"Sekalian bantu angkat, Bang! Ayah tidak di rumah."
"Di taruh di mana?"
"Di kamar saya," jawab Keke masuk lebih dulu, ibunya pergi kondangan, dan sang ayah belum balik dari pasar setelah pergi tadi pagi membawa buah pinang untuk dijual.
"Tidak apa-apa aku masuk?" tanya Bujang ragu, dia mengantar barang sendiri, sementara Luqman menjaga gudang.
"Terus, mejanya mau ditaruh di sini aja, gitu?" sahut Keke agak kesal.
"Baiklah," jawab Bujang menyerah. Dia mengikuti Keke masuk ke dalam rumah. Bukan apa-apa, Bujang hanya menjaga adab agar tak menjadi gunjingan tetangga. Bukan dia tertarik pada gadis itu, namun dia adalah orang Melayu yang selalu diajari adab, termasuk ketika masuk ke rumah orang.
"Aku taruh di sini saja, ya, Ke. Nggak enak masuk kamar," kata Bujang meletakkan meja itu di ruang tamu, tepat di sudut ruang tamu Keke.
Keke menatap Bujang, sedikit kesal. Menurutnya Bujang tak hanya kolot namanya, tapi kolot pemikirannya. Menurutnya terlalu berlebihan prinsip Bujang itu.
"Terserah Abang sajalah! Ini, dua ratus lima belas kan? Kembaliannya ambil saja!" kata Keke menyodorkan uang sebesar dua ratus lima puluh.
"Aku punya kembalian, tunggu!" Bujang memasukkan tangan ke kantung celananya. Tapi yang dia dapati hanya yang pecahan seratus dan lima puluh.
"Iya, tidak ada ternyata. Bayar dua ratus saja."
"Harganya kan dua ratus lima belas, saya nggak mau bikin Abang rugi."
"Sudah, dua ratus saja. Aku permisi, masih ada yang mau diantar."
"Baiklah," jawab Keke. Ada yang aneh, biasanya seseorang akan menerima dengan senang hati uang yang berlebih jika dia membayar sesuatu, tapi Bujang malah menolak. Keke mengangkat bahu, mungkin seperti yang ayahnya bilang, Bujang sebenarnya sangat kaya dan tak kekurangan yang. Tentu saja kembalian dengan jumlah puluhan ribu tak berarti baginya.
Keke kembali merasa pria itu terlalu biasa, tak ada yang istimewa. Jika dibandingkan Kevin, Bujang akan ketinggalan jauh. Kevin berwajah ganteng dan keren. Wajahnya bersih dan selalu berpenampilan kekinian, dia memiliki parfum khas yang sangat disukai Keke. Sedangkan Bujang, pria itu terlalu matang, kulitnya gelap dan wajah yang dipenuhi cambang. Dia terbiasa memakai baju kaos tanpa lengan yang sudah lusuh. Serta celana belel yang tak kalah lusuhnya. Jika Kevin selalu wangi karena bersih dan memakai parfum, maka Bujang malah bau rokok. Keke sudah punya kesimpulan, dia tak cocok dengan pilihan ayahnya.
***
"Sudah datang mejanya, Ke?" tanya Pak Iwan saat melihat meja Keke sudah berada di ruang tamu.
"Sudah! Tadi Keke suruh Bang Bujang memasukkan ke kamar, dia malah tak mau. Aneh!" kata Keke sambil menukar siaran televisi.
"Itu namanya bukan aneh, tapi dia bersikap menghormatimu sebagai seorang gadis dan tuan rumah."
"Keke nggak ngerti."
"Coba kamu pikir, kamu anak gadis, masih muda, cantik lagi, kemudian Ayah dan ibu tak di rumah, dia juga memilki kesempatan untuk masuk ke dalam kamar kamu, tapi dia menolak, dia laki-laki sejati, Nak."
"Ayah memuji terlalu berlebihan. Dia tak sebaik itu."
"Ya sudahlah! Terserah kamu saja, jadi gimana? Mau dijodohkan dengan Bujang apa tidak?"
"Tanpa Keke jawab, ayah pasti tau kok."
"Ya sudahlah! Ayah nggak maksa, karena yang akan menjalani rumah tangga nanti kan kamu sendiri. Ayo, ambilkan ayah nasi, ayah sudah lapar, masak apa kamu tadi, Nak?"
***
"Jadi gimana?" tanya Luqman bersemangat, padahal Bujang baru mematikan mesin mobilnya.
"Apanya?"
"Gadis itu, apa lagi, masa ibunya."
"Memangnya ada apa dengan gadis itu?"
"Lha? Kau tanya kenapa, kau suka tidak?"
"Tidak. Aku tak pernah menyukai apa yang tak mungkin jadi milikku."
"Berusahalah! Dia gadis yang baik, bunga desa pula, aduh! Ayahnya pun begitu baik, Jang."
"Kalau begitu Bang Luqman saja yang nikahi dia."
"Aku bisa digorok oleh istriku, kau ini."
"Jadi, jangan bahas-bahas perempuan lagi, Keke bukan seleraku."
"Memangnya seleramu seperti apa? Seperti Laksmi, kah?"
"Tidak, dia terlalu semok."
"Bua ha ha, kau tak perlu membeli kasur," Luqman tertawa geli.
Baru saja Bujang ingin menjawab, bunyi motor kembali terdengar di depan pagar kayu.
"Jang, dia lagi."
Bujang kembali mendengus. Keke datang lagi.
***
Di karya Karsa tamat