TERPESONA

34 11 4
                                    


Bara merapikan beberapa gelas bekas minum pelanggan. Hari ini Ayah di rumah menjaga Ibu yang kembali drop kesehatannya. Penyakitnya memang susah disembuhkan, diabetes yang diderita bertahun-tahun membawa dampak bagi organ tubuhnya yang lain. Ayah bilang mereka harus siap dengan keadaan terburuk.

Bara menyeka air matanya dengan punggung tangan. Seharusnya dia bisa ikut menjaga Ibu di rumah. Tapi mereka harus mendapatkan uang hari ini. Sayang juga kalau bahan makanan yang ada tidak dimasak. Akan busuk dan terbuang nantinya. Jadi di sinilah Bara sekarang.

Tak terasa penghasilan berjualan kopi dan makanan kecil di terminal bisa menyekolahkan Bara hingga lulus SMA. Resep kopi orang tua Bara tidak ada yang menandingi. Termasuk semua kue buatan Ibu rasanya tak kalah dengan kue yang dijual di toko-toko mahal.

Setelah lulus Bara yang meneruskan semua resep itu. Selama ini belum ada yang kecewa dengan hasil buatan tangan Bara. Itulah sebabnya Ayah memberikan kepercayaan penuh pada Bara untuk berjualan sendiri.

Sore itu, suasana terminal tidak begitu ramai. Bara menyandarkan punggung di triplek yang disangga beberapa belah kayu di samping warung. Pegal dan ngilu menyerang punggung dan pergelangan kakinya. Setelah semua rapi, Bara menyempatkan diri rehat sambil menunggu senja tiba.

Tatapannya terhenti pada perempuan yang sedang memapah seorang nenek yang membawa cukup banyak barang. Bara tersenyum melihat begitu repotnya perempuan itu membawa barang sekaligus memapah sang nenek. Nalurinya tergerak membawanya maju ke arah mereka.

"Boleh saya bantu, Mbak?" Tatapan keduanya bertemu. Sepasang manik berbulu mata lentik seketika menawan hati Bara. Terpesona dari pandangan pertama.

***

"Na, maafin soal kemarin. Gue bener-bener nggak bermaksud nyuekin, lo. Lo tahu kan, kayak gimana Ayah kalo udah punya mau? Aturan adanya dua pengawal itu bikin gue nggak bebas gerak lagi. Gue marah terus ngunci diri di kamar." Dania berhenti sejenak, mengambil sebanyak mungkin oksigen untuk mengisi rongga dadanya.

Siang jelang sore membuat taman dekat sekolah mereka lumayan ramai. Biasanya Dania akan bersenang-senang hingga sore di taman itu. Tentu saja dengan Helena, sekarang tidak lagi. Dua pengawal itu mengawasi dari jarak jauh, dan berpesan mereka harus segera pulang sebelum pukul. 16.00 WIB.

"Gue yang harusnya minta maaf, Nia. Gue nggak nyangka tindakan ayah lo sampe sejauh ini. Terus sekarang apa rencana, lo? Masih mau nyari Bunda?"

Dania menghela napas berat. Entah kekuatan apa yang membuatnya serindu ini? Entah apa pula sebabnya Ayah melarangnya mencari Bunda. Belum pernah ada alasan jelas yang membuat Dania mengerti.

"Gue belum tahu, tapi rencana gue nggak akan berubah. Mungkin gue fokus ujian dulu, aja. Gue sadar harus perbaiki nilai, siapa tahu Ayah mau longgarin pengawasannya ke gue."

Ponsel Dania bergetar, tampak nama Ayah galak di sana. Dania malas mengangkat panggilan itu, tetapi getar halus itu tidak menyerah juga. Dania paham sudah waktunya dia pulang.

"Hei, kamu Dania, kan?" Dania mendongak bersamaan dengan Helena yang langsung menutup mulutnya.

Dania mendapat keberuntungan di antara masalah. Tak disangka bisa bertemu cowok yang ditaksirnya sejak lama.

"Anjas? Lo ... eh, kamu di sini juga?" Dania menyesali kalimatnya. Jelas-jelas ini taman buat umum.

"Aku lumayan sering jogging di sini. Kalian udah mau pulang?"

"Iya, udah sore. Kami duluan, ya?" Dania menggamit lengan Helena.

"Dania."
"Ya?"
"Kalo kamu ada waktu, kita jalan, yuk!"

Dania melongo, menoleh ke sahabatnya yang mengangguk beberapa kali. Menyuruhnya melakukan hal yang sama.
"Oke, nanti kabari aku." Dania berusaha tidak gugup, tapi suaranya masih terdengar begetar barusan.

"Oke. See you." Anjas pergi meninggalkan senyum yang langsung menambat hati Dania.

"Ternyata Anjas bisa sebucin itu," ujar Helena untuk menggoda Dania.

Helena bersorak dalam hati. Rencana awalnya berhasil, sejauh ini masih rapi. Dia hanya berharap bisa membuat Dania bahagia. Karena tidak mampu membantu banyak dalam masalah keluarganya. Tinggal rencana selanjutnya, Helena mendapat bantuan juga dari seseorang.

***

Baiklah, Dania merasa harus fokus dengan perbaikan nilainya. Dua pengawal yang ditugaskan Ayah, tidak membuat masalah sejauh ini. Semakin banyak orang yang menemaninya sekarang. Dania bisa bersyukur untuk itu.

Bara melihat semua berjalan sesuai harapannya. Dania sedang usaha menaikkan kembali prestasi sekolahnya. Untuk itu dia akan memberi satu kelonggaran. Dania pantas mendapatkannya.

"Benarkah? Ayah serius?" Dania hampit loncat kegirangan, saat Bara akan memberikan dia kebebasan lagi.

"Tapi dengan satu syarat." Kalimat yang langsung menghentikan senyuman Dania.

"Jangan cemberut begitu! Ayah cuma ingin Anto dan Edi tetap mengawasimu dari jarak jauh. Tanpa mengganggu PRIVASI-mu." Bara sengaja menekan ucapannya di kata itu.

Dania mengerucutkan bibirnya. Ayah tampak bersahabat hari ini. Namun jauh di dalam hatinya, Dania tidak membuang sedikit pun keinginannya. Niatnya sudah bulat. Sementara waktu biarkan semua terlihat aman dulu di mata Ayah.

"Makasih, Yah." Dania memeluk Bara, erat.

Mbok Yamin berharap pemandangan ini dalam formasi lengkap.

***

OUR MEMORIES ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang