Bodoh. Adalah saat aku merasa gugup, menantikan sore datang. Ini aneh, bahkan tanganku terasa dingin dan jantungku berdegup terlalu kencang.
Aku sendiri masih tidak bisa memastikan perasaan apa ini. Setelah kejadian kemarin, aku jadi manusia yang sama bodohnya dengan babi.
"Nenek?" Panggilku dengan telapak tanganku yang berkeringat.
Aku dengar suara kertas di lipat, lalu di hempaskan entah kemana.
"Ya? Kamu mau ke kamar mandi lagi?" Aku mengangguk untuk yang kesekian kalinya. "Hah ... Nenek tidak tahu apa yang terjadi, tapi kamu hari ini terlihat gusar, dan gugup,"
Tangan keriput milik Nenek ku satu-satunya ini memegangiku. Menarikku pelan turun dari ranjang besi rumah sakit. Lalu tak ada pergerakkan lagi, sampai akhirnya Nenek menurunkanku dan mengarahkan kakiku untuk memakai sandal dengan bulu beludru yang sangat lembut.
"Tinggalkan saja, aku tahu, keluar dari kamar mandi, aku harus ke kanan, bukan?" Ujarku lalu tersenyum.
"Baiklah,"
Sampai terdengar pintu kamar mandi yang tertutup barulah aku menghela nafas yang dari tadi tersengal-sengal.
Oh sial!
Bara! Keterlaluan! Mantra apa yang ia pakai sampai aku jadi begini. Aku berjongkok, tanganku merasakan degup jantungku yang sama saja kecepatannya.
"Satu ... dua ... tiga ... empat ... ah sial! Masih sama!" Umpatku salah tingkah.
* * *
Sore itu, aku diam di kamar, tak berani untuk keluar. Bahkan suster Irma sampai khawatir dibuatnya. Aku meyakinkannya kalau aku baik-baik saja.
Ceklek.
Mataku yang tadinya mulai terpejam, lalu terjaga kembali. Siapa yang datang? Tidak mungkin Nenek atau Kakek, atau keluarga Tante Kirana.
"Siapa?" Panggilku sambil berbalik.
Saat itu pula ... Aku merasakan hembusan nafas tepat di depan hidungku. Aku. Diam. Tak tahu harus bergerak ke arah mana.
Hembusan itu masih bertahan lama. Sama seperti degup jantungku yang bedetak makin cepat, makin cepat, dan makin cepat. Hangat tubuh seseorang bisa kurasakan. Aku berkedip berkali-kali, sampai akhirnya ... hembusan itu perlahan menjauh dan di gantikan dengan seruakkan udara ruangan yang menyejukkan.
"A-ah! H-hei kenapa kamu-kenapa kamu masih tiduran disini, huh?"
Bara.
Itu suara Bara. Mungkinkah, itu hembusan nafas Bara ...?
Memikirkannya membuat jantungku nyaris meledak, dan suhu tubuhku sepertinya naik sampai ke kedua pipiku.
Aku berbalik dan menarik selimut. "Aku mau istirahat!"
Bara tak menjawabku. Namun, aku merasakan tangan kekar seperti tangan Kakek waktu masih bugar dulu, mengangkatku dan memakaikanku sandal beludru favoritku. Dan, aku merasa melayang sekaligus merasa perutku ditekan sesuatu yang keras namun tak menyakitkan.
Apa aku sedang dibopong?
"Hei! Bara turunkan aku! Bodoh! Sialan! Kurang ajar!" Kupukul-pukul sesuatu yang keras itu, yang kuyakini adalah bahu Bara.
Bara terdengar tertawa, "Aku tidak mungkin membopongmu gendut! Tuan Candra, antarkan tuan putri ini ke taman diluar rumah sakit itu, yah!"
Apa?!?
* * *
Sesungguhnya aku marah untuk yang keseratus kalinya pada Bara. Aku diboping keluar rumah sakit tanpa diketahui suster Irma dan Nenek. Ya ampun, dia ini benar-benar keterlaluan! Nyaris saja selang infusku terlepas!
"Kamu marah?" Tanyanya setelah ia menghilang-maksudku tak kedengaran suaranya.
Hempasan angin kecil di sampingku sudah menandakan kalau ia duduk di sebelahku. Entah apa yang ia lakukan.
"Kamu ini orang kaya yang tak tahu tata krama, seharusnya bicara baik-baik dulu!" Protesku.
"Pernah dengar kalau orang kaya bisa melakukan segala hal?" Nada sombongnya itu lho!
Aku berdecih, ya aku tahu kamu memang orang kaya Bara! Tapi uang tak bisa membeli segalanya! Dasar bodoh!
"Cinta."
Aku menoleh saat ia bersuara. Sedikit bingung maksud dari ucapannya.
"Katanya, cinta tak bisa dibayar dengan uang, bukan?" Aku mengangguk. Ternyata ia tahu akan hal itu.
Sedang asyiknya merasakan hembusan angin sore, tanganku tertarik ke depan menyebabkan kakiku sedikit kesulitan untuk menyeimbangkan diri.
"Hei! Hei! Hentikan!" Pintaku kahawatir aku jatuh.
Ku dengar Bara terkekeh. "Maafkan aku, aku hanya ingin menunjukkanmu ini!"
Aku diam, merasakan sentuhan Bara di pergelangan tanganku. Ya, Bara menarik tanganku ke udara, entah kenapa. Ia membetulkan posisi jariku, sampai akhirnya hanya telunjukku yang tak terlipat.
Ia masih menariknya di udara, sampai ujung telunjukku menyentuh sesuatu yang basah dan lembut, namun sesuatu itu hilang seketika menciptakan cipratan kecil yang lengket ke punggung tanganku.
Aku sedikit terkejut namun sedikit tersenyum. "Apa itu, Bara?" Tanyaku.
Bara diam tak menjawabku, sampai aku menggerakkan tanganku barulah ia bersuara.
"Ah? Tebak itu apa?" Katanya berbalik tanya. Aku hanya menggeleng tak tahu.
Ia menurunkan tanganku, namun belum melepaskannya. "Itu gelembung, Dara. Disini banyak sekali gelembung," katanya dengan suara yang sangat sangat tenang.
Aku suka saat ia menyebut namaku. Meski tak terlalu jelas karna tiba-tiba saja ada suara meain kendaraan bermotor yang seperti mendekat.
Entah kenapa, aku ingin sekali tersenyum.
"Aku suka gelembung," ujarku tanpa melepas senyumanku.
Saat itu pula, Bara melepas genggamannya. Nafasnya terdengar seperti terburu-buru.
"Ah! Dara aku harus pergi-Tuan Candra! Tolong-tolong antar dia, kumohon!"
Lalu, aku tak mendengar suaranya lagi. Tapi aku mendengar deruan mesin mobil yang bergerak menjauh.
Kenapa?
![](https://img.wattpad.com/cover/30301058-288-k545085.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Flower
RomanceTerima kasih, karna kamu telah memberikan secercah cahaya di tengah-tengah gelapnya dunia. Terima kasih, karna kamu mau memayungi ku di bawah derasnya guyuran air mata. Terima kasih, karna kamu selalu ada di buku harian sepuluh hari ku di sini. Untu...