(12) Another agreement.

1.1K 125 8
                                    

Seokjin menutup mulut menahan rasa mual. Firasatnya sudah cukup tidak enak untuk kembali demam seperti dua minggu lalu. Kepala yang dipakai berpikir dari sejak meninggalkan Nami, berdenyut-denyut menyebalkan.

"Bae? You good?" Namjoon meremas tangan Seokjin, meraihnya dari pangkuan. Mereka tengah berkendara menuju Gwacheon.

"This is a bad idea. Kenapa tidak langsung nikahi aku saja kemarin mumpung ibu dan adikmu juga Hyejun serta teman-teman kita ada semua di Nami?" tanyanya bersikukuh.

Namjoon mengecup punggung tangan bersemat berlian tunggal itu, tanpa lepas konsentrasi ke kemudi, ia menjawab, "Bae, justru karena aku ingin menikahimu restu dari pihak keluargamu juga harus kudapatkan. Bukankah sangat disayangkan jika restu tulus ibuku hanya bertepuk sebelah kalau ujung-ujungnya kita malah kawin lari? Percayalah. Niat kita tulus, pastinya hal ini akan berjalan baik."

"Iya, tapi, ibuku berbeda, darling. Juga ... pasti pria itu bakal ikut-ikutan. Aish! Aku tak suka kehidupan pribadiku dicampuri! Dari tadi kepalaku malah tambah sakit memikirkannya!" Seokjin menarik tangan dengan cepat, bersedekap menatap jendela di sisi tubuh. "Tahu sendiri dia nyaris menjodohkanku juga supaya aku tak kembali padamu. Kenapa malah menantang, sih?"

Namjoon mengulurkan tangan hendak menggenggam kembali, tapi tunangannya merajuk. Sebenarnya ia setuju-setuju saja dengan ide langsung membawa Seokjin ke Belanda, tapi pikiran rasional dan masukan budiman ibunya, mencegah hal itu. Mau tak mau, suka tak suka, Namjoon memang harus meminta restu orang tua Seokjin. Ia tak ingin ada masalah ke depannya, tapi tunangan yang belakangan rasanya cenderung emosional itu mengajaknya berbuat kriminal.

"Bae. Bagaimana pun juga, kamu masih punya ibu. Toh, memang harusnya pernikahan ada atas restu kedua belah pihak. Aku tak mau kita kenapa-napa nantinya. Restu dari seorang ibu itu sakral, sayang. Bukan untuk main-main. Meminangmu adalah hal yang serius. Kita hanya tinggal selangkah lagi hidup bersama dan aku membutuhkan kekuatan darimu untuk ini. Would you hold on to me, bae? C'mon."

Seokjin menoleh. Ia sebenarnya tahu, akan ada kemungkinan hal ini terjadi, sama seperti ketika dilamar. Ia terlalu paham langkah-langkah yang akan dilakukan Namjoon. Tunangannya adalah  seorang yang memikirkan segala aspek lengkap dengan dampak panjangnya atau pun sementara. Hal yang menguntungkan juga merugikan Seokjin.

Ia kembali takut. Entah kenapa sejak memutuskan menjalin hubungan kembali, Seokjin sebenarnya tak sudi berjauhan barang sedikit pun dari Namjoon, tapi tak serta merta lugas ditunjukkan. Hari-harinya mengerjakan lukisan di Nami pun berlalu sangat menyesakkan, walau sebisa mungkin dilalui dengan bertemu sapa via suara juga bertatap muka virtual. Seokjin bahkan masih menganggap lamaran juga makan bersama kemarin itu adalah mimpi semata, apalagi saat kendaraan mereka sampai di kediaman lamanya. Pening mendadak menyerang kepalanya.

"Darling. I want to puke."

Namjoon langsung gelagapan mencari sesuatu untuk dijadikan wadah muntah sambil cerewet meminta Seokjin bertahan. Sampai akhirnya ia dipaksa diam oleh tangkupan tangan Seokjin di kedua sisi wajah, kening mereka dipertemukan. Ada rasa hangat yang ganjil dirasa Namjoon, tapi karena Seokjin tampak begitu tenang meresapi keadaan mereka, Namjoon diam saja. Ia mengusap-usap lembut lengan Seokjin. Menenangkan tunangan yang pastinya gundah gulana.

"Aku takut, darling. Bagaimana jika dia menolak dan memisahkan kita?"

"She wouldn't."

.Bae | NJ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang