Seokjin terengah setelah berlari dari perhentian bus. Udara malam itu sejuk, tapi serasa bagai jarum yang tengah dihirup. Langkah kakinya tak mau dipacu lagi, karena dengan sialan semua kenangan yang coba ia kubur menggeliat kembali dalam kepala di sepanjang jalan menuju rumah orang itu.
Seokjin menggeleng, berpaling ke arah sebaliknya dengan gestur panik. Beberapa orang yang berlalu lalang memperhatikannya yang sibuk mondar-mandir dengan ponsel tergenggam. Hari sudah menjelang malam saat ia tiba. Tiket penerbangan baru didapatnya tadi pagi. Tak menyangka bakal kehabisan. Yoongi dengan leluasa berkata pedas atas kesempatan berkumpul yang terlewatkan, lalu menyelamatinya karena harus bertemu berdua saja.
Seokjin memukul keningnya dengan ponsel dan mengumpat lirih. Ia berakhir terduduk diam di bangku perhentian bus. Menatap ponsel dan bimbang ingin menghubungi siapa. Jika Yoongi, ia jelas akan diejek pengecut dan sejenisnya. Kalau Jimin? Anak itu lebih lembut saat memberi nasehat dan ....
"Kak Seokjin?"
Yang ditegur menengadah, perlahan bangkit berdiri dengan senyum tak pasti.
"Lama tidak kelihatan. Kakak jadi semakin kurus saja. Terlalu keras bekerja?" Suara bagai kabut itu mendekati dengan uluran tangan ke depan. Seokjin membalas jabatan dengan kikuk. Kebetulankah?
"Aku baik. Bagaimana denganmu, Taehyung?"
Pemuda berambut cokelat terang dengan sisiran pamer dahi itu mengedikkan bahu. Sweter hijau longgarnya bergerak sedikit. "Ya, begini-begini saja. Oh, ya. Kebetulan di Ilsan, mampir sebentar ke rumah, yuk? Ada kak—oh, maaf. Um. Maksudnya, ibu menanyakanmu. Soalnya kemarin cuma kak Yoongi, kak Hoseok dan Jimin yang datang. Katanya kena deadline?"
Seokjin memasukkan ponselnya ke saku. "Tidak juga. Sebenarnya mau datang bersama, tapi kehabisan tiket. Lupa jika keadaan di Nami tidak sesibuk Seoul."
"Baiklah, kebetulan aku juga membawa pesanan ibu, sekalian ke rumah, ya? Makan malam bersama. Um, maksudku ... kakak dan kak Seokjin tetap berteman, 'kan? Jadi, kurasa tak ada salahnya kalau ...."
"Ya. Tentu saja. Asal tidak merepotkan." Seokjin tertawa sumbang. Taehyung menggeleng, mengipas udara.
"Mana ada begitu? Ayo, ayo. Ibu pasti senang melihatmu datang, kak." Taehyung tersenyum, Seokjin mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan sambil mengobrol ringan.
Terdengar dari semua percakapan yang dilontarkan, Taehyung menghindari topik terlalu spesifik pada kakaknya. Karena tentu bukanlah rahasia publik, perihal masa lalu Seokjin dengan kakak Taehyung. Bahkan, ia hampir jadi menantu.
Jika saja, kepala keluarga Kim tidak melangsungkan perjodohan yang mendadak sebelum wafat dua tahun lalu. Ia satu-satunya yang menentang hubungan mereka.
"Media keterlaluan sampai tidak kondusif."
"Kakakmu, 'kan produser musik yang lagi terkenal, jadi ...."
"Tapi, kakak tak suka. Kalau aku bukan di mobil yang sama, salah satu kamera bakal dibanting."
Seokjin mengernyit. Mereka berdua sudah dekat gerbang kayu hitam besar, tinggal dua meter jauhnya. "Apa yang terjadi?"
Taehyung menghela. "Kakak tidak pernah lagi sama sejak ... tahulah ... kalian berpisah. Tubuhnya boleh ada, tapi jiwanya seolah hilang setengah. Ada senyum di wajahnya, tapi terasa hambar. Setiap hari, kupikir dia bisa hilang kapan saja." lalu berpaling, tersenyum lebar. "Dia pasti kaget melihatmu, kak. Ayo!"
Seokjin ditarik lengannya, tergagap bingung menata perasaan. Mereka melewati dua penjaga tinggi besar lalu masuk ke kediaman. Seokjin mengatur napas sekali lagi, lantas tersenyum.
Can't go back now, can i?
.
(Until next page, dear ... (≧∇≦)/)
KAMU SEDANG MEMBACA
.Bae | NJ [✔]
Romansa[BTS - NamJin] Semua orang layak diberi kesempatan kedua. Seokjin tahu, tapi apa ia berani mengambil itu? . . Desclaimer: BTS milik Big Hit entertainment, Tuhan YME dan diri mereka sendiri. Penulis hanya mengklaim plot dan alur cerita. (Start, Sept...