11;

1.4K 154 0
                                    

Naresh sudah terduduk di atas brangkarnya. Dengan mata yang masih tampak kosong ia menatap datar ke depan. Sedang imajinasinya melambungkan lamunannya terbang ke langit ke tujuh. Dimana di sana-yang ia lihat di depannya itu-Naresh tengah memeluk kedua orangtuanya. Mengurai rindu yang selama bertahun-tahun Naresh tabung. Dan baru kali ini ia meluapkannya.

Tadi mereka juga datang dalam mimpinya. Namun, rasanya singkat dan Naresh belum puas dengan itu semua. Bahkan kalau Naresh boleh minta, ia tak mau kembali terbangun. Karna bersama kedua orangtuanya tampak begitu menyenangkan. Meski sebenarnya hidup dengan Ryan yang penuh dengan kebohongan itu juga menyenangkan.

Saat pulang bekerja dan Ryan mendapati sang adik kesakitan, benar-benar membuat suasana hatinya dirundung rasa takut yang luar biasa. Maka, setelah Dokter Gani mengizinkannya untuk masuk dan Galuh pamit untuk pulang karna sudah sore, Ryan hanya duduk di sisi sang adik. Tak berniat sedikitpun beranjak meski perutnya meronta minta diisi.

"Makan dulu, ya?" Ryan menyiapkan makan malam di atas meja kecil yang terhubung dengan brangkar tempat terbaringnya sang adik. Lalu membantu Naresh untuk duduk kemudian menaikkan kepala brangkar supaya Naresh duduk bersandar dengan nyaman.

Naresh hanya menurut. Meski tak bernapsu makan ia tetap mengikuti titah sang kakak. Diam saat sang kakak merapikan posisinya supaya nyaman dan hanya memperhatikan kesibukan Ryan.

"Terakhir makan apa?" Tanya Ryan yang sudah menyuapi Naresh.

"Brownies. Oleh-oleh dari Mamanya Galuh."

"Temen kamu cuma Galuh, ya?" Naresh menggeleng. Mati-matian dia berusaha menghalau rasa mual yang membuat lidahnya pahit.

"Banyak. Satu kelas temen Naresh semua. Cuma yang deket pake banget emang cuma Galuh."

"Dari kelas satu kayaknya dia nempel terus sama kamu. Kakak jadi was-was."

Naresh menautkan kedua alisnya. "Was-was, maksudnya?"

"Jangan-jangan dia suka sama kamu," celetuk Ryan tanpa filter. Yang kontan mengundang pukulan keras pada bahunya dari sang adik.

"Nggak waras! Aku sama Galuh masih normal, Kak!"

Ryan terkekeh. Maksudnya hanya untuk bercanda. Tapi Naresh malah ngambek beneran.

"Bercanda. Sensitif amat."

Naresh berpaling. Menghiraukan Ryan yang kembali menyodorkan sendok berisi bubu lagi. "Gitu aja ngambek." Ryan mencolek iseng pipi sang adik. "Iya-iya Kakak minta maaf. Gih buka lagi mulutnya."

Naresh luluh, semudah itu memang. Pemuda itu kembali membuka mulutnya meski wajahnya masih masam tak sedap dipandang. Tak apa, yang terpenting bagi Ryan sang adik masih mau melanjutkan makan.

"Um, Kak ... Kak Ryan ada kangen nggak sama Ayah atau sama Bunda?"

Pertanyaan tak terduga dan tiba-tiba yang membuat Ryan seketika menghentikan gerak tangannya. Mengambang diudara tepat di depan wajah sang adik.

Kangen? Ah, maksudnya rindu? Iya-iya Ryan tau itu masih dalam satu arti. Tapi Ryan tak memiliki perasaan itu sedikitpun. Untuk apa merindukan mereka? Orang yang selalu membuatnya kesakitan dan terpenjara dalam kurun waktu 2 tahun. Tak hanya itu, bahkan mereka adalah alasan kenapa Naresh bisa sampai harus bolak-balik ke rumah sakit dan menderita sepanjang hidupnya. Semuanya bermula dari orang yang Naresh panggil Ayah dan Bunda itu.

"Kak Ryan." Naresh melambaikan sebelah tangannya tepat di depan wajah Ryan.

"Kok ngelamun? Kakak nggak pernah kangen sama Ayah atau Bunda, ya?"

"Kata siapa? Kakak juga kangen sama mereka."

"Bohong! Mereka yang udah buat Kakak menderita dulu waktu kecil, gimana bisa Kakak kangen sama mereka?"

"Karna bagaimanapun mereka berdua itu udah ngrawat Kakak. Mereka orangtua kamu, sosok yang udah mempertemuin Kakak sama Adik yang super duper bandel, ribet, nakal dan manja banget." Gurau Ryan.

"Mungkin kalo yang mereka bawa bukan Kak Ryan aku bakalan marah besar."

"Kenapa?" Ryan mulai tertarik dengan percakapan yang dimulai Naresh. Ia meletakkan mangkuk bubur pada meja makan Naresh lalu melipat tangan, menumpu dagunya diantara lipatan tersebut. Mencoba seksama mendengar cerita Naresh.

"Karna mereka pasti nggak punya bekas luka ini." Naresh menunjuk gores luka panjang yang ada di dahi Ryan. Luka sisa dari hasilnya bertengkar dengan bocah satu panti asuhan, dulu.

"Dulu aku penasaran sama luka ini. Kenapa bisa ada luka sepanjang itu di dahi Kakak. Anehnya Ayah sama Bunda milih Kakak dari berpuluh-puluh anak panti yang ada padahal notabenenya mereka nggak suka anak yang keliatan nakal. Kayaknya mereka tau banget selera aku. Dulu kesan Naresh Kakak orang yang hebat, pinter berantem dan bisa aku andelin. Soalnya dulu kakaknya temenku sering berantem, terkenal, kalo zaman sekarang ala badboy gitu, tapi dia sayang sama adiknya, aku suka iri. Tapi itu beneran nyata sekarang, aku punya kakak yang sama persis kayak kakaknya dia. Kakak yang bisa aku banggain, kakak yang perhatian sama aku, pokoknya kakak yang luar biasa. Dan itu Kak Ryan."

Tidak! Tidak! Ryan tidak sebagus itu. Ryan tidak sebaik itu. Ryan tak seluar biasa itu. Ryan penabur luka untuk Naresh selain kedua orangtuanya. Ryan hanya penuh dengan topeng kepalsuan. Dan Naresh terlalu bodoh mempercayainya.

Ryan mengulum senyum paksa. Tidak membenar pun tidak menyalahkan penjelasan panjang tentangnya dari sang adik.

"Kamu bahagia sekarang?" Tanya Ryan.

"Iya." Senyum merekah menghias di wajah sang adik tanpa kepalsuan.

"Kalo Ayah sama Bunda masih ada apa kamu bakalan lebih bahagia dari sekarang?"

"Tentu! Punya keluarga yang lengkap itu impian terbesar Naresh dari dulu."

Mendadak mata Ryan memanas. Penyesalan kembali menghipit dadanya. Membuat napasnya terasa berat hanya untuk satu tarikan napas saja. Rasa bersalah semakin menyayat batinnya.

Paham akan perubahan raut wajah sang kakak, Naresh buru-buru menyela. Lebih tepatnya meralat ucapannya barusan. "Tapi sekarang aku nggak kalah bahagia, karna ada Kakak yang selalu bisa jagain aku, rawat aku, trus perhatian sama Naresh."

Naresh mengangkat dagunya. Matanya yang memerah langsung mengiris batin Naresh. Membuatnya merasa bersalah atas ucapannya. "Jangan sedih." Naresh meraih wajah sang Kakak lalu memeluknya erat. "Maafin Naresh."

"Enggak. Bukan salah kamu. Semua ini salah Kakak."

Naresh menggeleng kuat. "Berapa kali aku bilang kalo Ayah sama Bunda meninggal bukan karna Kakak. Itu semua kecelakaan, dan semua orang tau itu."

Ryan meremat ujung bajunya. Rahang pipinya mengeras dengan airmata yang tak sanggup lagi ia bendung. Naresh selalu menenangkannya. Naresh selalu membenarkannya. Naresh juga selalu membanggakannya. Padahal sebenarnya Ryan lebih buruk dari seekor babi.

Tbc














-
-
-

BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang