(5) Just can't.

1.4K 156 11
                                    

"Kurasa Taehyung terlalu hiperbola soal keadaan kakaknya."

Yoongi melirik sekilas ke kursi penumpang di sebelah. "Maksudnya?" Lampu berubah hijau dan mereka pun kembali berkendara.

Seokjin yang diberi kaus putih gambar paus biru dari ibu Kim bersaudara itu, memeluk diri sendiri. Dari setengah jam lalu ia berpamitan dengan dijemput Yoongi dan sedang menuju ke apartemen sekarang.

Seokjin menolak halus tawaran Namjoon yang mau mengantarnya. Setelah tadi malam, oh, tentu tidak. Seokjin takut ia kebablasan. Hukum alam kalau mantan terlihat lebih memesona ketika bertemu kembali itu, dirasa Seokjin amat berbahaya untuk hatinya.

"Katanya, Namjoon seperti bukan dirinya selepas kami berpisah."

"Hmmm."

"Tapi, kemarin itu, ya. Dia masih sempat menggodaku, tahu. Apa benar begitu kelakuan seorang yang baru kehilangan istri? Oh. Lupakan manusia suka pamer dada waktu malam itu. But, the baby? Poor that lil guy, to have daddy that hot-i mean, meanie! Bisa-bisanya dia begitu ...."

Yoongi memutar setir mengikuti liuk jalan. Tampak tak berminat, tapi memang begitu wajahnya sejak lahir.

"What's the point?"

Seokjin mengernyit. Berpaling tak percaya ke sebelahnya. "The point is, he just fine! Maksudku, ia tetap Namjoon yang dulu, kok. Ya, di beberapa kesempatan memang kulihat wajahnya murung, tapi kurasa wajar karena ia baru kehilangan, 'kan? Terus, panggilan sayangnya belum ... well, for a second he just corrected it, but, heck! Dia masih sama lembutnya kalau menatapku, Yoongi. To be honest."

"Ya, jelas. Kau itu kesayangannya. Mau sudah jadi mantan atau apa, pendirian bocah itu masih sama."

Seokjin mengerucutkan bibir. "Harus kubagaimanakan, dong? Dia sudah jadi suami orang. Merasakan debaran yang sama tiap mata kami bertemu, kini terasa sangat menyesakkan bagiku. Dalam artian buruk. Bibi memang baik, Taehyung juga, tapi rasanya perlakuan mereka padaku salah. Kalau aku kembali tenggelam pada sambutan kesempatan bagaimana? Oh, astaga ... maafkan aku yang tidak tahu diri ini, dewa ...." Seokjin menaikkan kaki dan memeluk diri.

Yoongi menghela. "Kau pikir kehidupan pernikahannya sebahagia yang terlihat? Yakin Namjoon yang kau temui sebelum dan sesudah menikah sama?"

Seokjin mengangkat kepalanya. Menoleh ragu. Bibirnya tergulum enggan melontar kalimat, karena terasa tak ada yang tepat.

"Nah. Sekarang kutanya. Apa kau pernah sekali pun mendengarkan media atau kabarnya setelah menikah? Tidak, 'kan? Alasan menghargai privasi alih-alih sakit hati itu selalu membuatku gemas ingin meninju hidungmu, tahu. Sampai sekarang."

Seokjin menurunkan kakinya, memainkan jemari di perut. "Tidak semua alasannya sama, 'kan? Aku harus membuka galeri. Jadi ...."

"Dia setengah mati menyesal tak bisa datang. Kau tahu mengapa? Kewajiban. Hyejin tak bisa sendirian merawat anaknya yang sakit dan Namjoon harus siaga juga. Sebab lainnya, jika bisa kukatakan dengan kasar, lehernya masih terikat janji agar selalu menjadi suami yang baik. Kurasa kau tahu, karena alasan kalian putus juga sama. Perjodohan dan wasiat terakhir mendiang ayah Namjoon. Yang sekarang kuyakin masanya akan berakhir."

"Berakhir bagaimana?"

"Tanya Namjoon sana."

Mobil memasuki area parkir. Seokjin mengamati gerakan Yoongi yang lihai. "Kenapa bisa kau tahu sebanyak itu, sedangkan aku tidak?"

Yang ditanya tak bersuara sampai mobil mereka terparkir sempurna. Baru saat berhenti, dengan sentakan rem tangan yang kuat, Yoongi menoleh.

"You tell me. Coba jawab sendiri."

Seokjin menipiskan bibir. Sebenarnya ingat dan tahu kenapa. Mereka bertiga berteman cukup dekat dengan Yoongi sebagai penengah. Mengesampingkan asmara, jika ada sesuatu yang terjadi, pasti Yoongi yang terlebih dulu tahu karena walau terlihat dingin dan tak peduli, justru sebaliknya. Semua kalimat pedas itu, karena ia jujur apa adanya.

"Namjoon dulu frustasi dan hampir gila. Aku tak tahan ingin mengungkapkan ini semua, tapi terbentur janji untuk bungkam."

"Lalu, kenapa kau mengatakannya padaku?"

"Ada hal yang seharusnya tak disembunyikan. Juga karena kau selalu mengocehkan hal yang terdengar klise itu, aku tak tahan lagi."

Seokjin mengernyit. "Sekali-kali lembut sedikit seperti Jimin, dong. Aku lebih tua darimu, ya."

"Cuma beda tiga bulan. Jangan berlebihan. Coba sekarang pakai akal seniormu itu dan dengarkan aku."

Seokjin menipiskan bibir, mengangguk.

"Aku tidak berhak menjelaskan terperinci, itu urusan Namjoon. Yang bisa kubagi hanya, penghalang kalian untuk bersama sudah hilang. Kukatakan demikian, karena, maaf, mendiang ayah Namjoon dan Hyejin yang tiada. Wanita itu sendiri tidak menghendaki perjodohan, tapi tak punya pilihan. Mereka sama-sama menghormati makanya terlihat seperti pasangan yang sempurna. Si produser muda yang mapan dan pasangannya penyanyi cantik bersuara emas. Ditambah kemudian kehadiran Hyejun. Bocah itu tak tahu apa-apa dan beruntung Namjoon mengakuinya." Yoongi mengangkat telapak tangan kanannya, mencegah Seokjin memotong, "hanya sebatas itu, kalau penasaran tanya Namjoon sendiri. Intinya, kau tak perlu merasa berdosa jika mau meraih kebahagiaan yang terlepas. Berhenti memikirkan apa kata orang, yang menjalani hubungan itu, kalian berdua. Bukan isi dunia."

Seokjin menaikkan alis. "Bisa bicara sekarang?" Yoongi mengangguk singkat. "Ya, aku tahu, tapi tetap saja tidak bisa segampang itu menjalin lagi apa yang sudah kami akhiri bersama. Statusnya tetaplah suami orang. Duda anak satu, jika perlu kutegaskan. Dia masih punya mertua yang tak tahu mengenai diriku. Pikirkan posisi Namjoon. Aku memang berkeluh kesah, tapi tidak serta merta mengambil kesempatan."

Yoongi berpaling dan menyandarkan diri. Menolak adu mata lagi. Jempol kirinya digigiti pelan, tanda sedang menyusun argumen sendiri.

"Ya, Yoongi. Aku salah sudah menutup mata selama ini dan tidak mau tahu. Maafkan aku." Yang diajak bicara masih betah diam, Seokjin melanjutkan, "tapi, mengertilah. Aku pun ingin kembali memilikinya di sisiku. Hanya saja, tidak bisa. Selain batinku meragu, ragaku ... sudah bisa menerima kalau dia punya tanggung jawab. Hyejun, bukan barang yang bisa ditinggalkan begitu saja jika kami menjalin hubungan lagi. Toh, reputasi Namjoon akan jadi taruhan. Aku tidak bisa egois, Yoongi. I want to be happy. Who's not? But, it's different now. It's something real. Not just a game."

Yoongi akhirnya menoleh. Sorot mata tajam mirip kucing itu, tak mengguratkan emosi. Lalu, ia mengedikkan bahu.

"Baiklah. Itu urusan kalian. Aku sudah mengatakan apa yang harus kukatakan." Yoongi melepas sabuk pengamannya, Seokjin masih mengamati dalam diam. "If you need something, just tell me. Ayo, Jimin sudah selesai masak kukira."

Seokjin ditinggalkan Yoongi keluar duluan. Ia memikirkan yang baru mereka bahas, tapi jadi malah bingung, dan mengacak rambut sendiri. Setelah mengikuti Yoongi, ponselnya berdering.

Si adik beda ayah menelepon. Seokjin ditanya kapan pulang, tapi sepertinya ia akan tinggal beberapa hari lagi di Ilsan bersama Yoongi.

"Pokoknya kujemput. Ayah ibu mencarimu."

Seokjin mendengkus. "Karena?"

"Takut kau jadi kalap karena mantan kekasihmu sudah menduda."

"Wah. Luar biasa, ya?" sarkas Seokjin menanggapi, Yoongi di sebelahnya melirik sekilas. "Tapi, serius. Kalau kau datang hanya untuk menjemput, tak usah. Aku bisa ke Busan sendiri. 'Kay, see ya."

"Tu-tunggu! Aku mau menjenguk kak Namjoon juga. Boleh, 'kan?"

Seokjin mengedikkan bahu. "Up to you, kiddo. Sudah, ah. Aku lapar. Bye!"

Begitu ponsel masuk saku, Yoongi berucap, mereka sudah masuk lift ke lantai atas. "Ah, aku lupa. Kau masih punya masalah sendiri, ya? Apa hal yang terjadi pada Namjoon kejadian padamu juga?"

Seokjin mengedikkan bahu dengan bibir mengerucut. "I have my own life. That lady ... harus tahu aku bukan lagi bayi. Betul, 'kan, Yoongi?"

Yang ditanya diberi cengiran senyum kemudian lift pun terbuka.

.

(Until next page (~‾▿‾)~ )

.Bae | NJ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang