24;

1.1K 129 19
                                    

Ben masih setia mengeratkan genggaman tangannya pada jari-jari kecil milik Naresh. Menepuk punggung tangan anak itu berusaha menenangkan Naresh yang terus merintih kesakitan. Membuat Ben terus merutuki keputusannya. Jika tahu efeknya seperti ini Ben pasti tidak akan memberi insulin MS+ ke tubuh Naresh.

Malang bagi Naresh. Ia terus merintih lemah dalam pejamnya. Mencengkram titik kesakitannya yang berpindah-pindah hampir ke seluruh tubuhnya. Dan kini bertengger setia di dada sebelah kanannya. Tepat di bawah leher. Keluhnya pada Ben tadi kulitnya terasa panas seperti terbakar dan perih seperti tertusuk ribuan jarum tak kasat mata.

"Dok, Perih." Suara bergetar Naresh. Untuk kesekian kalinya ia mengadu. Berharap sang dokter memiliki penangkal rasa sakit tersebut.

Ben kembali meraih kompres handuk dingin di atas nakas. Setelah direndam beberapa menit dalam air es Ben memerasnya. Kemudian meletaknya pada titik kesakitan Naresh. Meski tidak begitu efektif, tapi sedikit mengurangi kerutan menyakitkan di dahi Naresh. Membuat anak itu bisa bernapas tenang barang sejenak.

Naresh perlahan membuka mata. Mengerjap berkali-kali dengan lemah. Mengangkat sebelah tangannya guna mengambil alih tugas Ben yang sedang mengompresnya. Kemudian melepas tautan tangan Ben.

"Kenapa? Ada sesuatu?" Ben menyerngit bingung.

"Terima kasih. Dokter bisa keluar dan istirahat. Aku bisa sendiri," katanya lirih disela ringisan.

"Tidak apa-apa. Dokter nggak ada janji apapun setelah ini. Jadi Dokter bisa temenin Naresh sampai Naresh merasa baikan."

"Aku nggak apa-apa, Dok."

"Kamu nggak perlu sungkan. Dokter nggak masalah kalau kamu mau lampiasin rasa sakitnya ke saya. Dengan senang hati saya mau jadi teman Naresh."

Namun, pemuda itu justru memalingkan wajah. Menyembunyikan mata memerahnya yang mungkin sekarang sangat kentara begitu jelas.

"Tapi, aku lagi pingen sendiri, Dok," tukas Naresh tanpa mengalihkan pandangannya.

Merasa Naresh butuh ketenangan Ben akhirnya mengalah. Ia bangkit dari duduknya dan tanpa sepatah katapun Ben meninggalkan ruangan tersebut. Menyisakan Naresh yang sedetik kemudian memecah kaca bening pada matanya.

Pada akhirnya Naresh mendapatkan dunianya. Ia merintih sembari mencengkram kuat dada sebelah kanannya. Menangis karna rindu kepada Ryan membuncah.

"Kak Ryan. Naresh takut."

Ini memang tempat yang tidak asing baginya. Ini rumah sakit, namun bedanya di sini ia hanya sendiri. Tidak ramai seperti rumah sakit yang biasa ia kunjungi.

Naresh menangis sepuasnya. Sampai saat merasa dadanya sesak sukar bernapas Naresh perlahan menegakkan badan. Berusaha bangkit dari pembaringan mendudukan diri.

Sedikit ngos-ngosan Naresh berhasil duduk lalu membungkuk dalam kala punggung belakang yang ia paksakan bergerak terasa sangat nyeri dan sakit. Membuat bulir airmatanya kembali jatuh mengenai selimut yang membalut kakinya.

Tangan Naresh tak kuasa menahan sakit yang kini menjalar seluruh tubuh. Tangannya lunglai dengan napas yang kian memburu. Kualahan ia sedikit mendongak, berharap udara di atap-atap langit kamarnya masuk ke dalam kerongkongannya.

Beberapa menit kemudian Naresh merasa sedikit lega saat ia menemukan masker oksigen di sisi brangkarnya dan menyesap dalam-dalam udara dari sana. Lalu melepasnya saat dirasa paru-parunya kembali normal.

Hah ... Hah ...

Kenapa dadanya sekarang mudah sesak. Bukankah yang rusak itu otaknya. Kenapa di sana tidak sakit seperti biasanya. Tapi, berpindah-pindah layaknya seorang imigran.

Naresh melirik pintu bercat putih di sisi kirinya. Dimana lewat kaca kecilnya Naresh bisa melihat presensi orang besar berdiri di depan sana. Seolah tengah mengawasi Naresh agar tidak kabur. Padahal Naresh sangat ingin sekali keluar dari sini dan menemui Ryan.

Perlahan Naresh mulai menggerakkan bokongnya. Menarik kedua kakinya agar menggantung di sisi ranjang. Naresh memandangi sebentar kedua kakinya. Tampak bergetar dan mengayun lemah tak bertenaga.

Setelah memantapkan diri untuk bangkit Naresh mulai mencari pegangan. Menginjakkan kaki tanpa alasnya pada ubin dingin yang ada di ruangan. Naresh mendesis kecil kala nyeri kembali menghujam bagian kakinya. Ditambah nyeri di dadanya yang ikut andil menyiksa tubuhnya bertubi-tubi.

Naresh menarik tiang infus bersama langkahnya. Sedikit lunglai tak begitu kokoh ia berjalan menuju pintu yang dijaga.

Beberapa meter dari sana Naresh mendesah keras. Ternyata bukan hanya dua orang melainkan empat orang tengah berjaga di depan pintu. Kemudian Naresh menyeret langkahnya berlawanan. Menuju jendela kamar yang mungkin saja ia bisa keluar lewat sana.

Naresh membuka tirai horden dengan cepat. Yang langsung menyuguhkan view malam diperkotaan padat. Gerlap-gerlip lampu berpadu cantik dengan cahaya bintang di atas langit.

Naresh kembali mendesah. Kamarnya ada di lantai paling tinggi. Keluar lewat jendela itu sama saja bunuh diri. Mengingat dari jendela Naresh melihat mobil di bawah sana layaknya miniatur lego yang sering ada di pertokoan mainan anak-anak. Naresh luruh di atas ubin. Tangannya mencengkram kuat tiang infus. Menangis untuk kesekian kalinya saat ia merasa kehilangan fungsi dari kakinya.

Seolah memiliki telepati, Ben datang tergesa-gesa masuk ke dalam ruangnya. Beringsut cepat menghampiri Naresh takut anak itu kenapa-napa.

"Naresh, kamu kenapa di bawah?" Tanyanya panik. Punggung bergetar Naresh membuatnya bersalah telah meninggalkan anak itu.

Naresh masih setia pada posisinya. Menangis tersedu dengan napas yang putus-putus. Ben tidak bisa tinggal diam. Tapi, Naresh masih bungkam dan malah semakin menangis diselingi ringisan syarat akan rasa sakit.

Entah inisiatif dari mana, Ben langsung merengkuh tubuh Naresh. Membawa badan kecil mungil itu dalam dekapannya. Ben mengusap punggungnya pelan. Membisikkan kalimat penenang untuk Naresh.

"Kakak ... Ka-k-kkak." Suaranya tercekat sebab oksigen seolah memusuhinya.

"Ssttt ... Tenang. Ada Dokter Ben di sini. Naresh nggak sendiri. Naresh nggak perlu takut. Dokter janji nggak akan tinggalin Naresh lagi."

"Ka-kk ... Aku pingen ketemu Kak Ryan."

Naresh berteriak tidak karuan. Membuat para bodyguard di luar sana penasaran dan akhirnya membuka pintu mengecek. Ben menggeleng, mengisyaratkan pada para bodyguard kalau ia bisa menanganinya sendiri. Lalu mereka kembali menutup pintu. Membiarkan Ben yang memang sudah tugasnya.

"Sakit!! Argghh! S-sakit! Ini sakit hikss," tangis Naresh. Memukul brutal dada sebelah kanannya. Dan Ben berusaha menghalangi.

Serak. Sepertinya Naresh mulai lelah menangis. Pun tubuhnya sekarang semakin lemas dirasa. Seolah nyawa dipermainkan oleh para malaikat. Naresh lunglai dalam pelukan Ben dengan mata merah dan sembab.

Beberapa saat kemudian Ben mengangkat tubuh Naresh kembali ke ranjangnya. Membenarkan posisi Naresh agar nyaman untuk beristirahat. Tak lupa Ben memasangkan nassal canulle di bawah hidung Naresh. Sebisa mungkin membuat Naresh nyaman menjemput mimpi.

Ben mendesah lelah setelahnya. Menumpu tubuh dengan dua tangan mencengkram tepian brangkar. Untung saja ada CCTV dalam ruangan tersebut. Jadi Ben bisa tau apa yang terjadi pada Naresh dengan cepat. Seperti tadi, itu tadi bukan telepati melainkan CCTV pengontrol yang memang sengaja dipasangkan untuk mengawasi pasien percobaan eksperimen Roni.

"Resh, Maafin Dokter. Maaf Dokter bukan dokter yang seperti kamu harapkan. Bukannya mengobati kesakitan kamu Dokter justru menciptakan sakit yang sekarang kamu rasakan."

Tbc












---
Bisa update. Alhamdulilah.

Mohon maaf ya lama. Saya lagi punya bayi satu. Susah buat pegang hp. Apalagi ngetik. Giliran free (bayi tidur + kerjaan selesai) ikutan ngantuk 😂


---

BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang