; 9++

7.1K 351 50
                                    

kata mereka, yang perlu aku lakukan hanyalah terus melangkah maju tanpa melihat ke belakang lagi. jika semudah itu, aku yakin telah berhasil sejak kemarin—



-o-

flashback;


Setelah mengusir pergi Jeonghan dan Seungcheol, Wonwoo kembali masuk ke dalam apartemen Mingyu dan berusaha menenangkan diri. Ia duduk di sofa di depan TV sambil memeluk lututnya, dan berusaha berpikir positif tentang keabsenan Mingyu.

Sebentar lagi dia akan kembali... sebentar lagi dia akan kembali... Wonwoo terus mengulang kalimat itu di dalam kepalanya. Ia meyakini jika Jeonghan dan Seungcheol hanya sedang bercanda, meski tidak ada alasan di balik tindakan tersebut.

Wonwoo saat itu masihlah seseorang yang naif. Ia tahu betul kemungkinan Mingyu benar-benar pergi itu ada, tetapi ia tidak mau memikirkannya. Tubuhnya bergetar karena ketakutan yang ia sangkal, dan ia berusaha untuk tidak menangis, meski hanya membuat dadanya sakit.

Kemudian, penyangkalan yang sedang ia lakukan itu berefek pada tindakan-tindakan bodoh lainnya. Wonwoo mengambil ponselnya, dan berusaha menelpon Mingyu meski ia tahu ponsel Mingyu ada di atas nakas di dalam kamar. Satu kali, dua kali, tiga kali, tetap tidak ada yang mengangkat panggilannya. Wonwoo menurunkan ponselnya dari telinga, meremasnya kuat-kuat, sebelum ia berteriak kencang untuk melepaskan amarah di dalam dadanya, sambil melemparkan ponselnya ke tembok, membuat benda kecil itu hancur berkeping-keping.

Ia menangis dengan keras selama beberapa lama, berteriak dan memaki, melempar dan menghancurkan barang-barang yang bisa ia hancurkan, kemudian ketika malam hampir datang, Wonwoo meringkuk di lantai yang kacau, memandangi langit senja yang terus menggelap dengan bekas air mata di pipinya.

Ketika ia teringat kenapa ia bisa sampai ada di kekacauan itu, Wonwoo kembali terisak, dan ia menggulung dirinya sendiri semakin kecil. Isakannya memecah sunyi dan gelap yang mulai merambat.



Keesokan paginya, Wonwoo terbangun di ranjang, di bawah selimut milik Mingyu. Ia sempat terpikir, mungkin saja Mingyu yang telah memindahkannya ke atas. Tetapi kemudian tenggorokan dan matanya yang sakit, menyadarkannya dari khayalan. Semalam, ia sendiri yang berjalan gontai untuk masuk ke kamar, dan menenggelamkan dirinya di dalam selimut berbau Mingyu. Ia terlelap karena kelelahan menangis.

Wonwoo menatap langit-langit sejenak, kemudian mengambil ponsel Mingyu di atas nakas. Tanpa ia sadari, Wonwoo mengendus kembali bau Mingyu dari bantal dingin yang semalaman tak terpakai, ketika ia berusaha membuka kunci layar ponsel milik Mingyu. Ia mencoba sebanyak tiga kali, kesemuanya gagal, membuatnya harus menunggu untuk kembali mencoba.

Wonwoo menyerah dengan mudah, dan turun dari ranjang. Ia memasukkan ponsel Mingyu ke dalam saku celana piyama milik Mingyu yang agak kepanjangan untuknya, dan pergi keluar kamar. Ia sempat menatap sejenak kekacauan yang kemarin ia buat, dan menendang pecahan vas bunga sebelum keluar dari apartemen Mingyu.

Hari itu matahari bersinar tak terlalu menyengat dan langit cerah. Hari yang indah untuk patah hati, pikir Wonwoo.

Di jalan pulang, Wonwoo menyadari satu hal. Tak peduli bagaimanapun hancurnya dia saat ini, dunia tetap berjalan seperti biasa. Orang-orang tetap bahagia, orang-orang tetap bekerja, orang-orang tetap mengeluhkan hari sibuknya, dan tak ada yang peduli untuk sekadar bertanya apakah ia baik-baik saja. Karenanya, Wonwoo berusaha untuk mengikuti arus, meski ia tahu mungkin bisa tenggelam di dalamnya.

[✔] what happen last night? 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang