10;

1.5K 152 5
                                    

"Gila. Aku nyariin kamu sampek kemana-mana, Resh. Taunya di sini," Kata Galuh yang tampak kelelahan menghampiri Naresh yang sudah satu jam duduk di bangku taman.

"Huh? Udah dari tadi? Kenapa nggak telepon?"

"Aku udah telepon kamu tapi nggak diangkat." Galuh tampak kesal.

Naresh menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. Di hadapan Galuh ia tersenyum bodoh, lalu berkata, "Aku lupa hapenya ketinggalan di rumah kayaknya."

Galuh berdecak. Bukan hal yang baru sebenarnya bagi Galuh jika sang sahabat melupakan ponselnya begitu saja. Pasalnya Naresh hanya akan mencari benda pipih nan pintar tersebut hanya saat dalam mood tidak baik atau hanya dalam mode ingin main game saja. Perihal lainnya, Galuh rasa Naresh tak pernah memperdulikannya. Karna Naresh memang tak begitu sering terlihat menggunakan ponselnya.

"Kak Ryan kemana?" Tanya Galuh mengalihkan pembicaraan.

"Kerja. Kamu bawa apa?" Naresh balik bertanya setelah menemukan sebuah kotak makan berwarna coklat di sisi Galuh.

"Masalah makanan aja gercep." Naresh tersenyum bodoh lagi. "Tadi Mama titip ini buat kamu. Katanya kalo kamu makan ini pasti bakal cepet sembuh."

Mendengar itu Naresh menjadi tidak sabaran. Tanpa menunggu Galuh membukakannya untuknya, Naresh justru dengan cepat menyerobot kotak makan tersebut sampai plastiknya pun ia rebut. Membukanya cepat-cepat dan berbinar karna bau yang lezat langsung menyambangi indra penciumnya.

"Brownies!" Seru Naresh antusias.

"Aku bilang kalo aku mau jenguk kamu pulang sekolah trus Mama sempetin buatin Brownies itu buat kamu. Sesuai kesukaan kamu yang pecinta coklat akut."

"Mama kamu tau dari mana kalo aku suka coklat?" Naresh menoleh. Membiarkan sejenak brownies dipangkuannya.

"Ya, dari aku lah. Mama nanya kamu suka apa makanya itu Mama buatin brownies yang emang bahan dasarnya coklat manis. Dan Mama yakin kamu pasti suka dan mau makan."

"Iya. Aku suka banget. Makasih ya, Gal."

"Sama-sama. Gih dimakan."

Detik berikutnya Naresh memakan brownies itu dengan penuh rasa kagum. Mengunyahnya perlahan bak pemain iklan sebuah produk makanan. Menikmatinya dengan hikmah tanpa mempunyai pikiran untuk sekedar basa-basi menawari Galuh.

"Um." Naresh menghentikan aksi makannya. Melumat browniesnya perlahan nyaris seperti diemut karna memang teksturnya yang lembut jadi gampang. "Salamin makasih juga, ya, ke Mama kamu."

Galuh yang tadinya asyik memperhatikan anak yang bermain bola di lapangan kontan menoleh. Lalu mengangguk kemudian. "Oke. Pastinya."

"Rasanya ngingetin aku sama Bunda dulu. Mirip banget kayak buatan Bunda aku soalnya. Lembut trus manis."

Perihal orangtua Naresh, Galuh tidak tau banyak. Karna Naresh memang tak banyak bercerita tentang orangtuanya. Yang sering Naresh bicarakan hanyalah tentang Ryan. Ryan yang suka mengatur dan mengekangnya. Hanya itu. Maka yang Galuh lakukan hanya mengangguk. Membiarkan Naresh menyuarakan isi hatinya.

Naresh terkekeh hambar. Menatap ke depan. Kosong.

"Aku jadi kangen Bunda sama Ayah."

"Kalo kangen kirim doa buat mereka. Pasti mereka bakal seneng."

Mendadak tubuh Naresh lemas. Kekuatannya menghilang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Merindukan sosok yang tak akan pernah hadir selalu membuat pertahannya runtuh. Naresh melepas sendok yang ada di tangannya tiba-tiba. Membuat Galuh mendadak was-was melihat perubahan kondisi Naresh.

"Kamu kenapa, Resh?" Galuh meraih tangan Naresh. Mengambil alih kotak bekal berisi brownies.

"Gal, anter aku ke kamar bisa? Aku pusing." Suara Naresh melirih. Membuat Galuh bingung harus bagaimana.

"Kuat jalan?" Naresh sejenak melihat ke arah kakinya diikuti Galuh yang juga melihat ke sana. Kaki tanpa alasnya tampak bergetar. Yang kemudian Naresh menggeleng. Memberi tatap yang mengiris batin Galuh.

"Enggak mungkin kalo aku gendong kamu sampek kamar. Tiang infusnya bikin repot. Kamu tunggu di sini sebentar. Aku panggilin dokter, ya?"

Namun, Naresh mencekal pergelangan tangannya. Terlalu lama, dan Naresh ingin cepat-cepat ke kamar tanpa mendapat omelan. Ingat, dia keluar tadi tidak ada yang tau. Kalau tiba-tiba ada dokter atau suster yang tau dia di taman tanpa alas kaki, maka sudah dapat dipastikan sepanjang perjalanan sampai ia tiba di kamarpun orang-orang itu akan memberondonginya dengan nasehat bercampur omelan.

"Nggak perlu. Papah aja. Bantu berdiri. Aku masih kuat jalan kalo cuma diseret-seret aja."

"Dari pada diseret-seret apa nggak enak pake kursi roda? Nyari ribetnya aja."

"Gal, aku keluar nggak izin. Kalo sampek ada suster atau dokter yang tau pasti ngomel-ngomel. Aku lagi pusing nggak mau dengerin mereka ngoceh. Please," mohon Naresh penuh.

Lalu, apa mungkin Galuh tidak luluh dengan tatap Naresh yang memabukkan tersebut? Bahkan Ryan saja belum bisa memecahkan rekor tersebut, apalagi dirinya? Galuh mendesah. Menarik tubuh Naresh bangkit lalu membantunya berjalan perlahan.

Setengah jam berjalan, Galuh ngos-ngosan. Naresh tidak bisa dibilang ringan. Anak itu berat dan semakin membuatnya kerepotan saat harus beberapa kali menghindari dokter yang berlalu lalang supaya Naresh tidak ketahuan.

Sesampainya di kamar, Galuh langsung mendudukan tubuh Naresh di tepian brangkar. Spontan tangan bebas infusnya memijat sebelah kepalanya, meringis tertahan kala denyut dari sana menghantamnya begitu kuat.

"Shh ...."

Belum sempat bernapas lega, Galuh kembali mendekati Naresh penuh ke khawatiran. "Kenapa, Resh? Aku panggilin dokter, ya?"

Naresh menggeleng. "T-tolong ambilin obat."

"Dimana?"

Tepat setelah itu pintu kamar tersebut terbuka. Menampakkan sosok Ryan dengan wajah kusut datang masuk ke dalam. Berhambur segera mendekati ranjang sang adik saat dilihat Naresh sedang tidak baik-baik saja.

"Kamu kenapa, Resh? Mana yang sakit? Bilang sama Kakak."

Naresh tak lekas menjawab. Ia makin kesakitan sampai tanpa sadar kedua tangannya kini menjambak rambutnya. Begitu kuat sampai beberapa helai rontok. Ryan menghalau tangan tersebut. Segera menekan tombol darurat yang terdapat pada kepala ranjang sang adik.

"Tahan Resh, jangan dijambak," pintanya.

"Obat Kak. Tadi Naresh minta obatnya. Tapi aku nggak tau dimana obatnya," seru Galuh. Membuat Ryan baru sadar kalau ada orang lain selain mereka berdua.

"Galuh?" Ryan sadar. "Kenapa kamu nggak panggil dokter dari tadi?"

"Maaf Kak. Aku panik."

Tidak lama Dokter Gani dan seorang suster tergesa-gesa masuk ke dalam kamar Naresh. Mengambil alih tubuh Naresh dan menyuruh Galuh juga Ryan untuk keluar sebentar. Memberikan keduanya menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya.

Dokter Gani langsung menuntun tubuh Naresh untuk berbaring. Membiarkan pemuda tersebut meringkuk menghadapnya dengan tangan meremat rambut kepalanya sendiri dengan kuat. Sedangkan ia dan suster yang ikutserta tadi sibuk memberi Naresh berbagai obat. Mulai dari menyuntikkannya pada infus juga lengan tangan Naresh.

Tbc





-
-
-



BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang