...

184 24 0
                                    

A story that i can't tell
...

"Kamu memperhatikan saya, kan." tuduhnya.

"Ah, maaf."

Aku membalas dengan tersenyum pelan, sambil meminta maaf jika mataku ini menyinggungnya. Tidak mau mendapat masalah dengan orang menyeramkan ini. Padahal, aku hanya melihatnya sekilas.

Dalam keadaan canggung ini ponselku berdering keras. Pihak interview menghubungiku. Pasti sekarang giliranku untuk wawancara. 

Aku mengabaikannya. Pura-pura tidak mendengarkan deringan itu kemudian berhenti, aku lanjut termenung. 

Iya, aku sudah memutuskan untuk mundur. Dari pada terus terbayang kenangan menyakitkan.

Baru beberapa menit, ponselku kembali berdering. Aku mengelengkan kepala mencoba tidak acuh pada rasa bersalah pada sang penelpon.

"Berisik! Angkat saja!"

Dalam kekalutanku. Laki-laki ini menoleh sinis, membuat kaget dan reflek menoleh kearahnya.

Ah, pasti ketenangannya terganggu. Lagian kenapa dia harus duduk didekatku? Kan masih banyak bangku lain--aku menoleh sekitar--ternyata tidak ada bangku lain.

"Coba bayangkan jika kamu menelpon karena urusan penting dan diabaikan, bagaimana rasanya?"

Rasa bersalah memenuhi hatiku. Reflek, aku menjawab panggilan itu.

Laki-laki ini seperti Ayahku saja. Pandai sekali bicara dan membuat orang lain menurut dan merasa bersalah.

"Maaf, saya sangat menyesal. Sepertinya saya tidak bisa datang untuk memenuhi panggilan wawancara ini." Jelasku pada sang penelpon, tim HRD perusahaan yang seharusnya jadi tempatku mencari nafkah.

"Iya, karena ada alasan pribadi. Saya sangat menyesal dan minta maaf." aku benar-benar menggunakan nada suara semenyedihkan mungkin.

Sebutlah aku sombong. Ck, hanya karena satu orang hidupku jadi tidak karuan.

"Ckckck."

Aku menoleh lagi. Iya, itu bukan dari mulutku. Tapi mulut laki-laki rapi agak berantakan tapi ganteng disebelahku ini.

Eh, apa?

BOSS | SH'L (5) [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang