(10) Guest.

1.5K 136 23
                                    

Tepat empat puluh hari penuh dan masa berkabung pun selesai. Bersamaan dengan itu, kerjaan Namjoon yang disusun agar semua meluncur sesuai target tanpa perlu kehadirannya langsung, ikut terampungkan secara padat nan akurat.

Menjalani hubungan asmara kembali dengan menjaga agar tak jadi konsumsi publik, lumayan membuat jengah. Sebelum kembali ke Nami perkara semua lukisan diborong pembeli yang bayar lunas di muka, Seokjin menghabiskan sisa waktunya di Ilsan bersama Namjoon juga Hyejun bolak-balik antara apartemen Yoongi dan kediaman Kim yang damai. Sebenarnya, ingin pergi seperti saat dulu tak sengaja bertemu di pusat belanja di Seoul, tapi karena kecenderungan Namjoon yang tak mau melepas genggamannya pada Seokjin atau sekadar merangkul mesra, membuat kencan mereka diputuskan dalam apartemen atau rumah saja.

Ini demi menghormati keluarga Hyejin juga karirmu, tuan Kim Namjoon. Aku tak keberatan kau mengumbar sikap romantis, tapi pahamilah situasinya.

Meh. Duniaku itu kamu, bae. Yang lain tak penting.

Oh? Jadi, anakmu ini bagaimana? Kalau kakek neneknya betulan ingin merebutnya, kau mau apa? Ingat mereka mau ambil hak asuh kalau melihatmu terlalu di luar jalur. Lalu, semua kontrakmu dengan penyanyi baru itu? Skandal besar begini bakal menenggelamkanmu kalau tak hati-hati. Kau—

I told you, bae, don't worry about it.

Iya, tahu, tapi tetap saja—

Namjoon memotong argumen alot mereka dengan kecupan panjang dan dalam. Mendorong Seokjin sampai terlentang sementara Hyejun menyeletuk nyaring karena Seokjin menepuk-nepuk bahu Namjoon sebagai bentuk protes. Dengan kejadian manis itu, Yoongi datang menyela alih-alih pergi menggendong Hyejun. Semua serasa menyenangkan, walau Seokjin masih berusaha mengemukakan pendapat yang semuanya tentu sudah dipikirkan Namjoon matang-matang sampai nanti akhirnya hari itu pun tiba.

Sejak hari penuh warna itu tiga minggu lalu, Namjoon dan Seokjin hanya bertemu sapa lewat ponsel saja.

Kejenuhan yang menyebalkan harus ditahan, tapi kini tidak lagi.

Namjoon sudah menutup kopernya dengan senyum lebar, lalu menariknya ke luar kamar dan melipat lengan, puas.

"Siap?" Taehyung datang menghampiri, Namjoon mengangguk yakin. "Baiklah. Karena sampai di sana kita berpisah, semua tergantung usahamu, kak. Aku tak khawatir, sih, cuma ... yakin itu adiknya kak Seokjin? Kenapa tidak sama kak Yoongi saja kukerjakan?"

"Hm? Jungkook kenapa?" Namjoon mengambil Hyejun dari ayunan bayi, menimang juga mengecupinya lamat-lamat.

"Kedengarannya masih bocah. Kerjaanku bakal lama."

Namjoon mendengkus tawa, jemari Hyejun mencubit hidungnya. "Anak itu baik dan cekatan. Yoongi tak bisa, bukan? Rencanaku bakal gagal kalau kentara disengaja."

Taehyung mengernyit. "Kenapa pakai acara kejutan? Toh, kak Seokjin tahu kau bakal melamar. Kalau takut ditolak, biarkan si kecil yang bawakan cincinnya. Pasti langsung diterima."

Namjoon mendekati Taehyung dengan Hyejun yang diposisikan seperti terbang, menggerakkan kepalan mungil Hyejun ke arah wajah Taehyung. "Serang paman Taetae!"

Ibu Kim bersaudara menggeleng dan mendekati anak-anak serta cucunya yang bersenda-gurau. Tepat waktu menepuk bahu si anak bungsu yang memasukkan tangan mungil Hyejun ke mulut sementara empunya malah tertawa girang karena ayahnya panik berlebihan. Mereka ditegur agar segera bersiap sebelum terlambat mengejar penerbangan ke pulau Nami.

Setelah mengoper ke ibunya, Namjoon mengecup sekali lagi kening anaknya dan mewanti-wanti agar tidak rewel sampai ia menyusul ke Nami bersama jemputan Hoseok dan Jimin. Hyejun adalah senjata terakhir Namjoon jika kemungkinan terburuk terjadi, tanpa perlu diingatkan Taehyung.

.Bae | NJ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang