Kevin menepati janjinya menunggu Keke, bahkan saat waktu Ashar tiba, Kevin masih betah berada di sana. Pemandangan itu membuatnya tak nyaman. Keke merasa urusan mereka telah selesai, laki-laki itu yang memutuskan hubungan mereka lebih dulu, dia yang berselingkuh dengan wanita lain. Lalu apa tujuannya ke sini? Jarak kota tempat mereka kuliah dengen kampungnya memakan waktu lima jam jika naik bus. Hebat sekali kalau begitu, rasanya Kevin juga tak diundang, Keke hanya memberi undangan umum di sosmed.
"Itu siapa?" Ayahnya mulai curiga, karena tamu datang silih berganti sedangkan Kevin masih di sana dan belum berniat ingin pergi.
"Teman, Yah."
"Oh," sahut Pak Iwan singkat.
"Boleh Keke izin bentar, Yah?"
"Ke mana?" Pak Iwan mulai curiga. Karena Kevin dari tadi pun tak memperkenalkan diri, dia sibuk dengan Hp-nya.
"Ada perlu dengan Kevin, urusan kampus, kebetulan kami sama-sama mau wisuda." Keke terpaksa berbohong. Pak Iwan berpikir sejenak.
"Sebelum jam enam sudah sampai di rumah, bisa?"
"Baik, Ayah." Keke tersenyum lega.
***
Mereka tengah duduk di sebuah warung kecil yang menjual es kelapa muda. Ada banyak meja plastik yang ditata dan disebar di atas rumput, seperti tengah berisitirahat di alam bebas, bedanya pemandangan di depan mereka bukanlah pantai atau pun gunung, hanya kebun sawit seluas mata memandang.
"Bagaimana kabarmu, Ke?"
"Aku baik, seperti yang kau lihat."
"Kau sedikit kurus," sahut Kevin, seolah-olah tak setuju dengan pernyataan Keke.
"Tentu saja, aku baru saja selesai dengan kesibukanku mengurus skripsi sampai sidang."
"Kau tak bertanya sebaliknya, Ke?"
"Aku yakin kabarmu sangat baik. Iya, kan?"
"Kau salah, Ke. Aku kacau."
"Kacau?" Keke tertawa kecil, di matanya pria itu malah terlihat baik-baik saja.
"Sejak putus denganmu."
"Jangan bahas itu lagi, aku menemuimu saat ini dengan status sebagai teman, tak ada urusan perasaan."
"Ke, dengar sedikit saja, beri aku kesempatan menjelaskan."
"Bagian mana yang harus aku dengar? Semua pengakuanmu aku fahami, aku mengerti, dan aku merelakanmu saat kau memilih wanita lain, jadi bagian mana lagi yang harus aku dengar?"
"Kami sudah putus."
Keke tersenyum, masam.
"Terus?"
"Ceritanya panjang, Ke."
"Sejujurnya aku tak mau dengar, karena itu bukan urusanku lagi."
"Aku masih sayang kamu, Ke."
Keke terdiam, dia mengencangkan cengkraman tangannya pada gamisnya, gamis dan jilbab yang terpaksa dipakai karena acara syukuran Bayu.
"Apa tujuanmu, mengatakan itu sekarang."
"Ke, mungkin kita bisa kembali bersama dengan beberapa hal yang bisa kita ubah."
Keke menatap Kevin dingin, tapi dia ingin mendengar lebih banyak dari mulut pria itu.
"Kamu sempurna, Ke. Tapi aku belum mendapatkan apa-apa darimu, pacaran saat ini berbeda dengan zaman orangtua kita dulu, tiga tahun kita bersama, dan kita hanya berpegangan tangan, tak lebih."
Keke menahan emosinya yang mulai tersulut.
"Aku juga ingin seperti orang-orang, yang ...."
"Kau ingin seperti orang-orang? Kalau begitu temui ayahku, bawa orangtuamu, kita menikah."
"Itu tidak mungkin, Ke. Aku belum wisuda, dan aku belum punya pekerjaan."
Keke bangkit sambil menatap muak pada Kevin.
"Takdir putus denganmu adalah takdir yang paling tepat. Permisi."
Keke pergi, tak mengindahkan seruan Kevin yang memanggilnya.
Gadis itu mengangkat gamisnya, melangkah cepat dengan wajah marah menyusuri jalan desa. Dia ingin marah, tapi pada siapa? Apakah sebegitu tak berharga dirinya sampai Kevin hanya membutuhkannya untuk pelarian.
Bunyi klakson mobil mengejutkan Keke.
"Kemana, Ke?"
Bujang, menepi dan menyapa Keke. Tanpa basa-basi Keke membuka pintu mobil dan duduk di samping Bujang.
"Abang mau ke mana?"
"Ngantar barang."
"Saya mau ikut."
"Baiklah!" jawab Bujang dengan wajah herannya.
***
280 vote