29. PELUK RINDU

650 86 116
                                    

Riri menyeret kopernya keluar rumah dan mengunci pintu rumah tersebut. Rasanya sangat berat meninggalkan rumah yang belum lama ia tempati ini. Menjadi saksi bisu sakit hati, pertengkaran, bahkan saksi cerai ibu ayahnya.

Riri tidak punya pilihan lain, ia sekarang hidup sendiri. Ia juga harus membayar hutangnya, ternyata ayah Riri berutang pada banyak orang bukan hanya 1 atau 2 orang. Riri memilih jalan menjual rumahnya dan akan tinggal di rumah neneknya bersama ibunya. Walau ia tahu pasti ibunya tidak suka.

"Gue gak tahu harus gimana lagi. Ini jalan terakhir," lirih Riri.

Ia dengan sedih hati meninggalkan rumahnya. Perempuan itu juga tidak masuk sekolah karena harus membereskan perlengkapannya yang tidak sedikit lalu memberikan sertifikat rumahnya kepada penghuni baru.

Saat ia berjalan untuk pergi, sekilas memperhatikan rumah Iam yang tampak sepi. Cowok itu sepertinya tidak ada di rumah pagi ini, kemarin Riri juga bertemu dengan Iam dirumah sakit tapi sikapnya semakin dingin dan tidak bersahabat.

"Mungkin lo masih marah sama gue, Yam. Sorry ya. Gue pamit." Riri terus berjalan meninggalkan rumahnya dan menuju rumah neneknya yang lumayan jauh.

****

Setelah Riri membereskan semua kepentingan untuk menjual rumahnya ia segera pergi ke rumah neneknya. Uang di transfer langsung oleh sang pembeli ke rekening Riri karena perempuan itu takut jika harus membawa uang tunai yang sangat banyak.

Dalam hati ia berdoa semoga ibunya menerima Riri lagi karena setelah perceraian waktu itu Riri memilih tinggal bersama ayahnya dan membuat ibunya marah.

Tentu Riri tidak mau karena ibunya akan menikah lagi dengan pria lain. Riri paling tidak suka dengan keluarga 'tiri'. 

Saat sampai di rumah neneknya, Riri merasa ingin menangis ingin mencurahkan semua rasa rindu, lelah dan emosi pada neneknya. Riri lalu mengetuk pintu rumah sampai seseorang membukakan pintu.

"Ya Allah Riri!" seru nenek Riri.

Tika—nenek Riri sangat senang dengan kedatangan cucunya ia memeluk Riri dengan erat begitupun sebaliknya, Riri juga sangat rindu dengan neneknya.

"Nek, Riri mau tinggal disini sama nenek sekarang," ujar Riri melerai pelukannya.

Tentu Tika mengangguk senang dan terharu saat cucu keduanya itu tinggal dirumahnya. Ardan tidak pernah mau tinggal atau mengunjungi Tika hingga wanita itu kesepian tidak ada cucu yang mau menemuinya.

"Nenek pasti izinin kamu tinggal sama nenek," balas Tika. "Ayok masuk Ri." Tika membantu Riri membawa koper cucunya.

Riri tersenyum kecil saat masuk kedalam rumah dan memperhatikan sekelilingnya. Rumah ini memang tidak begitu besar dan luas tapi membuat suasana yang hangat.

"Ibu mana nek?" tanya Tika.

Tika langsung berubah murung. Ia tidak tahu harus menjawab apa, ia tidak mau Riri bersedih. Tika tahu kalau Riri tinggal sendiri karena ayahnya di penjara dan ibunya pergi begitu saja.

"Kok nenek diem? Oh! Ibu di kamar ya nek. Riri mau temuin ibu dulu. " Riri menaruh tasnya di kursi dan bergegas ke kamar.

Tapi Tika lebih dulu mencegah Riri. "Ri. Riri dengerin nenek dulu."

"Kenapa?"

Tika menelan ludahnya dengan susah ia bingung harus mulai bicara darimana. Tapi Riri berhak tahu kabar Aruna-ibunya.

"Ibu kamu depresi karena tahu calon suami barunya sudah berkeluarga. Dan sekarang, ibu kamu di rumah sakit jiwa," ujar Tika dengan hati-hati.

Riri langsung terduduk lemas di lantai kenapa ibu dan ayahnya bisa menderita seperti ini. Kemarin ayahnya masuk rumah sakit karena serangan jantung di sel penjara dan sekarang ibunya depresi dan berada di rumah sakit jiwa. Kakaknya entah pergi kemana dan Riri sudah panik dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

IAM RAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang