20;

1.1K 121 5
                                    

Satu minggu berlalu begitu cepat. Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, Ryan belum memperbolehkan adik nakalnya tersebut untuk kembali ke sekolah. Padahal Naresh hampir setiap hari merengek padanya. Mati-matian meyakinkannya kalau kondisinya sekarang jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Dokter Gani berpesan kepada Ryan untuk sementara waktu mengurangi aktifitas yang sering Naresh lakukan. Dan termasuk aktifitas di sekolahan yang terkadang tidak bisa ia pantau menjadi hal yang sangat penting untuk dijauhkan dengan sang adik. Jadi disarankan untuk Naresh menjalani kegiatan sekolah secara online alias di rumah saja untuk beberapa waktu kedepan.

Bosan, tentu saja. Yang bisa Naresh lakukan hanya memainkan pena di tangannya. Berpangku dagu, menatap seseorang yang menjelaskan di depan dengan sangat bosan.

"Resh denger nggak?" Tanya Galuh. Sosok yang Ryan beri amanat untuk membantu Naresh belajar di rumah. Menerangkan apa yang diterangkan guru sewaktu jam pelajaran tadi.

Yang ditanya hanya mengangguk lemah. Masih tak merubah posisi ataupun ekspresi bosannya. Membuat Galuh yang menjelaskan tidak nyaman dengan Naresh saat ini.

"Bosen ya?"

Kembali Naresh mengangguk lemah. Lalu berkata, "Pingen sekolah. Pingen keluar."

"Hm ... Gimana kalo kita jalan-jalan sebentar disekitaran sini. Kak Ryan 'kan pulangnya masih malem nanti. Gimana?"

Mendengar saran Galuh tentu saja membuat Naresh langsung menegakkan badannya. Mengemasi dengan segera alat-alat belajarnya.

"Ayo!" Serunya semangat dan bangkit lebih dulu.

"Giliran gini aja gercep. Huh!" Galuh menghembuskan napasnya kasar.

Sore hari memang waktu yang tepat untuk berjalan-jalan santai. Meski jalan yang mereka lalui hanya gang-gang sempit lengkap denhan deretan rumah sederhana yang saling berhimpitan.

"Kita mau kemana?" Tanya Galuh penasaran. Pasalnya jalan yang Naresh pilih asing baginya. Belum pernah ia lalui sebelumnya.

"Udah ikut aja."

Setelah hampir 15 menit berjalan kaki, akhirnya Naresh menghentikan langkahnya. Menghadap padang hampa sebuah hutan kecil yang tersembunyi di belakang jejeran rumah-rumah yang berhimpitan serta gang-gang sempit tadi.

Meski begitu tempat hijau tersebut ramai dengan beberapa anak yang bermain-main. Berlarian kesana kemari, ada pula yang hanya duduk-duduk di atas rumput menyaksikan pertandingan bola ala kadarnya.

"Anak kecil semua Resh di sini."

"Emang."

"Mau main sama anak kecil kamu?"

"Siapa bilang. Cuma mau duduk doang. Nunggu matahari tenggelam di sini the best banget tau, Gal."

Galuh mengikuti langkah Naresh menuju dataran yang sedikit tinggi di sana. Meski tak seberapa tinggi, namun mampu menampakkan jajaran ruma-rumah di bawah sana.

"Sumpah. Aku baru tau kalo ternyata kawasan di sini dataran tinggi. Soalnya lokasi rumah kamu kayak rata gitu. Dan baru sadar juga kalo ternyata ada bukit kecil di belakang sini?" Takjub Galuh yang baru pertama kali ke tempat itu.

"Dari aku kecil dulu suka banget diajakin temen-temen buat main di sini. Bisa dibilang kalo tempat udah kayak tempat mainnya bocah-bocah. Plus tempat terbaik buat liat sunset."

"Kamu tinggal di sini dari kecil?"

Naresh mengalihkan pandangnya. Menatap Galuh nanar. Oh iya Naresh lupa kalau ia tidak banyak bercerita tentang masa lalunya kepada siapapun. Sekalipun itu Galuh. Satu-satu teman yang dekat dengannya.

"Awal pindah ke sini aku banyak temen. Hampir tiap hari main sama mereka. Ya, anak-anak sini aja. Tapi, semenjak kejadian Kakak dulu ... Semuanya jadi menjauh. Mereka bilang aku nggak patut ditemenin."

Rasa penasaran tiba-tiba melingkupi perasaan Galuh. "Kejadian Kak Ryan? Kenapa?"

Seolah sudah bisa menebak, Naresh hanya mengulas senyum. Kemudian menceritakan masa lalunya kepada Galuh tanpa ada rasa canggung sedikitpun.

---

Waktu bergulir sangat cepat. Setelah Galuh memutuskan untuk pulang selepas adzan maghrib tadi, Naresh kembali sendirian. Namun, kali ini ia menyibukkan diri dengan berberes-beres rumah. Sekedar meringankan pekerjaan sang kakak seusai pulang nanti.

Seluruh ruangan dalam rumah tak luput dari jamahan kain lap di tangannya. Sana-sini ia bersihkan sampai sedap untuk dipandang. Setidaknya membuat Ryan nyaman jika pulang nanti. Melihat rumah bersih bisa mempersingkat waktu sang kakak untuk segera beristirahat. Mengingat Ryan akhir-akhir ini terlihat lebih sibuk bekerja dari pada sebelumnya.

Tersisa satu ruangan yang belum terjamah kain lap, pel juga sapunya. Satu-satunya ruangan yang jarang sekali Naresh datangi. Dan bahkan hampir tidak pernah. Ia kesana paling sampai ambang pintu saja. Untuk masuk ke dalam Naresh masih amat canggung. Karna merasa privasi Ryan begitu berarti.

Yakni kamar sang kakak. Kamar yang menurut Naresh sangat tertutup. Banyak barang berharga di dalam sini. Layaknya brangkas pribadi, di sinilah Ryan menyimpan segala yang ia punya. Bahkan uang sekalipun ia simpan di dalam kamar tersebut. Jadi Naresh memang harus lebih berhati-hati lagi. Tak harus menggeser semua yang ada di dalam sana.

Tak mengulur waktu lebih banyak lagi, Naresh melangkah mendekat. Masuk ke dalam sana sejenak memperhatikan suasana kamar sang kakak.

Berbeda dengan kamarnya, kamar Ryan tampak sedikit begitu berantakan. Banyak barang-barang berserakan di bawah lantai berikut juga dengan beberapa helai baju kemarin yang belum sempat Ryan cuci hari ini. Serta uang-uang receh di atas nakas yang juga menumpuk berserakan.

Naresh menghela napasnya pelan. Menggeleng ribut kala rasanya malas membersihkan kamar yang sudah mirip sekali seperti gudang penyimpanan barang-barang tidak terpakai tersebut. Namun, sekali lagi ia harus tetap melanjutkan niatnya membersihkan kamar sang kakak.

Perlahan tapi pasti Naresh mulai mengemasi barang-barang Ryan yang berantakan. Menatanya rapi lalu menyingkirkan apa yang seperlunya harus disingkirkan. Botol minum yang kosong banyak sekali di sini. Sekarang malah mirip seperti kamar pengepul botol bekas saja.

Ia memasukkan sampah-sampai pada sebuah karung. Memasukkan pakaian kotor sang kakak pada mesin cuci kemudian mulai menyapu lantai lalu mengepelnya. Saat gagang sapunya mulai bergerak menjelajah sudut-sudut kamar serta kolong tempat tidur Ryan, Naresh menghentikan kegiatannya. Ada tumpukan aneh yang tersenggol sapunya. Di bawah sana dengan plastik hitam sudah berdebu.

Merasa penasaran Naresh menarik bungkusan tersebut menggunakan sapunya. Lalu tanpa berpikir ia membukanya dan sedikit terkejut dengan isi di dalamnya. Kedua alisnya saling bertautan. Menyiratkan kebingungan yang mengungkung benaknya.

Di dalam bungkusan tersebut ada 2 buah jarum suntik yang sudah terpakai, 1 lagi belum terpakai, beberapa tablet obat berbentuk kapsul, serta secarik kertas yang Naresh sendiri tidak tau apa maksud dari isinya. Terlalu banyak istilah asing yang ia temui, namun ada namanya juga nama sang kakak di dalam sana.

"Percobaan?" Gumamnya. Setidaknya itu yang bisa ia tangkap dari penjelasan singkat dalam kertas tersebut.

Tbc



Selamat hari raya. Mohon maaf lahir batin 💜







BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang