Bara-ayahnya-akan memberikan semuanya. Kehidupan yang nyaris sempurna tapi tak sama bagi Dania. Cinta masa remaja tak seperti harapannya. Sakit hati menjadi ujung rasa cinta yan...