16;

1K 124 1
                                    

"Please gue butuh pekerjaan lain Jen buat biaya Naresh," ucap Ryan.

"Tapi pekerjaan ini berat, Yan. Beresiko juga. Lo yakin?"

Dengan semangat yang menggebu-gebu Ryan mengangguk mantap. Meski sang lawan bicara yang tak lain adalah Jeno berulang kali terlihat menggigit bibir dalamnya. Merasa bersalah karna telah memberitahu Ryan perihal pekerjaan tersebut. 

"Nggak apa-apa. Yang penting gue masih bisa dapet duit tambahan. Apapun pekerjaannya gue mau asal gajinya sepadan."

Meski tampak bimbang Jeno akhirnya mengangguk lalu berkata, "Kalo gitu lo bisa ikut gue sekarang buat ketemu bokap gue, sekalian liat lapangan kerja lo nanti."

Ryan mengangguk. Keduanya berlalu dari sana untuk segera menemui ayah Jeno.

Setelah perjalanan kurang lebih 15 menit menaiki motor, Ryan dan Jeno tiba di tempat yang dimaksud. Sebuah hamparan lahan yang masih tampak setengah kosong mulai dibangun gedung-gedung tinggi menjulang langit.

"Hai, Pa," Jeno menyapa sang papa. Kontraktor tersohor yang terkenal telah merampungkan beberapa proyek-proyek besar di Jakarta.

Di tempatnya Ryan menganga tidak percaya. Melihat Jeno begitu dekat dan hangat dengan sang ayah. Selama ini Ryan pikir Jeno anak yang nakal, sama sepertinya. Menentang segala omongan orangtuanya kemudian berakhir masuk ke dalam gengnya.

Namun, ternyata tidak seperti itu. Jeno terlihat seperti anak yang berkecukupan dan penuh dengan kasih sayang. Ya, sepertinya itu yang Ryan lihat sekarang ini. Namun, apa alasannya bergabung masuk ke dalam gengnya? Untuk apa uang hasil mencuri, sedangkan hidupannya sudah terbilang sempurna?

"Pa, kenalin ini temennya Jeno. Namanya Ryan." Pria paruh baya itu tersenyum singkat menatap teman putranya kemudian mengulurkan tangan.

"Ibrahim," ucapnya memperkenalkan diri.

"Ryan, Pak." Ryan sedikit membungkukkan tubuhnya, memberi hormat pada ayah Jeno.

"Aku denger Papa lagi cari karyawan baru 'kan? Nah, kebetulan Ryan ini lagi cari kerjaan tambahan. Gimana? Bisa gak, Pa?"

Ibrahim tampak memperhatikan postur tubuh Ryan dari bawah hingga atas kepala. Kecil, kurus dan seperti kekurangan gizi yang membuat Ibrahim tampak menggelengkan kepalanya, tidak yakin akan kemampuan Ryan.

"Kamu ... Yakin?" Pertanyaan yang sama seperti Jeno tadi.

"Biarpun badan saya keliatan kayak kurang gizi tapi tenaga saya kuat kok, Pak. Bapak nggak perlu khawatir, saya akan bekerja semaksimal mungkin." Semangat! Demi Naresh.

Ibrahim beralih menatap Jeno sang putra. Meminta keyakinan sekali lagi. Dan setelah Jeno terlihat mengangguk dengan mata seolah menyuarakan kesedihan, Ibrahim langsung berucap, "Baiklah, besok kamu sudah mulai bekerja di sini. Datang jam 7 dan nanti pukul 3 kamu sudah boleh pulang."

Ryan kesenangan. Ia mengulas senyum lebar dengan binar harap yang penuh. Segera ia meraih kembali tangan Ibrahim. Mengecupi punggung tangannya sembari merapalkan kalimat 'terima kasih' berulang kali.

Setelah dirasa cukup dan hari pun semakin menggelap, Jeno dan Ryan berlalu dari sana. Duduk di taman kota sembari bertukar cerita.

"Jen sumpah dari tadi gue masih penasaran sama lo."

Jeno mengalihkan pandangnya sekilas sebelum kembali asyik dengan sosis bakar di tangannya. "Tentang apa?" Tanya Jeno.

"Apa tujuan lo gabung ke geng dan ikut maling? Padahal orangtua lo keliatannya berkecukupan. Bokap lo juga keliatannya sayang banget sama lo."

Jeno mendengkus. Memutar bola matanya malas karna benar apa yang ia perkirakan sejak tadi kalau Ryan akan bertanya hal tersebut padanya.

"Hidup gue emang berkecukupan. Tapi gue sendirian, Yan. Orangtua gue bercerai 3 tahun yang lalu. Gue tinggal sama bokap yang setiap pagi sampek malem kerja di lapangan dan kalo udah pulang langsung berdua sama nyokap tiri gue. Gue ... Terlupakan."

Oh, jadi maksudnya itu semua hanya bentuk pelariannya Jeno? Cukup singkat, namun mampu membuat wajah Jeno berubah sedih.

"Oh, sorry Jen. Gue nggak bermaksud."

"Santai. Gue ngerti kok. Oh iya gimana kondisi Naresh. Gue belum sempet jenguk dia." Jeno mengalihkan pembicaraan.

"Buat sekarang dia baik-baik aja. Gue harap sih seterusnya bakal baik-baik aja. Tapi hasil CT-scan sama hasil lab nyatanya enggak."

"Tenang aja, Yan. Kita se-geng bakalan bantuin lo kok. Semuanya bakal baik-baik aja. Emm ... Tapi ...," Jeno menggantungkan kalimatnya. Membuat Ryan mengerutkan dahinya bingung.

"Kenapa?"

"Kita mati tanpa ada lo sebagai ketua geng, Yan. Selama lo ngundurin diri kita nggak lagi jalan. Gue sama Darren bingung ngatur siasat. Lo beneran gak bisa balik lagi, Yan?"

"Naresh udah tau semuanya dan gue nggak mau buat dia pergi lagi."

Jeno tersenyum penuh arti. Menatap Ryan dengan binar yang tak dapat terbaca. "Gue iri sama lo, Yan."

Ryan mengalihkan pandang. Membuat dua iris matanya bersitemu dengan milik Jeno secara tiba-tiba. Iri? Hidup susah begini Jeno iri?

"Gue iri jadi lo. Naresh pasti berarti banget ya buat lo? Sampek-sampek lo mau nglakuin apa aja buat kesembuhannya Naresh. Gue iri punya kehidupan sebahagia lo. Meskipun hidup seadanya tapi lo masih punya satu penguat kokoh seperti Naresh. Boleh nggak Naresh buat gue aja?"

Sontak Ryan memukul bahu Jeno kesal. Yang benar saja Naresh diminta?

"Lo pikir Naresh apaan asal mau lo minta gitu aja. Nggak-nggak. Sampai gue matipun, gue nggak akan pernah kasih Naresh kesiapapun."

"Dih. Biasa aja, Bang. Posesif amat kayak sama pacar. Gue bercanda kalik. Habisnya lo uwu banget sih kalo itu nyangkut Naresh. Gue jadi pingen punya adik kayak lo. Sayangnya orangtua gue udah cerai."

"Kan lo masih ada nyokap tiri. Dia juga masih bisa hamil adik lo, 'kan?"

"Beda, Yan. Sama aja kita nggak sedarah. Dan gue rasa gue nggak bisa deket sama anak baru Papa lagi kalo semisal mama tiri gue nglahirin anak mereka."

"Susah juga ya ternyata jadi lo."

Jeno tergelak langsung setelah mendengar kalimat Ryan barusan. Kenapa mereka jadi se mellow ini malam ini? Apa karna cuaca cukup bagus? Apalagi suasana taman juga sepi.

"Lho? Kok lo malah ngakak?" Tanya Ryan keheranan.

"Hup! Sorry-sorry. Udah deh kayaknya lo perlu pulang dulu deh. Naresh pasti sekarang lagi sendirian di rumah sakit dan  kangen sama lo."

"Saran yang bagus!" Ryan menepuk tangannya. Membuat Jeno terkesiap karna kaget. "Gue emang perlu balik. Soalnya tadi gue alasannya mau ambil baju buat Naresh di rumah."

"Emang masih lama ya di rumah sakitnya? Belum boleh pulang?"

Ryan menggeleng. "Nggak tau besok. Naresh juga nggak pernah nanya atau ngrengek minta pulang. Jadinya gue nggak tau sampek kapan dia bakalan di rawat."

"Biayanya gimana?"

"Tenang. Naresh punya BPJS jadi sedikit ringan. Ya udah kalo gitu gue balik dulu ya. Thanks buat tlaktiran boba sama sosis bakarnya."

Ryan berlari kecil meninggalkan Jeno. Sedangkan ditempatnya Jeno berseru, "Besok siang gue mampir ke rumah sakit!"

Yang langsung mendapati dua jempol dari Ryan.

Tbc













-
-
-
Gila. Ini Jeno sama Ryan seharian aja satu part 😂

BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang