Dengan terpaksa, motor Keke ditinggal di rumah Bujang. Pria itu mengeluarkan motor tuanya, yang entah taun berapa keluarannya, yang jelas menurut Keke motor itu lebih butut dari pengertian butut itu sendiri.
Keke tidak yakin akan mendaratkan pantatnya di sana, karena tempat duduknya hampir dipenuhi oleh Bujang, tinggal sedikit.
"Tidak ada motor yang lain, Bang?" Keke terpaksa mengeluarkan unek-uneknya. Dia yakin, sebentar lagi waktu Maghrib akan habis.
"Hanya ini, Ke," sahut Bujang, dia sudah bersiap-siap menyalakan motornya, tapi melihat keraguan Keke, Bujang membatalkan niatnya.
"Jadi bagaimana? Apa tunggu Pak Iwan jemput kamu?"
"Nggak mungkin dijemput, Bang. Ini satu-satunya motor di rumah."
"Terus?"
"Ya, sudahlah! Antar saya saja."
"Naiklah!" Bujang menyalakan motornya, dan Keke hanya bisa menghela nafas melihat asap hitam mengepul keluar dari dalam knalpot. Bunyinya pun, seperti bau kabel terbakar.
"Cepat, Ke! Bentar lagi kayaknya mau hujan lagi."
Keke tak punya pilihan lain, dia naik dan duduk di belakang Bujang. Dan, rasanya tidak nyaman, Keke mencoba beringsut ke belakang agar mereka tak bersentuhan, tapi mau geser ke mana? Alhasil, Keke hanya memangku tangannya di dada agar tak menempel pada pria itu.
Mereka mulai melewati pohon-pohon sawit yang gelap, hanya ada cahaya redup dari pondok penjaga kebun sawit yang letaknya agak ke dalam.
"Kalau malam sepi banget, ya, Bang?" Keke bergidik ngeri, bisa saja harimau atau beruang muncul dari sana.
"Lumayan, tapi kalau terbiasa, nggak apa-apa juga."
"Kalau saya jadi Abang, saya akan pindah."
"Sayangnya aku bukan kamu, Ke."
Mereka melalui jalan berbelok, berkerikil, lalu menurun, sesekali motor Bujang terpeleset.
Tiba-tiba Keke merasa ada yang tak beres dengan motor butut itu. Dan benar, akhirnya benda itu mati.
"Bentar, Ke." Bujang menepi, sedangkan Keke turun dan melihat benda itu penasaran.
Bujang berjongkok sambil menyalakan Hp senternya.
"Ada yang korslet." Bujang bangkit, mata tajamnya awas melihat ujung jalan.
"Nggak ada bengkel di sini, Bang."
"Iya, nggak ada."
"Gimana lagi, Bang?"
"Biar aku dorong motornya, kamu nggak apa, kan, kalau diantar jalan kaki?"
Keke harus jawab apa, demi apa pun, jalan ini sepi, tak ada rumah, karena merupakan perbatasan desa. Tidak ada juga kendaraan umum. Keke tak punya pilihan.
"Masih jauh ini, Bang. Tiga puluh menit lagi kalau jalan kaki."
"Kamu kuat nggak, Ke?"
"Kuat sih, tapi lumayan capek kalau dorong motor."
"Sekalian antar ke bengkel."
Mereka mulai berjalan berdampingan. Awan hitam bersibak, sehingga cahaya bulan yang terbentuk setengah cukup menjadi penerang.
Keke melirik Bujang sekilas, begitu tenang, bagaikan air di sungai dalam. Dia bahkan tak bicara jika Keke tak memulainya
"Kenapa tak beli motor baru saja, kata Ayah, Abang punya banyak uang, buktinya mesjid di desa Abang yang bangun, kan?"
"Mungkin nanti, Ke. Lagi pula motornya jarang digunakan, karena sering bawa mobil barang."
"Oh," sahut Keke sambil menyelipkan rambut ke telinganya. "Kata Pak Iwan, kamu bentar lagi wisuda, ya?"
"Benar," jawab Keke, tumben dia balik bertanya.
"Waktu cuma sebentar, padahal rasanya baru kemaren kamu hanyut di sungai."
"Apa benar Abang yang selamatkan saya?"
"Iya,"
"Gimana ceritanya?"
"Kamu kebawa arus, pas mandi sama teman-temanmu, tak ada yang berani karena airnya deras setelah hujan."
"Terus Abang yang lompat?"
"Iya,"
"Oh," sahut Keke. Cerita itu berulang kali didengar dari ayahnya, bahkan ayahnya bilang, kalau Bujang tak menolongnya, mungkin dia sudah tiada.
"Walaupun terlambat, saya ucapkan terimakasih atas pertolongannya."
"Sudah lama pun, Ke," sahutnya.
"Iya." Keke tersenyum, dia mengingat Bujang, rasanya Bujang yang dulu dan yang sekarang tak jauh berbeda.
"Capek, Ke, kalau capek, berhenti dulu."
"Nggak, lanjut aja, ayah pasti udah nunggu."
"Baiklah!"
***
Bujang sengaja tak mampir ke rumah Keke, pria itu langsung ke bengkel langganannya tanpa banyak bicara.
Sedangkan Pak Iwan bernafas lega saat melihat anak gadisnya itu pulang ke rumah dengan selamat.
"Alhamdulilah, kau sampai juga di rumah, kami cemas terjadi apa-apa denganmu, karena musim hujan juga. Mana motornya?"
"Ditinggal di tempat Bang Bujang, Yah!" Keke menselonjorkan kakinya, lumayan capek. Keke memijit betisnya pelan.
"Loh, kenapa?"
"Nggak mau nyala."
"Iya, ayahmu cuma pandai Makai, entah sudah berapa lama olinya tidak diganti," sahut ibu Keke, dia menyodorkan segelas air putih pada Keke, dan langsung habis dalam sekali minum.
"Terus?"
"Bang Bujang yang ngantar, sialnya, motor Bang Bujang juga mati di jalan, akhirnya jalan kaki sama-sama."
"Nggak disuruh mampir dia, Ke?"
"Nggak mau dia, Bu."
"Padahal ayah ingin minum kopi sama-sama."
Keke diam saja.
"Ayo, makan malam!" kata Ibu Keke.
***
Di karya karsa tamat