((14))

2.3K 288 11
                                    

"Saya akan katakan pada ayah, bahwa saya menerima perjodohan Abang dengan saya."

Bujang tertegun. Dia memandang Keke tak percaya. Keputusan dari mana itu, dia tau pasti Keke tak menyukainya, gadis kampung tapi bergaya modren itu terlalu kekanak-kanakan. Baru saja dia menangis karena patah hati, sekarang minta dijodohkan dengannya.

Dia bukan anak-anak yang bisa dijadikan lelucon sesuka hati Keke. Bagaimana bisa, wanita patah hati itu membuat keputusan sepihak tanpa bertanya dulu padanya.

Wanita ini cantik, sangat. Bunga desa yang menjadi buah bibir karena kecantikannya. Karakternya yang percaya diri dan cuek menjadi pesona tersendiri bagi siapa yang melihatnya. Namun, Bujang bukanlah anak SMA yang akan terpesona dengan kecantikan remaja yang emosinya masih labil itu. Bujang tau pasti, wanita itu sedang patah hati.

Bujang telah puas makan asam garam kehidupan, dia telah lelah berharap akan memiliki istri, bahkan dia ikhlas jika tak memiliki jodoh sepanjang hidupnya. Dia tak pernah menuntut banyak pada Tuhan selama ini. Karena apa yang dimilikinya telah cukup dan patut disyukuri.

Bujang mendekat, jika biasanya dia tak begitu memerhatikan wajah itu, kali ini Bujang menatapnya lekat, tak membiarkan matanya berkedip sedikit pun, bukan terpesona, tapi sejenis tatapan peringatan. Dia bukan Kevin, yang bisa berubah pikiran setiap saat.

"Kau sadar dengan apa yang kau katakan, Ke?"

Keke memutar tubuhnya agar bisa menghadap lurus pada Bujang.

"Saya sadar dengan apa yang saya pikirkan, saya akan menyuruh ayah untuk melanjutkan perjodohan Abang dengan saya." Wanita itu bersikukuh. Dia balas menantang tatapan Bujang dengan sedikit mendongak. Seolah-olah ingin membuktikan bahwa dia tak pernah gentar dengan lawan bicaranya.

"Dan kau pikir aku akan menerima begitu saja?"

"Saya yakin Abang akan menerima." Keke menjawab penuh percaya diri.

"Alasanmu?"

"Saya cukup layak menjadi istri Bang Bujang. Saya terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci, mengelola uang."

"Menikah bukan hanya perkara memasak, mencuci dan mengelola uang. Aku tak layak untukmu, Ke. Usia kita terpaut jauh. Kau akan menyesal di kemudian hari."

"Itu takkan terjadi," jawab Keke, dia memakai kembali sepatunya. Kemudian mengandalkan kaca gedung untuk mengecek wajahnya. Kacau sekali. Bahkan dia belum mengambil foto keluarga. Sedangkan make up-nya sudah luntur.

"Ke, berpikirlah yang benar, aku dan kamu, tak cocok dalam segala hal. Pikirkan masa depanmu, mungkin aku bisa menerima semua kekuranganmu, tapi kau belum tentu bisa, Ke. Aku hanya bujang lapuk yang menjadi buah bibir orang kampung dan lebih memilih tinggal terpencil di tepi hutan. Pikirkan dirimu sendiri. Kau terlalu muda, masa depanmu masih panjang."

"Saya tetap akan memaksa ayah melanjutkan perjodohan." Keke berbalik, dia pergi meninggalkan Bujang yang belum puas mengeluarkan isi hatinya.

***

Tekad Keke sudah bulat, dia akan memaksa ayahnya untuk melanjutkan perjodohan. Dia tak butuh pacar lagi, hatinya yang telah patah takkan bisa jatuh cinta lagi. Dari pada pusing memikirkan Kevin, lebih baik menikah saja. Simpel bukan?

Keke sengaja mencari sosok yang membuatnya sakit hati itu. Ketemu, Kevin tengah duduk di bangku yang terletak di bawah pohon mangga.

Keke tersenyum dan berusaha seanggun mungkin. Kevin sempat tergagap saat melihat siapa yang datang. Dia melepaskan tangan gadis yang sejak tadi menempel manja padanya. Keke mencibir dalam hati, dasar tak tau malu.

"Hai, Kev," sapa keke lebih dulu. Dia juga mengulurkan tangan pada gadis yang tengah memandangnya dengan tatapan menilai. Lumayan cantik, walaupun agak berisi, alias gemuk.

"Hai," jawab Kevin tersenyum kikuk.

"Selamat ya, Kev. Udah sarjana."

"Kamu juga, Ke." Kevin menggaruk tengkuknya sendiri. Kebiasaan jika laki-laki itu tengah gugup.

"Pacar baru, Kev? Sofi mana?"

"Dia...."

Kevin melirik wanita di sampingnya yang tengah menunggu jawabannya. Keke bersorak dalam hati, hiburan kali ini lumayan, setidaknya Kevin mendapatkan hukumannya karena telah membuat Keke menangis.

"Siapa Sofi?" tanya gadis itu, Keke yakin sebentar lagi mereka akan bertengkar.

"Dia mantan aku."

"Aku juga mantannya Kevin, loh." Keke menyahut.

"Ke," seru Kevin, wajahnya terlihat emosi.

"Kamu? Mantan Kevin juga?" Gadis yang memakai gaun bewarna putih itu memandang Keke dengan aura permusuhan.

"Iya," sahut Keke santai. "Kami pacaran hampir tiga tahun, kemudian putus setelah Kevin selingkuh. Hati-hati saja, sebagai sesama perempuan, aku hanya berpesan pada kamu."

Habis itu Keke langsung pamit sambil tersenyum menang. Dia sempat mendengar seruan Kevin memanggil gadis yang tengah cemburu dan merajuk itu.

***

Malam yang temaram, Pak Iwan tengah duduk di balai-balai sambil menikmati kopinya. Kipas sate tak lepas dari tangannya, udara malam pun terasa panas.

"Yah," sapa Keke, dia duduk di samping ayahnya. Mereka sampai di rumah jam empat sore. Bujang langsung pamit pulang setelahnya.

"Keke mau ngomong serius."

Pak Iwan melirik Keke.

"Bicaralah!"

"Ayah menyukai Bang Bujang, kan?"

"Kamu juga tau, Ke."

"Keke setuju dijodohkan sama Bang Bujang."

Kalimat itu meluncur begitu lancar, wajah Pak Iwan nampak keheranan.

"Kenapa mendadak?"

"Keke sudah pikirkan matang-matang."

"Yakin, Ke? Bukannya selama ini kamu nggak tertarik sama dia."

"Sekarang pun tak tertarik, Yah."

"Loh? Lalu apa alasannya?"

"Keke bosan pacaran, mau nikah aja, kalau menurut ayah, Bang Bujang itu baik untuk Keke, Keke Nerima aja. Ayah sama ibu kan juga dijodohkan. Langgeng, kok."

Pak Iwan menghabiskan kopinya. Kemudian menggeser duduknya agar menghadap ke arah Keke.

"Ke, ayah memang menyukai Bujang karena dia laki-laki yang baik akhlaknya. Tapi bukan berarti ayah akan memaksamu."

"Keke nggak terpaksa kok."

"Ini aneh, Ke. Terlalu mendadak."

"Keke udah pikirkan matang-matang, Yah."

Bujang Lapuk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang