10

5K 787 76
                                    

Bujang tak bertanya apa pun lagi, hanya deru mobil yang terdengar memecah kesunyian mereka.

Keke berusaha untuk tetap meneguhkan hati agar dia tidak menangis, sungguh, semua ucapan Kevin sangat menyakiti harga dirinya. Pria itu menjalin kasih dengannya selama bertahun-tahun, kemudian memutuskannya secara sepihak karena mengakui perselingkuhannya. Lalu, dalam kurun waktu yang tak lama, dia datang lagi dan ingin kembali. Hei, apakah menurut Kevin hatinya terbuat dari batu? Susah payah dia mengobati lukanya sendiri, setelah dia yakin dia mulai bangkit, Kevin ingin mengorek luka yang sudah mengering itu dan menaburkan garam di atasnya.

"Bisa berhenti sebentar, Bang," kata Keke dengan suara serak, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Sebentar saja.

Bujang menurut, dia menepikan mobil pick up-nya di tepi jalan desa.

Keke menutup wajahnya, melepaskan tangisnya sendiri. Bahunya terguncang dan Bujang hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa dan berbuat apa-apa.

Beberapa menit kemudian, hati Keke lega. Dia mengambil sapu tangan dari dalam tas kecilnya dan mengusap wajahnya yang basah.

"Abang pasti heran, kan? Kenapa saya seperti ini."

"Tidak, aku tak tertarik mengetahui urusan pribadi orang," jawab Bujang tenang, matanya menatap lurus ke ujung jalan, di mana mobil bak membawa muatan kelapa sawit yang telah dipanen.

Keke tak habis pikir, dia bersikap sangat bodoh, naik ke mobil pria itu, ikut mengantar barang, lalu menangis seperti orang gila, dan ... Pria itu tak ingin tau?

"Abang tak ingin tau?" Keke memastikan kembali pendengarannya.

"Tidak," wajah Bujang masih datar. Tak ada emosi apa pun.

"Kenapa Abang bisa setenang ini?"

Bujang menoleh, memandang wajah Keke yang masih penuh keraguan.

"Karena aku tak pernah memikirkan orang yang tak memikirkanku."

Keke tertegun, jawaban itu menyentaknya, sederhana tapi memiliki makna yang dalam. Bahkan Bujang belum mengetahui apa pokok permasalahannya. Keke belum bercerita apa pun.

"Bisa kita berangkat, Ke?" Bujang bersiap-siap menghidupkan mesin mobil.

"Tunggu!" Tak sadar Keke mencengkram lengan Bujang, saat mata Bujang memandang ke mana tangan Keke, Keke sadar dan buru-buru melepaskannya karena malu.

"Abang mau mendengarkan saya?"

"Bicaralah!" Bujang mengubah posisi duduknya, sedikit mengarah ke arah Keke, pandangan matanya tajam dan menunggu.

"Saya baru putus dari pacar saya, namanya Kevin, kami berpacaran hampir tiga tahun, Kevin selingkuh, saat itu hidup saya terasa hancur."

Mulut Bujang masih terkatup rapat.

"Terus, setelah itu dia datang lagi dan ingin kembali. Menurut Bang Bujang apa yang harus saya lakukan?"

Bujang berpikir sejenak.

"Siapa yang memutuskan lebih dulu?"

"Kevin."

"Berati sudah jelas."

"Maksud Abang?" tanya Keke tak puas.

"Dia memutuskanmu, berarti dia tak menginginkanmu. Lalu apa lagi?"

"Dia masih menginginkan saya, buktinya dia ingin kembali, ingin kami balikan lagi."

"Kenapa dia ingin kembali?"

"Karena dia masih sayang pada saya."

"Kalau dia sayang padamu, dia takkan memutuskanmu."

"Bang." Keke protes.

"Jawabannya sangat sederhana, Ke. Kami laki-laki akan cepat bosan pada sesuatu yang kami dapatkan dengan mudah. Jika kau menerimanya lagi, dia akan kembali bosan padamu, lalu dia akan memutuskanmu lagi, apa kau mau seperti itu?"

Keke mulai tertarik.

"Tentu saja tidak."

"Kalau kau tak ingin begitu, jangan kau lakukan. Ingat, Ke. Kita yang memutuskan kita mau bahagia apa tidak."

Keke tertegun, apa yang dikatakan Bujang semuanya benar.

"Sudah, sebentar lagi Maghrib, masih ada satu tempat lagi."

"Baik," jawab Keke tanpa melepaskan matanya dari Bujang.

Kenapa semua masalah jadi mudah saat berbicara dengan laki-laki itu, rasanya beban di pundak Keke hilang sudah. Dia menyesal sempat menangis di depan Bujang. Alangkah bodohnya dia.

***

270 vote

Bujang Lapuk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang