Dania melihat jam di pergelangan tangannya untuk ke sekian kali. Sudah hampir jam sembilan, Bara belum datang juga. Berkali-kali Dania menghubungi ponselnya, tetapi tidak aktif. Dania cemas dan mulai ragu kalau ayahnya akan datang.
Dania menyandarkan punggung ke dinding di belakangnya. Sesekali terdengar helaan napas berat. Wajahnya seketika murung, dia bisa pulang diam-diam sepertinya. Posisinya di gerbang dan tertutup kendaraan orang tua murid.
Baik, pergi dari sini sekarang juga, Dania! Perintah otaknya dan mendesak terus. Namun, hati tidak mengijinkannya melangkahkan kaki. Akhirnya Dania menyingkir ke pos satpam. Di sana dia bisa menepi tanpa banyak orang yang tahu. Pak Satpam juga sibuk mengatur di parkiran.
"Loh, Mbak kenapa nggak ke aula? Kelas XII, kan?" tanya salah seorang adik kelasnya.
"Ssst, jangan berisik! Gue lagi nunggu ortu dateng," ujar Dania risih.
Adik kelas itu pun segera menyingkir tanpa banyak bicara lagi.Di tempat lain Helena kebingungan Dania menghilang. Katanya ke gerbang, dicari tidak ada.
"Halo, Njas! Lo lihat Dania, nggak?" tanya Helena begitu panggilannya di jawab di seberang.
"Lihat, kok! Udah nggak usah cemas, dia aman sama gue," tukas Anjas memutus sambungan.
Anjas mendekat ke pos satpam tempat Dania sembunyi. Ah, bukan, mungkin cuma istirahat aja.
"Masih mau menyendiri, Tuan Putri?" sapa Anjas.
Dania terlonjak. "Kamu ngapain, sih? Ngagetin orang, aja," gerutunya sambil komat kamit tidak jelas.
Anjas tersenyum melihat tingkah kekasihnya. "Masih mau nunggu di sini? Bentar lagi acara dimulai. Mendingan kita dulu yang ke aula. Om Bara pasti datang."
"Yakin banget, sepertinya. Memangnya Ayah pernah laporan sama kamu?"
"Enggak, sih." Anjas menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dania melihat ke arah gerbang sekali lagi. Matanya berkaca-kaca, perasaannya sedih sekaligus marah. Tidak ada yang berubah ternyata. Menyesal sempat percaya kata-kata ayahnya semalam.
Anjas tidak tega melihat Dania seperti itu. Dia bukannya diam saja, karena ada sesuatu yang sedang disiapkan. Anjas meraih jemari Dania, meremasnya lembut, menarik perlahan dan mengecupnya.
Dania terkesiap dengan tindakan Anjas. Matanya langsung bergerilya, jangan sampai ada yang menduga mereka macam-macam di pos satpam.
"Njas, kalo mau bertindak kayak tadi tuh, lihat-lihat tempat, dong!"
Anjas tersenyum. "Memangnya aku apain kamu? Cium kamu? Atau ...."
"Anjas!" Dania geram mendapat respon candaan.
"Aku serius."
"Aku juga serius, Sayangku," ujar Anjas makin semangat menggoda kekasihnya. Tujuannya hanya ingin Dania jangan fokus dengan rasa sedihnya. Sebisa mungkin teralihkan, setelah itu baru bisa cari solusi dengan hati lebih tenang.
Ponsel Anjas berbunyi. Melihat layar membuat Anjas tersenyum semringah. "Beneran? Serius? Oke, jalankan seperti rencana kita. Aku lakukan tugasku, oke?"
Anjas memutus pembicaraan.Tiba saatnya kejutan untuk Dania diberikan. Anjas tahu semua resiko dari tindakannya ini. Namun, dia yakin dengan niat baik juga akan berakhir baik.
"Nia, ikut aku sekarang. Ada seseorang ingin ketemu kamu."
Dania mengernyit, di saat seperti ini siapa yang ingin bertemu. Dania tidak diberikan kesempatan bertanya. Anjas sudah menggenggam tangannya, lalu mengajaknya keluar dari persembunyian.
Semua orang sudah berkumpul di aula. Oleh karena itu Anjas membuat kejutannya di taman kecil samping sekolah.
Mereka sampai, ada seorang wanita sedang mengamati tatanan bunga di sana. Sayangnya posisi wanita iti membelakangi jadi sulit untuk Dania mengenali. Ditatapnya Anjas untuk bertanya. Tetapi dia malah menyarankannya untuk mendekat ke sana.
"Aku tunggu di sini. Janji!" kata Anjas tanpa suara.
Dania takut dan ragu, kejutan apa sih, ini. Anjas ada-ada, saja. Tapi melihat reaksinya, Anjas serius dengan tindakannya ini. Jadi Dania akan menurut saja dulu.
"Permisi, Tante!" sapa Dania dengan suara bergetar. Jarak mereka sekarang sekitar satu meter.
Wanita itu menoleh dengan senyum khas dengan lesung pipi kembarnya. Anjas baru menyadari, dari siapa Dania memiliki lesung pipi yang tidak pernah disadari si pemilik ada di wajah manisnya.
Dania limbung, hampir saja jatuh. Namun sekuat tenaga dia coba bertahan. Perasaannya buncah, antara bahagia, sedih, takut, bahkan tidak percaya kalau ini nyata.
"Bunda!" bisik Dania sangat lirih.
Reaksi keduanya hampir sama, wajah mereka mirip sekali. Hanya berbeda dari tampilan umur dan pakaian.
Detik berikutnya, Dania menghambur ke dalam rengkuhan Retno Andara yang siap membuka lengan kasih sayangnya.
"Bunda, Dania kangen. Dania nggak tahu mau cari Bunda ke mana." Dania terisak. Begitu banyak kata yang ingin diucapkan, tetapi hanya tangis kerinduan yang meluap.
"Maafkan Bunda, Nia! Bunda nggak ada pilihan lain waktu itu. Sebentar Bunda mau lihat putri semata wayang Bunda ini sudah berubah jadi gadis yang cantik."
Retno melepas pelukannya, mengamati putrinya dengan sungguh-sungguh. Seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya. Tak lama Retno memeluk Dania lagi.
"Nia, kita bisa ngobrol lagi nanti, oke? Sekarang kita harus masuk aula. Acaranya mau mulai, tuh!"
Dania mengangguk setuju, dihapusnya air mata dengan tisu yang diberikan Retno. Mereka berjalan sambil berpelukan, Dania tak ingin bergeser sedikitpun dari sisi Retno. Dari sekarang hingga nanti.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
OUR MEMORIES ( TAMAT )
Teen FictionDania hidup enak, berkecukupan, mau apa tinggal bilang dan bim salabim, Bara-ayahnya-akan memberikan semuanya. Kehidupan yang nyaris sempurna tapi tak sama bagi Dania. Cinta masa remaja tak seperti harapannya. Sakit hati menjadi ujung rasa cinta yan...