Hari Kelima

403 28 2
                                    

Semalam aku tak bisa tidur dengan benar. Perkataan Bara ternyata berefek cukup besar untukku. Dia ini benar-benar mengejutkan.

"Suster hari ini aku mau di kamar saja," pintaku yang sebenarnya bermaksud untuk menghindari Bara.

Aku merasakan selang infusku sedikit tersenggol. Suster Irma pasti sedang memeriksa infusku.

"Baiklah, Nenekmu bilang sore nanti setelah menutup toko roti, beliau baru akan datang bersama Kakekmu yang akan pulang cepat dari kantornya," kudengar suster Irma berbicara.

Aku hanya mengangguk, seiring terdengarnya dencitan bangku yang mungkin saja suster Irma duduk disana.

"Kemana orang tuamu?" Tanya suster Irma.

"Sudah tidak ada, kecelakaan." Jawabku tegar. Aku sudah biasa.

Aku mendengar suster Irma yang tercekat nafasnya. "Maafkan aku," aku hanya tersenyum dan memberi isyarat kalau semuanya baik-baik saja.

Aku lalu berbincang-bincang dengan suster Irma. Menanyakan apa saja yang ia lakukan supaya bisa magang di rumah sakit ini. Lalu, aku mendengar kenop berbunyi, pertanda seseorang masuk. Anehnya, bukan memberi salam orang yang baru masuk ini justru terdengar tertawa riang. Dan suara itu sudah familiar untukku, suara Bara.

"Apa kamu akan diam saja di kasur, Dara?" Tanyanya dengan nada yang semakin lama semakin mendekat.

Aku diam, tak mau menjawab. Orang ini aneh, setelah mengatakan suka ia masih bisa-bisanha terdengar baik-baik saja. Aku saja sampai panas dingin begini karna malu.

"Ah! Kalian sudah janjian sepertinya, baiklah aku tinggal dulu!"

"Suster Irma!"

Cekrek.

Telat, suster Irma yang baik hati itu sudah keluar meninggalkan kami berdua-atau mungkin bertiga karna pastinya ada pengawal Bara.

"Apa kamu baik-baik saja?" Dencitan bangku kembali terdengar seiring Bara bertanya.

"Seharusnya aku yang bertanya."

Ia terkekeh, "Benar juga! Aku flu, sedikit demam dan bercak-bercak merah muncul di sekujur tubuhku, kepalaku pusing dan tanganku gemetar!"

Dasar menyebalkan!

"Itu tandanya, kamu baik-baik saja." Malas aku meladeni leluconnya.

Ia kembali terdengar tertawa. Lalu aku mendengar suara yang tak asing, suara seperti toples yang di goyangkan. Toples permenku!

"Jangan sentuh toples itu!" Cegahku sebelum ia membukanya dan memakan permen-permenku.

"Terlambat. Aku sudah membuka bungkus permennya. Buka mulutmu, ku baca disini kamu harus makan permen ini pagi ini,"

Tentu saja aku tidak akan membuka mulutku untuk disuapi permen olehnya. "Tidak mau! Aku bisa sendiri!" Tolakku cepat.

"Baiklah, ini!"

Tanganku melayang-layang diudara, mencari tangannya yang memegang permenku.

"Hei! Ma-"

"Hap! Kamu berhasil memakannya! Yeay! Aku menang!"

Sial!

Tiba-tiba saja Bara memegang tangaku, lalu memasukkan permen itu selagi aku berbicara. Secara tak langsung, ia menyuapiku permen itu. Oh aku malu sekali.

"Kenapa? Apa kamu malu? Hahaha wajahmu bersemu!"

Tertawalah sepuasmu! Hah bagaimana ini?!?! Memalukan!

"Tutup mulutmu! Pergilah! Aku mau istirahat!" Usirku sebal.

Perlahan aku mulai berbaring, dan berusaha menarik selimut. Aku berbalik, memunggunginya. Tak perduli ini tidak sopan. Aku sebal.

Samar, aku mendengar helaan nafasnya. "Besok sore, temui aku di taman, aku akan mengajakmu bermain,"

Aku merasakan selimutku tertarik ke atas dan kesamping. Lalu, kasurku juga sedikit turun. Bahkan aku juga mendengar suara mesin pendingin ruangan dinyalakan. Dan aku, juga mendengar alunan musik klasik yang biasa mengantarku tidur di putar.

"Selamat beristirahat, Dara." Kudengar suaranya sebelum suara kenop pintu yang kudengar.

Boleh aku jujur?

Namaku jadi 180° lebih berarti saat ia yang mengatakannya.

Dark FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang