32;

535 67 16
                                    

Seolah tak pernah kehabisan akal dan cara, Roni kembali menyusun ulang semua rencananya. Sekarang tahanannya tidak hanya Naresh saja. Membuatnya dituntut untuk ekstra hati-hati dan waspada dengan segala kemungkinan dikemudian hari nanti.

Setelah memastikan sang istri tidur nyenyak malam ini Roni keluar dari kamar tersebut. Melangkah lesu kembali ke ruang kerjanya yang berada di lantai bawah pada rumahnya. Menghempas tubuhnya pada kursi di ruangan itu. Mendesah lelah setelah hampir seharian dibuat berpikir keras tiada henti karena ulah putra sulungnya sendiri.

"Tindakan yang bagus. Bisa saja putra kesayangan istrimu itu membocorkan semua rencana kita kepada polisi bukan?"

Roni menoleh sejenak saat suara berat itu mengintrupsi pendengarannya, sebelum akhirnya kembali membuang wajahnya acuh. Menatap langit-langit pada ruangan tersebut nyatanya lebih menenangkan.1p

"Karena itu aku mengurungnya sekalian bersama bocah itu. Toh, aku rasa sekarang keduanya sudah sama kedudukannya. Ryan juga menjadi tahananku sekarang."

Pria yang duduk diseberangnya terdengar  mencebik keras. Meski fokus pada koran yang sejak tadi ia pegang. Entah dibaca atau tidak. Intinya hanya itu yang terlihat. Keduanya memang tak saling bertemu pandang, namun perbincangannya terdengar begitu serius.

"Bedanya, sulungmu itu tak bermanfaat sama sekali untuk eksperimen kita. Sebenarnya dia hanya memperlambat pekerjaan kita. Kenapa kau tidak menyuruh mereka untuk membunuh atau menyuntik mati sulungmu itu, Tuan?"

"Jangan gila. Bagaimanapun dia adalah sumber kebahagiaan istriku. Aku masih membutuhkannya."

Rasanya Roni ingin sekali terlelap. Mengistirahatkan tubuh dan otak nya yang lelah. Namun, si tua bangka dihadapannya itu seolah tak mau tahu tentang Roni. Dengan masih enggan untuk bangkit dari kursi itu dan malah membahas hal yang sangat ingin Roni hilangkan sejenak sebenarnya.

"Sebenarnya apa istimewanya sulungmu itu? Kenapa istrimu seolah bergantung padanya?"

"Wajar. Dia anak kandung kami."

Si tua bangka malah terkekeh.

"Oh tunggu, bagaimana dengan si kelinci percobaan?" Si tua bangka menjeda kalimatnya. Sejenak menutup mulutnya, seolah tengah salah berucap. "Ehem! Maksudku anak bungsu kalian," Sambungnya hati-hati. "Kenapa istrimu seolah melupakan bocah itu?"

Roni menarik tubuhnya, duduk dengan benar meski dengan dagu yang ia topang pada akhirnya. Sejujurnya Roni malas bicara. Tapi, apa boleh buat, si tua bangka itu adalah pemasok saham terbesar diekperimen gilanya ini.

"Sekarang Anda tidak bisa mengelak lagi jika Anda memang sudah tua sekarang. Kenyataannya Anda lupa dengan alasan itu. Bukankah dulu Anda yang mempunyai ide gila itu untuk berbohong pada Maria kalau bocah itu meninggal saat perjalanan pulang dari acara liburannya?"

Tawanya pecah dalam sekejap. Menggema pada ruang kerja yang terlihat begitu besar tersebut. "Itu sudah lama. Wajar jika aku melupakannya."

"Sudahlah. Aku lelah. Anda bisa pulang sekarang." Suaranya lembut, namun kalimatnya sedikit tidak sopan. Tapi, itu sudah biasa. Meskipun pemasok saham terbesar, kedudukan mereka sama rata dalam kerja sama ini.

"Aku baru datang sudah kamu tinggal mengurus istrimu. Masih banyak yang ingin aku bicarakan tentang kelanjutan eksperimen kita."

Roni mendesah lelah. Mengusir si tua bangka itu memang susah sejak dulu. "Anda tenang saja. Sudah kutangani dengan baik semuanya. Anda tidak perlu khawatir."

"Tapi, aku ingin tahu semuanya," Kekeuh nya. Sungguh rasanya Roni ingin melempar keluar si tua bangka cerewet itu.

"Anda bisa ikut jika waktu praktik besok pagi di rumah sakit. Disana Anda bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan dari perawat yang sudahku tugaskan dengan baik."

BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang