16. Siapa Ardan?

783 88 27
                                    

Haloo....Selamat datang di chapter Iam Rafa yang ke 16🎉
Sebelum ke cerita intinya, kalian wajib vote sama ramein komennya biar ga siders aja. Oh iya, jangan lupa baca dulu chapter 15 biar ga bingung.

OKEY udah pada siap?!

LET'S BEGIN!

****

"Oh anak kesayangan udah balik." Jawaban Ardan membuat Riri mengernyit bingung. Lelaki dengan tubuh tinggi itu terlihat lebih kurus dari hari terkahir Riri bertemu dengannya. "Syukur deh, gue bisa cabut sekarang juga." Ardan menyeret koper besarnya dan menuju pintu keluar.

"Bang, mau kemana lagi?" Riri mencekal pergelangan tangan Ardan.

"Ya mau pergi lah, lo kira gue mau apa di sini? Gue cuman mau ngambil hak yang jadi milik gue." Ardan hendak kembali melanjutkan langkahnya tapi Riri terus menahan pergerakan lelaki itu.

"Riri mohon bang, jangan pergi lagi Riri udah gak punya siapa-siapa di sini!" Air mata lolos dari pelupuk mata Riri.

Tapi Ardan tidak mengindahkannya, ia terus meronta meminta Riri untuk melepaskan cekalannya. "Ngapain gue harus nemenin lo? Lo bukan anak kecil lagi, lo kan anak kesayangan harta lo pasti banyak. Gue cuman minta dikit doang, lepasin! Gue mau pergi," sentak Ardan, lelaki itu menghempaskan Riri sampai terjatuh ke lantai.

"Bang Ardan mau sampai kapan kayak gini? Sampai kapan Bang Ardan bersikap seolah-olah Riri gak ada di dunia ini!"

Ardan terdiam, ia membalikkan badan dan menatap adiknya yang terduduk di lantai sembari menangis. "Lo bilang apa? Lo bilang gue hidup seakan gak pernah nganggap lo ada?" Ardan menguatkan cengkeramannya pada kedua pipi Riri hingga memerah.

"Lo mikir Ri! Yang bikin keluarga ini retak siapa hah?!" Ardan berteriak di depan wajah Riri membuatnya semakin takut dan menutup mata. "LO! ELO ORANG YANG BUAT KELUARGA INI HANCUR!" Ardan menghempaskan lagi tubuh Riri ke lantai.

Lelaki itu seperti di rasuki iblis tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Riri terlalu lemah untuk melawan Ardan yang kekuatannya jauh lebih besar darinya.

"Kalau Riri ada salah ke abang, bilang! Jangan bikin Riri bingung karena abang marahin Riri tanpa alasan!" Riri mencoba berdiri walau kedua pipinya perih akibat cengkeraman Ardan yang sangat kuat.

Ardan menatap Riri dengan tatapan nyalang, matanya memerah menahan gejolak emosi yang sebentar lagi akan meledak. Ardan menarik tangan Riri dan membawanya ke toilet.

BYUR!

Ardan mengguyur Riri tiba-tiba membuat gadis itu semakin menangis karenanya. Ardan berjongkok di hadapan Riri yang terduduk di lantai kamar mandi. Ia menjambak rambut Riri yang terurai membuat gadis itu menangis kesakitan.

"Bang, sakit!" Riri mencoba melepaskan tangan Ardan yang begitu kuat menarik rambutnya.

"SAKIT? IYA?! SAKIT INI YANG GUE RASAIN KETIKA PAPAH BANDINGIN GUE SAMA LO! GUE EMANG GAK SAKIT FISIK RI, TAPI, HATI GUE SAKIT KETIKA PAPAH CUMAN BANGGAIN LO DI HADAPAN KELUARGA DIA!" Suara Ardan menggema di setiap sudut kamar mandi rumahnya tersebut.

"Tapi, Riri ga tau apa-apa bang," lirih Riri.

"Lo caper di depan papah. Awalnya gue biasa aja, tapi lama kelamaan gue muak!" Riri menutup matanya ketika Ardan hendak melayangkan pukulan ke arahnya.

Tapi, setelah beberapa detik tidak ada sesuatu yang menyentuh kulitnya, Riri perlahan membuka matanya dan terkejut dengan kehadiran Iam yang mencekal pergelangan tangan Ardan yang hampir memukul Riri.

"Lo gak usah ikut campur!" Ardan menghempaskan tangan Iam.

"Gue gak bakal ikut campur kalau lo gak lakuin kekerasan!" bentak Iam, ia sudah tidak perduli yang ada di hadapannya ini kakak Riri yang notabenya lebih tua darinya.

"Lo tahu apa tentang keluarga gue hah?!"

"Gue emang gak tahu apa-apa tapi sikap lo ke Riri mencerminkan kalau lo cuman cowok brengsek dan gak pantes jadi abangnya Riri!" Perkataan Iam seketika membungkam mulu Ardan.

"Sekarang lo pergi! Atau mau gue laporin ke polisi? Jangan ganggu Riri lagi kalaupun dia itu adik lo! Gue bakal jaga dia lebih baik dari apa yang pernah lo lakuin!"

Lelaki itu mengepal kuat kedua tangannya, lalu sekilas menatap ke arah Riri yang menangis sembari menahan dinginnya air. Kemudian, Ardan keluar dari kamar mandi dan langsung menyeret kopernya keluar rumah sebelum ia menghabisi Iam.

"Ri, lo gak pa-pa?" Iam berjongkok di harapan Riri, baju cewek itu basah dan bagian tubuhnya sedikit terekspos karena baju basah tersebut menjadi transparan saat terkena air.

Iam dengan cepat membuka jaket bomber-nya dan menutupi tubuh Riri yang terekspos tadi lalu membantunya berdiri. Riri masih menangis membuat Iam tidak tega. Cowok itu memapah Riri sampai ke ruang tamu lalu pergi lagi ke dapur untuk mengambilkan minum.

"Minum dulu Ri." Iam menyodorkan segelas teh hangat untuk Riri.

"Sorry, Ri. Gue gak bisa lama-lama di rumah lo. Apalagi kita cuman berdua, gue balik ya? Nanti malem gue kesini bareng Cica," ucap Iam hati-hati.

Riri mengangguk, ia sudah sedikit tenang karena bantuan Iam. "Thanks, Yam." Iam hanya mengangguk kecil sembari tersenyum lalu mengambil tas yang ada di sofa tersebut dan keluar dari rumah Riri.

Gak kebayang kalau gue ada di posisi Riri. Di siksa kakak sendiri, gila emang abangnya. Iam membatin.

Iam memakai helmnya dan menyebrang untuk masuk ke pekarangan rumah. Untungnya cowok itu sempat mendengar pertengkaran Riri dan Ardan sebelum pergi ke rumahnya. Maka dari itu Iam dengan cepat turun dari motor dan membantu Riri.

Ketika mendengar suara motor Iam menjauh, Riri bangun dan berlari menuju kamarnya, wajahnya tampak panik. "Jangan sampai bang Ardan bawa semuanya." Riri membuka lemari bercat putih dengan 3 pintu itu dan membuka laci kecil yang ada di dalamnya.

Seketika tubuhnya ambruk, air matanya kembali turun. Ardan mengambil semua uangnya, semua perhiasan dan jam tangan miliknya yang menjadi satu-satunya barang yang Riri punya saat ini.

Ia terduduk di lantai dengan baju yang basah, di tambah air mata yang terus mengalir meratapi nasib buruknya hari ini. "Bang Ardan ambil semua uang, gue udah gak punya apa-apa lagi..." lirih Riri. Gadis itu memeluk kedua lututnya dan hanya bisa menerima nasibnya saat ini dan harus berpikir keras apa yang harus ia lakukan di kemudian hari.

****

Cerita ini belum se-sempurna dan sebagus cerita lain hehe... Maaf kalau masih ada typo, kalian bebas mengkritik atau memberi saran lewat komentar asalkan tidak memberikan kritik pedas💛

Jadilah pembaca yang bijak, jangan lupa vote dan komen kalau kalian suka. NEXT? SPAM KOMEN DULU DONG...

Selamat bertemu di lain waktu💛

IAM RAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang