03;

3.1K 313 23
                                    

Ryan membanting lawannya ke atas tanah. Membuat sang rival tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk bangkit saja ia tak mampu. Tubuh Ryan kecil, namun tenaganya tidak dapat di remehkan. Refleksnya juga sangat baik. Hingga dia tidak terluka sedikitpun sebab dengan cepat ia mampu membaca gerak-gerik Andre-rivalnya-yang hendak memukul dari arah belakang.

"Selain cuma berani keroyokan ternyata lo juga cuma berani main belakang? Cih!" Remeh Ryan dengan wajah kesalnya.

Andre berdecak. Bantingan Ryan sangat keras. Membuat punggungnya sakit juga dadanya mendadak sesak.

"Urusan kita belum selesai!" Ucap Andre penuh penekanan. Ia bangkit lalu berlari, menjauh dari sana.

Ryan melanjutkan langkahnya. Menjadi ketua sebuah geng terlarang memang dianjurkan selihai dan sepeka itu. Kalau tidak, maka pulang-pulang wajah Ryan pasti babak belur dan itu akan mengubah sang adik menjadi dua kali lipat lebih cerewet.

"Wooo ... Ryan udah dateng, guys. Lo nggak apa-apa, bro?" Tanya Jeno-anggota gengnya.

"Iya, lo nggak apa-apa 'kan, Yan? Tadi kita sempet liat Andre," timpal Daren-anggota geng lainnya.

Dari semua anggotanya memang hanya Jeno dan Daren yang dekat dengannya. Layaknya seorang sahabat mereka peduli dengan Ryan. Bahkan mereka juga peduli dengan Naresh. Berbeda dengan yang lainnya, yang hanya segan karna ia adalah seorang ketua dalam geng.

"Santai. Gue oke kok. Tadi dia emang sempet mau serang gue dari belakang. Tapi gue bisa cepet ngebaca situasi. Jadi semuanya aman." Ryan mengangkat tangannya. Memberi isyarat 'OK' kepada semuanya.

"Kayaknya dia masih dendam banget sama elo, Yan," kata Daren sesaat setelah duduk di sebelah Ryan.

"Ya jelas lah. Adeknya yang sempet di rawat di rumah sakit 'kan meninggal gara-gara berantem sama Ryan. Tapi ya salah dia juga sok-sok an mau ambil kuasanya Ryan di sini. Ya, jelas nyawa jadi taruhannya. Apa lagi dia dari geng lain," timpal Jeno.

Ryan diam, dalam hati ia merutuki apa yang telah ia lakukan. Waktu itu, saat perkelahian terjadi, sebenarnya bukan niatnya untuk membunuh adik Andre. Dia hanya membela diri. Sebab pertarungan saatbitu tidaklah adil. Adik Andre membawa senjata sedangkan Ryan hanya tangan kosong. Meski sama-sama satu lawan satu.

"Udah Yan semua ini udah takdir." Jeno menepuk pundak Ryan saat sadar wajah Ryan berubah suram. "Adiknya Andre meninggal juga bukan sepenuhnya salah lo. Gue percaya kok kalo lo nggak bermaksud buat ngebunuh dia 'kan?"

"Ya jelaslah. Ryan biar dikata dia garang, galak, tegas, ketua geng lagi, mana mungkin tega ngebunuh orang," Daren kembali menimpali.

Tidak. Ryan tidak seperti apa yang mereka pikirkan. Ryan memang pembunuh. Bahkan tanpa sepengetahuan semua orang, dulu Ryan pernah membunuh lebih dari satu orang. Terlebih lagi itu adalah orang terdekatnya. Orang yang sudah membuatnya bertemu dengan Naresh, pelita hidupnya.

"Yan! Kok lo malah bengong? Ada masalah? Udahlah nggak usah terlalu dipikirin," Jeno sedari tadi memperhatikan Ryan yang tak menyahuti perkataan dari Daren dan dirinya.

"Nggak. Gue cuma lagi mikir kita mau beraksi dimana?" Alibi Ryan.

"Tadi Liam kayaknya dapet inceran tuh. Coba gih lo tanya."

Ryan bangkit. Mendatangi Liam yang Daren maksud. Berbincang sebentar lalu berkumpul menyiapkan strategi bersama.

-
-
-

Breaking news!
Terjadi perampokan di rumah kepala DPR Jakarta. Barang-barang habis dijarah sedangkan polisi tidak menemukan apapun sebagai tanda bukti untuk mencari pelaku ...

Slap!

Telivisi dimatikan dengan tidak elitnya. Bahkan remotenya terlempar begitu saja di sofa seberang. Lalu hembusan napas bosan terdengar mengudara.

"Setiap hari isinya cuma berita perampokan, pencurian, pembobolan. Habis itu sinetron azab. Kesel banget. Hidup sutradaranya drama banget sih," celoteh Naresh tak jelas.

Ia bosan. Ryan belum pulang sedangkan perutnya meronta minta diisi. Sebenarnya Naresh bisa masak. Masak mie misalnya. Namun, Ryan melarangnya untuk memakan makanan instan tersebut. Masak lainnya juga Naresh bisa tapi malas. Baginya masakan Ryan jauh lebih enak. Meski itu hanya nasi goreng kebanyakan kecap pun tak apa. Masih bisa dimakan.

"Gabut banget ya alloh. Kakak mana sih kok belum pulang."

Biasanya kalau dicerita-cerita wattpad atau sinetron azab, setelah dibatin seperti itu, maka sang pemilik nama akan muncul bagaikan jalangkung. Namun, nyatanya Ryan baru datang satu jam setelah Naresh membatin. Ia lelah menunggu dan akhirnya tertidur di sofa depan televisi.

Ryan masuk ke dalam rumah. Semua lampu masih menyala dengan terang padahal sekarang sudah pukul 12 malam. Hampir jam 1 malahan. Membuat Ryan bisa menebak kalau Naresh tidur di depan TV dan itu benar.

Ryan meletakkan makanan yang ia beli tadi di atas meja depan sofa ruang TV. Lalu duduk ditepian sofa. Menggoyangkan bahu Naresh pelan, mencoba membangunkannya.

"Naresh! Dek bangun. Makan dulu."

Sang empunya hanya melenguh. Menggeliat sebentar kemudian kembali nyaman terlelap.

"Naresh bangun! Makan trus minum obatnya. Kamu pasti belum minum obatnya 'kan?"

"Udah," gumamnya. Menepis tangan sang kakak yang masih berusaha menggoyangkan bahunya, lebih tepatnya mengganggunya.

"Bohong. Buruan bangun!" Sekarang Ryan bertindak lebih. Ia menarik lengan tangan Naresh. Lalu menyenderkan tubuh sang adik pada sofa. Memposisikannya duduk meski Naresh tak membuka mata sedikitpun. Naresh benar-benar sudah tidak kuat melek.

Ryan meraih bungkus makanan di atas meja. Menyuapi Naresh yang bahkan tak membuka matanya sedikitpun. Bahkan Naresh terdengar mendengkur lagi selama Ryan membuka bungkusan tersebut dan memindahkannya ke piring.

"Aaa ... Buka mulutnya," titahnya. Menyodorkan satu sendok nasi di depan mulut sang adik.

"Hmm." Naresh justru meringkuk. Memunggungi sang kakak dan kembali melanjutkan tidur.

"Naresh! Makan dulu." Ryan memaksa.

"Hmm ... Kenyang!" Iya, kenyang nungguin sang kakak tak kunjung datang. Kenyang makan angin.

"Kamu nggak bisa bohong! Buruan cepet makan."

Alhasil dengan susah payah. Naresh membuka mulutnya. Meski matanya masih tertahan untuk menutup.

"Naresh! Kunyah!" Sentak Ryan saat menyadari Naresh kembali terlelap dengan cepatnya.

Sampai suapan ke lima Ryan terpaksa menghentikan usahanya. Menatap sang adik penuh kekhawatiran. Pasalnya Naresh tiba-tiba menutup mulutnya menggunakan dua tangannya.

"Kenapa? Mual?" Tak menjawab, Naresh bangkit dari duduknya. Berlari menuju ke kamar mandi disusul Ryan yang mengekor.

Di depan wastafel Naresh mengeluarkan isi dalam lambungnya. Makanan yang baru saja beberapa menit masuk ke dalam perutnya akhirnya harus terbuang sia-sia. Dalam hati Naresh merutuki dirinya karna membuang-buang berkah dari tuhan hari ini.

"Udah?" Tanya Ryan syarat akan rasa khawatir. Suaranya bergetar, membuat batin Naresh berdesir kuat kala mendengarnya.

Naresh menggeleng. Membalik badan, menghadap Ryan dengan kedua tangan masih menutup mulutnya dan menahan mati-matian rasa mualnya. Ryan menyerngit. Makin menderita melihat sang adik seolah mempertahankan makanan dalam lambungnya.

"Kenapa ditahan? Keluarin aja Resh kalau emang masih mual."

Naresh kembali menggeleng. Membungkuk dengan sebelah tangan beralih menekan perutnya. Yang akhirnya malah membawanya limbung dan tak sadarkan diri dalam pelukan Ryan.

Tbc





-
-
-

BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang