Suara motor yang dikendarai oleh Arga sudah berada di halaman rumahnya. Tanpa berlama-lama, dia memasukkan motornya ke dalam bagasi dan melangkah memasuki rumah.
Saat pintu sudah berhasil dia buka, dia melihat mama dan papanya menatap dengan penuh amarah. Dan ia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
"Sini kamu!" titah Angga penuh emosi.
Arga mendekat lalu berkata, "Kenapa?"
"Kenapa kamu bilang? Gak cukup apa selama ini kami biayain kamu semuanya? Apa uang yang kami kasih itu kurang? Hah! Saya udah capek lihat sikap kamu kaya gini terus. Mau jadi apa sih kamu?!" bentak Angga seraya berdiri menghadap Arga.
"Yang kalian pikir itu cuma uang, uang, dan uang. Aku gak butuh kalau kalian sibuk dan gak pernah lihat aku sebagai anak kalian!" sarkas Arga.
"Berani kamu menjawab? Hah! Kami bekerja satu harian untuk apa? Bukan hanya untuk kesenangan kami saja!" tukas Angga.
"Aku juga butuh kalian! Bukan hanya-"
Plak
Belum selesai rasa sakit yang ada di lengannya, kini dia kembali merasa sakit yang dia dapat oleh papanya sendiri. Ah, dia bahkan sudah tidak dianggap seperti anak lagi.
"Mas! Jangan kelewatan!" bela Widya seraya memegang lengan Angga.
"Gausah sok belain, Ma! Kalian itu sama aja!" pungkas Arga.
"Ini anak yang kamu bela?!" bentak Angga.
Angga sangat tidak tahan melihat sikap anaknya kali ini. Dia menarik paksa Arga lalu menghempaskan tubuh Arga ke dinding kamar mandi. Goresan di lengan Arga terbentur dinding cukup kuat. Terbukti jaitan itu sampai mengeluarkan darah.
Angga mengguyur tubuh Arga dengan air yang ada di dalam sebuah ember berukuran sedang. Arga hanya diam saat air tersebut sudah terguyur di tubuhnya. Menahan rasa dingin yang menjalar ke tubuhnya.
"Itu hukuman untuk anak bandel seperti kamu!" sentak Angga lalu meninggalkan kamar mandi.
Widya menatap Arga sedih. Bagaimanapun dia tidak sanggup melihat anaknya seperti ini. Ia mendekati Arga.
"Pergi!" tukas Arga.
Widya pasrah dan pergi dari hadapan Arga. Arga kecewa, tidak ada satupun orang yang peduli padanya. Dan jika Widya peduli pada Arga, seharusnya dia menahan Angga untuk menyakiti Arga sedari tadi. Bukan hanya diam seperti tidak peduli.
***
Di kamar, Lia sedang melanjutkan catatan yang belum dia siapkan saat di rumah sakit. Pikiran Lia tiba-tiba terbayang sosok Arga. Entah kenapa, perasaannya tidak enak.
"Gak boleh negatif dulu, mudah-mudahan gak terjadi apa-apa," ucap Lia menyemangati dirinya.
Deringan ponsel terdengar saat Lia baru saja berniat melanjutkan catatan. Tertera nama 'Arga' di layar ponselnya. Jangan heran jika Lia memiliki nomor Arga. Itu semua karena Arga yang meminta saling menyimpan nomor.
Tanpa berlama-lama, Lia mengangkat telepon dari Arga.
"Halo,"
"Ke taman sekarang,"
"Taman mana Kak?"
"Dekat rumah lo,"
"Kenapa Kak? Suara Kakak kok pelan banget sih?"
"Tolong."
Sambungan terputus, perasaan Lia kembali tidak enak setelah telepon dimatikan. Dia mengambil jaket dan langsung mengenakannya dengan terburu-buru.
Perasaan Lia tidak karuan saat mendengar suara parau Arga. Entah kenapa, dirinya sangat mengkhawatirkan Kakak kelasnya itu.
"Ma! Aku ke taman bentar ya!" teriak Lia saat di pintu utama.
Tanpa menunggu jawaban dari sang Mama yang terkejut karena dirinya yang tiba-tiba teriak, Lia berlari meninggalkan rumah. Untung saja jarak taman antara rumahnya tidak terlalu jauh. Sehingga, saat ini dirinya sudah berada di taman.
Lia mengedarkan pandangannya ke seluruh taman. Mencari sosok Arga yang katanya berada di sana.
Lia langsung menghampiri orang saat melihat sosok itu sedang duduk di dekat pohon. Orang yang sudah membuat dirinya khawatir.
Tubuh Arga basah kuyup, lengan yang sudah terjait juga tampak mengeluarkan darah.
"Kak," panggil Lia hati-hati.
Arga membuka matanya saat suara teduh milih Lia terdengar.
"Makasih udah ke sini, gue gatau mau nelpon siapa lagi," tutur Arga jujur.
"Kenapa gak hubungin orang rumah Kak?" tanya Lia.
"Kalau gue bilang apa yang lo lihat ini perbuatan mereka, percaya?" tanya Arga yang tidak menjawab pertanyaan Lia.
"Maaf Kak," ucap Lia merasa bersalah.
"Lo gak salah, justru gue yang harusnya minta maaf udah buat lo repot berkali-kali," kata Arga.
"Engga Kak, ini udah kewajiban aku karena ini perintah dari Pak Adi," tutur Lia.
"Ooh jadi bukan karena keinginan lo? Kalau gitu lo pergi aja deh!" sarkas Arga membuat Lia terdiam merasa bersalah.
"Eh engga gi-"
Arga berdiri dan membuat perkataan Lia terpotong. Lia mengikuti Arga yang berjalan cepat.
"Kak, dengerin aku dulu, gak gitu maksud aku," kata Lia berusaha menjelaskan.
Arga terus berjalan tanpa memperdulikan Lia. Sampai Arga berhenti karena darah yang ada di lengannya membuat Arga semakin lemas.
"Kak, kenapa? Duduk dulu Kak," ucap Lia panik lalu membantu Arga untuk duduk di salah satu bangku taman.
"Itu kayanya harus ke rumah sakit deh Kak, jaitannya lepas," saran Lia; Arga tidak menjawab.
"Kak, maafin aku. Aku gak maksud bilang gitu. Aku ke sini karena kemauan aku sendiri, aku khawatir sama Kakak. Awalnya memang karena Pak Adi, tapi aku gabisa lihat Kakak sakit kaya gini," jelas Lia seraya meneteskan air mata.
"Jangan nangis, gue gasuka," titah Arga.
"Iya, aku gak nangis lagi, tapi maafin," mohon Lia.
"Iya," balas Arga.
"Yaudah, aku cari taksi dulu, kita ke rumah sakit," tutur Lia dan Arga hanya mengangguk.
***
(784)
Dukung terus cerita saya yaa.
VOTE N COMENT.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biolove Letter ✔︎
Fiksi Remaja[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Liyana Puspita seorang ketua osis dari Popcorn High School. Awal ketika dia mulai melaksanakan tugas, Lia merasa biasa saja dan bahkan senang karena itu adalah impiannya. Namun, semenjak kedatangan murid baru yang urakan, m...