Jadi, sebenarnya aku ini kenapa? Tanganku, dingin sedingin-dinginnya. Aku juga, gelisah. Jujur saja, aku khawatir.
Kejadian dimana Bara terdengar sangat buru-buru itu membuat aku takut. Sampai malam, tak ada kabar dari Bara maupun pengawalnya. Padahal Pak Candra berjanji akan mendatangiku untuk mengatakan keadaan Bara. Tapi tak satupun suruhan Bara datang.
Sampai siang inipun, Bara belum menemuiku. Sengaja aku meminta suster Irma untuk mengantarku ke taman rumah sakit. Siapa tahu saja, bara muncul dan aku bisa bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Hari semakin panas, apa sebaiknya kita kembali?" Kudengar suster Irma berkata.
Aku menggeleng. "Tidak suster Irma, aku merasa teduh, 'kok!" Ujarku bohong. Lalu tak terdengar lagi suara pinta suster Irma, hanya terdengar helaan nafas gusarnya.
"Dara, apa yang sedang kamu pikirkan? Katakan padaku?"
Pertanyaan suster Irma seolah memaksaku untuk bersuara dan bertanya tentang Bara. Namun ego dan gengsi ku terlalu besar untuk itu semua. Dan aku hanya dapat bergeming, meski aku merasakan tatapan dari suster Irma.
Setelah beberapa menit berdiam diri, kuputuskan untuk bertanya.
"Suster, apa suster yakin Bara hanya punya penyakit usus buntu?" Tanyaku kemudian.
"Apa?" Suster Irma kedengarannya cukup terkejut aku bertanya soal Bara. "Oh, kurasa hanya itu, tak ada penyakit lain, aku yakin itu!" Lanjutnya kemudian.
Aku kembali mengangguk. "Tapi … apa suster pernah melihat ia terlihat gusar?" Tanyaku lagi.
"Tidak, tidak pernah! Tapi aku sering melihat ia berpikir akhir-akhir ini, aku juga beberapa kali melihat ia keluar dari ruangan Dokter Arya. Aku ingin bertanya, tapi aku rasa tak perlu," hening sejenak.
Lalu, aku masuk ke dalam akal dan pikiranku. Apa yang akhir-akhir ini di pikirkan Bara? Dan kenapa pula ia menemui dokter Arya yang berprofesi sebagai spesialis mata? Padahal ia bisa menemui dokter umum yang menangani dirinya saat operasi.
"Oh iya! Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Bara?"
Aku menggeleng pelan. Dan, ku alihkan pembicaraan siang itu ke macam-macam rasa es krim.
* * *
Ceklek.
Aku menoleh refleks saat kenop pintu terdengar. Kupasang wajah setenang mungkin. Hal inilah yang aku benci saat di rumah sakit sendirian, aku tak bisa melihat, sehingga setiap kali ada suara aneh aku akan merasa was-was.
"Jangan takut, ini aku!"
Suara itu! Suara itu!
"Bara!" Sapaku riang. "Bagaimana kabarmu? Kenapa kemarin kamu menghilang begitu saja? Dasar tak bertanggung jawab!" Protesku yang sebenarnya topeng atas kebahagiaanku.
Kudengar kekehan dari mulutnya, aku juga mendengar dencitan kursi di sampingku.
"Kenapa? Kamu merindukanku rupanya," ujarnya dengan nada santai seolah sudah menebak hal itu.
"Bodoh! Mana mungkin! Aku hanya tidak suka padamu karna kamu menelantarkanku dan menyuruh pengawalmu mengantarku!" Sergahku—yang kusyukuri bisa semantap itu.
Kembali kudengar kekehannya. "Jadi kamu tak menyukaiku? Ah, sayang sekali! Padahal aku menyukaimu!" Nada kecewa yang dibuat-buat itu membuatku jijik sekali.
Dan kamipun larut dalam perbincangan tentang banyak hal, mulai dari masa laluku, bagaimana aku bisa buta begini, sampai apa hobiku sampai aku lupa untuk bertanya apa yang terjadi kemarin. Aku senang, ia kembali, aku senang ia baik-baik saja.
Aku senang, karna ia tahu dimana aku.
"Jadi, kamu mengambil tantangan rivalmu untuk balapan? Dan akhirnya kamu berakhir begini? Dan masa-masa dua tahun SMP mu di habiskan dengan penyesalan tiada henti?" Bara menarik kesimpulan dari ceritaku.
Aku mengangguk, "Ya, meski saat ini aku seharusnya kelas 10 di SMA umum, tapi aku tetap senang bersekolah di SLB,"
Hening seketika, entah apa yang ia pikirkan.
"Lalu, kenapa kamu tidak menjalani operasi transplantasi kornea kalau begitu?" Tanya Bara.
Aku tersenyum kecil. "Di Indonesia ini, kornea yang layak itu cukup sulit ditemukan. Sekalipun ada, Nenek dan Kakek ku harus mengeluarkan biaya banyak untuk operasi di Singapura,"
Ya, aku tak ingin menyulitkan Nenek dan Kakek. Selama aku nyaman dengan penyakitku ini, akupun senang. Meski dengan kekuranganku ini, aku akan lebih sering dipandang rendah, tapi aku akan berusaha mewujudkan semua cita-citaku.
"Oh iya, apa kamu sudah dengar kalau ada yang bersedia memberikan korneanya untukmu?" Sepertinya Bara baru saja minum air, karna suaranya terdengar lebih jelas dari sebelumnya.
"Kurasa tidak? Kamu kata siapa?" Tanyaku bingung. Karna memang tak ada pemberitahuan apapun baik dari Nenek, Dokter ataupun Suster Irma.
"A—ah? Aku tau dari—dari suster Irma!" Jawabnya meski aku sedikit janggal mendengarnya.
Kubulatkan kedua bibirku. "Benarkah? Padahal tadi siang aku berbicara banyak dengan suster Irma, mungkin dia bermaksud memberikan kejutan,"
Lalu, aku merasakan sentuhan hangat di puncak kepala. Tepukan kecil begitu terasa nyaman di kepalaku.
"Sampai jumpa, Dara."
***
A/N
Cerita ini cuma sampe "hari kesepuluh" abis itu "epilog" berarti bentar lagi beres! Yeay!
Jangan lupa kritik & sarannya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Flower
RomansaTerima kasih, karna kamu telah memberikan secercah cahaya di tengah-tengah gelapnya dunia. Terima kasih, karna kamu mau memayungi ku di bawah derasnya guyuran air mata. Terima kasih, karna kamu selalu ada di buku harian sepuluh hari ku di sini. Untu...