23. Proses untuk Melupa

625 82 16
                                    

Jangan lagi berpura-pura bahagia. Kamu bisa membohongi manusia, tapi tidak dengan hatimu.
-Ariana Ayunandhia-

***

Riri termenung di tempat duduknya, dengan kepala yang menoleh ke arah kiri menatap jendela yang menampilkan suasana luar yang panas. Hatinya bimbang, mengapa banyak masalah yang menimpanya. Ia mencoba fokus mencari solusi. Tapi, seakan sekali ia mencari solusi itu berkali lipat masalah lagi datang kepadanya.

Hidup sendiri tidak bisa di bilang 'nyaman'. Merasakan kesepian dan setiap malamnya harus memutar otak untuk berjuang di keesokan hari. Beberapa orang mungkin mendambakan hidup sendiri dengan kebebasannya, tapi dunia itu keras.

"Gue puas banget si Via di skors, lo tahu? Gue hampir musuhin Riri gara-gara masalah kemarin."

Suara itu berasal dari Rania, perempuan dengan make up tebalnya itu pasti sedang membicarakan perihal Riri dan Via. Riri bukannya tidak mendengar, malah sedari tadi perempuan itu menyimak pembicaraan Rania bersama Tasya.

"Ga tau malu banget dia, bukannya ayah dia tentara ya? Ibunya juga designer kan? Yakali dia kurang duit," Tasya ikut semangat membicarakan Via.

"Oh ya? Wah gila sih si Via gak tahu di untung dan gak tahu bersyukur. Dia udah jelas dari keluarga yang mampu, eh malah nyolong dompet gue!"

"Apalagi gue yang temen sebangku dia, Ran. Jadi males gue sama dia."

Rania membuka pouch yang selalu ia bawa kemana-mana. Yang di dalamnya terdapat make up dengan merk terkenal. Perempuan itu memperbaiki make up-nya yang mulai luntur. Tasya yang melihat kelakuan Rania hanya geleng-geleng kepala. Padahal tadi make upnya di sita oleh guru BK.

Tasya mengalihkan pandangannya dan tidak sengaja melihat Riri yang termenung menatap ke arah jendela luar. Perempuan menyenggol bahu Rania.

"Ish! Apaan sih lo? Gak liat gue lagi make up gini? Kalau sampai belepotan gimana?!" protes Rania yang tidak terima ritual make up-nya di ganggu.

"Lo belum minta maaf sama Riri, gak malu apa, Lo udah marahin dia habis-habisan." Tasya mengingatkan Rania. Rania menepuk dahinya, lupa. Ia benar-benar lupa akan Riri yang tidak bersalah. "Udah sono minta maaf! Jangan nambah-nambahin dosa deh. Udah dosa Lo banyak karena sering ke klub malam di tambah nuduh orang lagi. Inget kata-kata ini Ran. 'Fitnah lebih kejam dari pada membunuh'. Serem kan?" Tasya berceramah sangat panjang membuat Rania makin merasa bersalah karena sikapnya pada Riri tempo hari.

"Ih jangan gitu lah, Sya. Gue juga udah ada niat buat minta maaf tapi lupa." Rania membela dirinya.

Kemudian, Rania membereskan peralatan make up-nya dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu, segera menghampiri Riri ke tempat duduk perempuan itu. Riri masih dengan posisi yang tadi. Merenung sembari melihat ke arah jendela luar.

"Hai, Ri," sapa Rania. Perempuan itu duduk di bangku sebelah Riri yang kebetulan kosong.

Tapi, sapaan Rania tidak di balas oleh Riri. Riri malah masih fokus dengan lamunannya. "Ri?" Rania mencoba menyadarkan Riri. Tapi, tetap saja tidak di balas.

"RIRI!" Kali ini Rania memanggil dengan suara lebih keras membuat Riri langsung tersadar dari lamunannya.

"Eh, ke-kenapa Ran?" Riri tersenyum kepada Rania yang kedatangannya tidak di sadari olehnya.

"Eum....Gue mau minta maaf sama lo,Ri. Gue ngaku salah karena udah nuduh lo tanpa bukti waktu itu. Gue kayak mata duitan banget gak sih?" kata Rania.

Riri terkekeh mendengar kalimat terakhir perempuan itu. "Enggak kok Ran, gue juga kalau ada di posisi lo bakal panik. Dan masalah minta maaf, lo tenang aja gue udah maafin lo, kok." Riri menampilkan senyum hangatnya, senyum yang akan berubah mengerikan ketika ia beraksi menjadi preman kelas alias bendahara.

IAM RAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang