Bujang mengayun kapaknya dengan semangat. Membuat kayu besar yang sudah dipotong itu tebelah dalam satu kali terjang. Peluh yang menetes membasahi tubuh Bujang membuat kulitnya yang sawo matang mengkilap ditimpa cahaya matahari pagi.
Lengan berotot keras, perut kotak-kotak yang terbentuk secara alami karena sering melakukan pekerjaan kasar dan mengangkat beban berat.
Bujang memisahkan kayu yang sudah terbelah dengan tempat yang berbeda. Kayu itu harus dibentuk lagi sebelum dijadikan kayu bakar.
Katakanlah Bujang kolot, memang, disaat orang memakai gas untuk memasak, dia malah mengandalkan tungku andalannya. Bukan dia tak memiliki uang, hanya saja pria yang kerap digelari Bujang lapuk itu merasa tak perlu membeli perabotan atau pun pecah belah. Bujang meletakkan kapaknya, lalu duduk di kayu yang masih utuh untuk menyalakan rokok.
Asal rokok mengepul dari bibir gelap itu, sementara keringat membasahi rambutnya, mengalir ke pelipisnya.
"Seharusnya cari istri saja," kata seorang laki-laki yang sudah memiliki rambut bawarna abu-abu. Kekehan mengejek itu sudah biasa bagi Bujang.
Bujang mendengus.
"Siapa yang mau denganku, gadis zaman sekarang lebih memilih pria kota dari pada laki-laki yang hidup di tengah hutan.""Ah, kau benar, mungkin kau perlu menunggu wanita ajaib yang menyasar ke sini, seperti film-film."
"Dari tadi kau bicara saja, ayo bantu aku memasukkan perabot pesanan Abang Sholeh."
"Tunggu dulu, Kopiku belum habis."
"Dua menit lagi kalau kau tak bergerak, aku takkan mengeluarkan upahmu hari ini."
"Aku tau kau kejam." Pria yang sudah berumur itu terpaksa bangkit.
"Apa mejanya bisa diantar sekarang?" Suara halus nan merdu, mengalun berhasil menghentikan gerakan pria yang berbeda usia itu.
"Jang! Wanita kesasar!" kata pria itu pada Bujang. Dan Bujang kembali mendengus.
***
Sedikit dulu ya Mak.
200 vote
50 komenAku update satu lagi hari ini.