Nulis cerita ini bikin aku rileks, setelah kening berkerut menyelesaikan jejak luka satu dan dua.
***
Bujang tak habis pikir, apa lagi tujuan Keke ke sini. Rasanya urusan telah selesai dengan gadis itu.
Keke menunjukkan wajah dongkol, entah kenapa, seperti terpaksa.
"Bang, saya ke sini disuruh Ayah, ini! Ngantar undangan."
Bujang menatap Keke sebentar lalu mengambil undangan yang disodorkan gadis itu.
"Siapa yang nikah? Kamu?"
"Baca dulu Bang," seru Keke, sebelum ke sini dia sempat berdebat dengan ayahnya, rasanya undangan itu bisa disampaikan lewat telpon saja, tapi kaya ayahnya, tak sopan mengundang dengan cara seperti itu. Keke pun terpaksa pergi mengantar sendiri.
"Oh, undangan sunatan," kata Bujang lalu meletakkan undangan itu di atas kayu papan yang tersusun rapi.
"Iya, Bayu, adik saya. Ayah sekaligus nyuruh bikinkan lemari dapur."
"Boleh, mau model yang mana?"
"Kasih contoh bisa, Bang?"
"Bisa, silahkan masuk dulu, juga ada Luqman di dalam."
Keke mengangguk. Mata Keke menyapu tempat yang dimakan gudang itu. Ada beberapa perabot yang sudah jadi atau malah tunggal dicat.
Dia melihat Bujang mengambil sebuah album foto dan menyodorkan pada Keke.
"Kamu bisa pilih di situ. Banyak model dan ukuran."
Keke mengangguk, lalu melihat foto berbagai macam model lemari itu satu persatu.
"Yang ini, berapa?" Keke menunjuk sebuah foto.
"Yang mana?" Bujang mendekat, kerena dia tak bisa melihat terlalu jelas.
Hidung Keke mencium aroma sampo yang masih segar, walaupun bau rokok masih tercium samar.
"Untuk Pak Iwan, sejuta delapan ratus saja," jawab Bujang.
"Jang, bantu angakat, hujan," Luqman muncul membawa meja yang masih dalam proses pengecatan.
"Bentar, Ke."
"Oke," sahut Keke, dia berjalan sedikit ke arah pintu keluar gudang. Awalnya hanya hujan rintik-rintik, kemudian berubah deras.
Bujang dan Luqman berkejar dengan waktu menyelamatkan perabot yang lagi proses pengecatan. Dalam waktu beberapa menit, halaman Bujang sudah kosong.
"Deras, Jang," kata Luqman mengusap wajahnya yang basah. "Aku pulang saja ya, Jang. Sudah sore juga."
Bujang hanya mengangguk.
"Aku pinjam mantelmu, ya?"
"Itu digantung di sudut."
"Pamit ya, Ke!"
"Iya, Bang, hati-hati."
Keke dan Bujang memandang punggung Luqman yang semakin menjauh.
Tinggal Bujang dan Keke, beberapa menit menunggu, Keke mulai tidak betah dengan suasana sunyi di antara mereka. Bujang seolah-olah bersikap dia tengah sendiri. Mengabaikan Keke.
Keke melihat Bujang menyelinap di balik pintu triplek itu, lalu muncul lagi beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat di tangannya.
"Minum, Ke. Hujannya Masih lebat." Bujang menarik kursi plastik warna merah pudar dan menyerahkannya pada Keke.
"Jadi, pilih yang mana?"
"Yang ini saja, berapa lama, Bang?"
"Paling cepat satu Minggu, ada pesanan lain soalnya," jawab Bujang santai. Keke takjub dengan sikap tenang Bujang, selama ini tak ada laki-laki yang tak terpikat oleh kecantikannya, bahkan para mahasiswa di kampusnya. Berbeda dengan Bujang, pria itu menunjukkan ekspresi biasa saja, tak menampakkan rasa tertarik sedikit pun.
"Di sini sepi, ya, Bang," ucap Keke sambil melihat ke ufuk barat, matahari pasti sudah tenggelam, hanya saja awan hitam menutupi dan membuat lebih gelap dari seharusnya.
"Namanya hutan, ya sepi."
"Hanya rumah ini saja yang ada di sini, perbatasan ke desa tetangga juga jauh, apa tak berniat pindah, Bang, ke desa supaya lebih ramai."
Bujang menatap Keke sekilas, lalu tersenyum tipis hampir tak terlihat.
"Lebih suka di sini, selain ini tanah milik keluarga, membawa pohon dari hutan juga tak sulit."
"Hm." Keke mengangguk.
Bujang menjulurkan kepalanya ke luar jendela gudang.
"Motormu kehujanan, Ke."
"Biar saja, Bang."
***
Keke mulai kewalahan, membiarkan motornya kehujanan ternyata menimbulkan masalah serius. Benda itu tak mau menyala. Hari semakin gelap, hanya cahaya lampu pijar yang digantung di tiang sebagai penerang."Gimana, Ke?"
"Nggak bisa nyala," kata Keke putus asa. Hujan sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Saatnya dia pulang ke rumah. Sebentar lagi Maghrib.
Bujang sejenak berpikir.
"Biar aku antar, Ke. Pak Iwan pasti sudah cemas menunggumu."
"Oh, baiklah," jawab Keke pasrah.
***
Di Karya Karsa tamat