Hyunjin menoleh pada jeongin yang tengah terdiam, "Gue awalnya kaget sih, liat lo ngerokok disini. Baru pertama kali gue liat ada anak sesempurna lo ngerokok," hyunjin menatap intens jeongin yang kini mulai gugup.
Jeongin gelisah di tempat duduknya. Tubuhnya bergerak tak beraturan, tak nyaman dengan tatapan hyunjin.
"Uh, kak hyunjin, jangan tatap jeje kayak gitu, malu," semburat merah mulai menjalar hingga ke telinga jeongin, padahal hyunjin hanya menatapnya biasa.
hyunjin tertawa, "Main jujur-jujuran yuk? Gue duluan deh yang jujur, baru lo," ujar hyunjin sambil tetap menatap jeongin.
"Um, satu pertanyaan aja, dengan syarat kita bakal pura-pura ga kenal satu sama lain setelah kita keluar dari sini."
"Deal?" Jeongin mengulurkan kelingkingnya pada hyunjin yang dibalas dengan tawa menyembur dari pemuda itu.
"Deal," hyunjin mengaitkan kelingkingnya pada milik jeongin.
Hyunjin melihat pepohonan rindang didepannya, "Gue.. selalu datang dengan gaya urakan kesekolah karena gue harus kabur dari rumah setiap jam 4 pagi."
Jeongin sempat terkejut ditempatnya, dan hyunjin sadar akan hal itu.
"Kalo lo bertanya-tanya kenapa gue harus kabur setiap jam 4 pagi, jawabannya adalah karena nyokap gue itu orang yang abusive. Dia bangun jam 5 pagi, dan sebelum jam 5, gue harus kabur kalau gue gamau kena abuse dari dia."
"Lo gapernah liat gue dateng tanpa hoodie kan kalau kesekolah?" Hyunjin tersenyum lembut sambil melihat jeongin.
Hyunjin memutar tubuhnya untuk menghadap jeongin, mengeluarkan benda yang jeongin identifikasi sebagai semacam alat rias wanita, "Gue selalu bawa concealer kesekolah buat nutupin memar yang ibu kasih ke badan gue. Dan setelah dateng, gue bakal pergi ke toilet, pake concealer, trus baru gue sekolah kayak biasa. Gue nutupin semua itu dengan cara ya gitu, gue nakal, gue suka ngebogem orang, itu semua buat nutupin luka gue doang."
Tanpa aba-aba, hyunjin mulai membuka seragam sekolahnya. Melepas kaus dalamnya dan memperlihatkan luka-luka yang selama ini ia sembunyikan.
Jeongin menutup mulutnya ketika melihat itu semua. Ada terlalu banyak luka goresan dan memar yang entah dari mana asalnya.
Luka-luka itu seperti belum kering, tetapi sudah ada luka baru diatasnya."Kak hyunjin, i-ini," jeongin menunjuk satu luka yang menurutnya cukup parah di bahu hyunjin.
"Ah, ibu semalam pukul bahu gue pake kaki meja yang patah. Sempet nusuk bahu gue sampe pendarahan, tapi beruntungnya berhenti abis gue siram pakai alkohol," jelas hyunjin santai.
Jeongin bangkit dari sofa dan berlari ke sudut atap. Ada sebuah kotak besar disitu yang hyunjin tak sadari sebelumnya. Hyunjin melihat jeongin berlari tergesa kearah dirinya sambil membawa sebuah perban dan dua buah cairan yang hyunjin tak tahu namanya.
Jeongin kembali duduk disebelah hyunjin, kemudian menatap luka di bahu hyunjin nanar, "Sini, aku obatin ya kak?"
"Eh, gausah gue udah bias- yaudah obatin aja deh," hyunjin tak jadi menolak niat jeongin ketika yang lebih kecil memberinya tatapan memohon.
"Aku siram dulu ya lukanya? Tapi jangan teriak. Ini bakal perih banget," jeongin mengingatkan.
Hyunjin tertawa remeh, "Apaan sih, gabakal seperih itu kali- ADUH GILA YA LO!" Hyunjin hampir menangis ditempat ketika jeongin menyiram lukanya secara tiba-tiba.
Kini giliran jeongin yang terkekeh melihat reaksi hyunjin, "Kan aku udah bilang, ini perih kak."
"Gue kira gabakal seperih itu kali. E-eh mau ngapain lo?" Tanya hyunjin panik ketika jeongin mengangkat sebuah botol berwarna kekuningan.
Jeongin mengernyit, "Ini obat merah kak, mau aku tetesin ke perban," jelasnya.
"O-oh, ya maaf, gue kira lo mau nyiksa gue lagi," suara hyunjin terdengar lega.
"Engga, aku ga sejahat itu kok. Kak, puter badannya sini, biar aku bisa lilitin perbannya," ucap jeongin memerintah.
Selagi jeongin melilitkan perban di bahu miliknya, hyunjin tak sadar kalau ia telah jatuh pada pesona dan afeksi seorang yang jeongin. Pemuda kelahiran maret itu melihat jeongin dengan tatapan yang tidak bisa dideskripsikan hingga jeongin selesai membalut lukanya.
"Um, kak? Yang lain mau aku obatin juga?" Tanya jeongin sambil menunjuk luka-luka lain ditubuh atletis hyunjin.
Seakan ditarik ke dunia nyata, hyunjin segera menggeleng ketika jeongin menawarkan untuk mengobati luka lain miliknya. "Engga je, gausah. Gue udah biasa kok," hyunjin memakai kembali seragamnya.
Usai memakai seragamnya, hyunjin bangkit dari sofa dan berdiri dihadapan jeongin. Dengan gerakan kilat, hyunjin membungkuk dan menarik wajah jeongin untuk ia kecup bibirnya.
Jeongin yang mendapat tindakan spontan seperti itu hanya bisa terdiam sampai hyunjin melangkah pergi darinya dan berdiri di pintu keluar atap."Lo masih hutang cerita sama gue. Gue tunggu lo besok disini, jam 2," suara hyunjin membuat jeongin menoleh kebelakang, kearah hyunjin.
"Makasih obatnya. Besok obatin gue lagi ya? See you later, cantik," hyunjin melambaikan tangannya sambil tersenyum kecil, sebelum akhirnya melangkah pergi dari atap gedung, meninggalkan jeongin dengan gemuruh yang tak berhenti di dadanya.
Jeongin menaruh telapak tangannya di dada, "Gue kenapa?"
Ending dari twoshoot ini diserahkan kepada pembaca!
Semoga suka ya, hehe. Jangan lupa pencet bintang ya. Babayy💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter - Hyunjeong
FanfictionHyunjin and Jeongin biased, oneshoot and twoshoot compilation.