(1) Knews.

3.4K 201 7
                                    

*bae (noun) ;
before anyone else;
an affectionate used term for your significant other;

Someone who means the world to you.*

.
.
.

Akibat mengikuti insting agar berpaling, jemari lentik menutup mulut saking kagetnya. Pandangan kedua mata bulat indah terpaku menatap layar kaca datar tak jauh darinya. Bergerak mengikuti sorotan kamera yang menumpu pada satu sosok.

Pria jangkung berambut cokelat gelap cepak dengan setelan rapi kemeja serba hitam yang tampak licin. Wajahnya tertutup sebagian oleh penutup kain yang juga senada. Walau memakai kacamata, sorot sedihnya tetap kentara.

Punggung tegap itu mengguratkan emosi pedih yang perih.

Suara konstan pembawa berita, membuyarkan fokus Seokjin untuk segera meraih ponselnya dari hanya termanggu. Begitu sambungan terhubung, Seokjin segera mencerca, mengabaikan kesopanan yang dari kecil diajarkan ibunya.

"Kenapa tak ada yang bilang padaku?! Teman macam apa kau, Yoongi!" Seokjin mendengar erangan singkat, yakin sambungan mereka dijauhkan sejenak akibat oktaf suaranya yang setinggi atap. "Jawab!"

"Yang minta tak diganggu dari kemarin siapa?"

Seokjin menarik napas, membuka mulut siap membantah, tapi urung karena ragu. Matanya spontan menatap kalender, lalu mengusap dahi dan menghela.

"Nah."

"Y-ya, tetap saja! Kirimi aku pesan, surel atau apa saja, 'kan bisa. Sekarang harus bagaimana kalau telat begini? Berita sudah menyiarkan pemakaman. Tak mungkin aku ...."

"Kau memang peduli dan aku jenius."

Perkataan barusan telak sampai Seokjin kesal. Ingin rasanya teman lama di seberang diinjak-injak tepat di batang leher, tapi lidahnya kelu membantah. Itu hanya semakin membenarkan perkataan pemuda di seberang.

"Dia tetap teman." Seokjin menggigiti kuku ibu jari, mata kembali menatap sosok di layar kaca. Hatinya terasa meleleh mendengar predikat yang disebut barusan. "Setidaknya, kami bukan orang asing. Sebagai yang paling tua, aku wajib memberinya dukungan moril. Apalagi itu ...."

"Itu istrinya. Seorang yang berada di antara kalian dan sekarang sudah tiada. Jalanmu terbuka lagi, bukan?"

"Min Yoongi! Aku tidak sepicik itu!" Seokjin mengerang frustasi sambil meremas kepala.

"Sobat, aku bicara apa adanya. Kita sudah belasan tahun berteman. Tak perlu menyangkal di depanku."

Seokjin memijat pangkal hidung, mata terpejam. "Cukup, oke? Aku ...."

"Dengar. Jika pilihanmu masih tetap berlagak seperti sahabat baik dan yang paling tua, pergilah temui dia."


Seokjin menggeleng seolah dapat terlihat. Ia merentangkan tangan ke televisi dengan merana, tak tahu harus mengatakan bagaimana perasaannya. Yoongi melanjutkan.

"Atau, kau bisa hanya diam uring-uringan di situ dan melewatkan kesempatan. Baiklah. Anggap saja aku menerima pembelaan skeptismu itu, lalu? Jawabannya hanya satu, bukan? Datang hiburlah dia. Aku dan yang lain sebentar lagi ke sana. Kau berusahalah sendiri. Nami ke Ilsan tak bakal lama juga."

"Yoongi."

"Apa? Cepatlah. Jimin sudah selesai, aku harus menjemputnya."

Seokjin masih menatap televisi, kebetulan juga kamera memperbesar penampakan pria yang sedari tadi diributkan, tengah membungkuk sopan kepada media massa, lalu menghilang ke dalam mobil dengan bingkai foto cantik di pelukan.

"Oi? Kututup, ya?"

"Bagaimana kalau aku hanya membisu nanti? Aku tak yakin bisa menatapnya lebih dari lima detik tanpa ...."

"Just be you. Sekali saja. Kuyakin dia butuh dirimu yang tanpa topeng, sobat."

"It's hurt and ugly." Seokjin meremas kain di dadanya. Isi kepala sudah berdenyut mengutarakan waras, tapi hatinya menyangkal keras.

"Oke baiklah. Diam di sana dan resapi rasa menyebalkan itu sendirian kalau memang masih ragu. Aku tak mau dibilang memaksa. Akan kusampaikan jika kau tak sempat, karena toh, kerjaanmu deadline. Jadi ...."

"Fuck! Dammit! Aku ke sana, oke?!" Seokjin memindahkan ponsel ke depan hidung, menunjuk-nunjuk foto yang tertera sembari mengumpat sepat.

Sambil menggerutu, Seokjin pergi ke kamar dan memeriksa setelan gelap yang ia punya. Umpatannya kembali naik tiga oktaf begitu kaki menginjak kuas dan hampir tersungkur jatuh. Sudah tak peduli jika kanvas yang baru setengah selesai di dekatnya terciprat atau rusak, karena kuas tadi dilempar beringas.

.

(Until next page, darling (≧∇≦)/ . ... >>

.Bae | NJ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang