28;

1K 128 18
                                    

Di kediaman barunya-rumah besar Roni-Ryan dijamu dengan baik oleh sang pemilik rumah yang tidak lain adalah kedua orangtua kandungnya sendiri. Makan malam tersedia sangat banyak dan Maria turut ikut bergabung di meja makan bersama Roni dan juga Ryan-anak yang Maria idam-idamkan kehadirannya.

Dengan penuh kasih sayang keibuan, Maria melayani sang putra. Menuangkan nasi beserta lauk pauk kesukaan Ryan-dulu waktu masih kecil, Maria sedikit banyak tau tentang kesukaan dan kegemaran putranya meski tidak semuanya.

Melupakan tubuhnya yang sakit-sakitan karna usia, malam ini Maria terlihat tampak bugar. Apalagi kalau bukan karna Ryan. Anak kandungnya sang penguat raga Maria yang semakin menua.

Berbanding terbalik dengan ekspresi Roni dan juga Maria yang tampak bahagia malam ini, Ryan justru memasang wajah kusamnya. Lelah, sedikit pening. Ryan rasa dirinya sekarang sedang demam. Hanya saja ia tidak bisa mengeluh. Lagipula mengeluh pada siapa? Roni dan Maria? Yang benar saja.

"Mau lagi, Sayang?" Tanya Maria yang sudah sigap akan menuangkan lauk ke dalam piring Ryan. Padahal Ryan baru melahap tiga sendok. Itupun dengan rasa malas yang amat menggunung.

Ryan menjawab dengan sebuah gelengan dan juga senyum yang terlihat sedikit dipaksakan. Merubah raut antusias Maria berubah menyendu lesu.

"Ibu pikir kamu bakalan seneng kembali ke rumah ini. Tapi Ryan kayaknya nggak suka ya tinggal di sini lagi?"

Baik Ryan dan juga Roni saling mengalihkan pandang. Menatap Maria yang nampak suram dalam waktu sepersekian detik. Menciptakan beku beberapa sekon yang kemudian membuat dua laki-laki berbeda usia itu saling beradu pandang.

"Maaf, Bu. Semua nggak semudah itu." Ryan mendesah kasar.

"Kamu nggak salah, Sayang. Maafin Ibu, dulu Ibu nggak bisa nahan keegoisan Ayah kamu."

"Kita sedang makan. Apa nggak ada hal lain yang bisa dibicarakan agar makan malam ini jadi tenang?" Sanggah Roni sengit. Merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan yang siap memojokkan dirinya.

Baik Maria maupun Ryan sama-sama bungkam. Memilih melanjutkan makan mereka dalam bungkam. Sampai beberapa saat kemudian Ryan lebih dulu menghabiskan makanannya. Dan berpamitan undur diri lebih dulu dengan alasan mengantuk dan ingin segera beristirahat.

Di tempat lain Ben tengah menikmati makan malamnya seorang diri. Di dalam kamar rawat Naresh yang masih setia memejamkan mata setelah satu jam yang lalu sempat mengalami kejang-kejang.

Meski sedikit tidak berselera, Ben terus memaksakan beberapa sendok nasi masuk ke dalam mulutnya. Menuruti sejenak cacing-cacing dalam perutnya yang sejak tadi pagi pun belum Ben isi apapun kecuali air putih.

Saat ujung ekor matanya menangkap gerak dari orang yang sedari tadi menyita atensinya, Ben sukses bangkit dari duduknya. Meninggalkan begitu saja makan malam yang memang tidak ia kehendaki guna memberingsut lebih dekat dengan sosok itu.

Naresh melenguh dalam pejam. Dahinya sedikit basah oleh keringat. Alisnya bertautan, geraknya pun terlihat gelisah, isyarat tanda bahwa Naresh sedang mengalami mimpi buruk.

"Naresh?" Ben menepuk bahunya. Mengusap dahi Naresh menggunakan telapak tangannya. Yang kemudian disusul respon dari Naresh yang membuka matanya.

"Dokter?" Bingung Naresh.

Beberapa detik Ben biarkan situasi menghening dalam bungkam. Membiarkan Naresh meneliti kesekitar ruangannya. Yang tentu pasti ruangan yang tidak asing baginya. Pasalnya baru beberapa hari ia tinggalkan, tapi kembali dalam jangka waktu tidak lama.

"Kok aku bisa di sini lagi, Dok? Kak Ryan mana?"

"Kondisi kamu masih belum stabil. Kamu masih demam. Lebih baik kamu sekarang istirahat dulu ya. Masalah kakak kamu nanti Dokter ceritain tapi nunggu kamu bener-bener sembuh."

"Emangnya Kakak aku dimana, Dok?"

"Dia ada disuatu tempat. Tempatnya aman yang jelas. Kamu tenang aja. Nanti kalo kamu udah sembuh dia pasti jenguk kamu."

"Tapi Dokter belum jawab pertanyaan aku. Kok aku bisa di sini lagi?"

Ben menghela napas pendek. Menegakkan tubuh dan melangkah mundur menjauh. "Dokter baru ingat kalau ada janji. Lebih baik kamu istirahat. Dokter tinggal sebentar ya," alibi Ben.

Naresh mendesah pasrah. Kembali menatap langit-langit ruangannya dalam diam. Menerawang jauh tembus lewat sana.

---

"Ryan."

Si empu menengok keasal suara. Dimana Roni sudah berada diambang pintu kamarnya. Masuk ke dalam tanpa seizinnya lalu menutup pintu pelan-pelan.

"Ada yang mau Ayah sampaikan ke kamu," sambung Roni setelah memberi jarak beberapa langkah dari Ryan yang berdiri di depan jendela kamarnya.

"Apa?"

"Ayah harap kamu bisa memahami posisi kamu sekarang ini."

Ryan memutar tubuhnya. Menatap dingin sosok yang lebih tua dari dirinya. "Maksud Ayah?"

"Hargai usaha Ibumu. Jadilah selayaknya seorang anak yang baik dan patuh. Ayah mohon lupakan masa lalu kita dulu. Buka lembaran baru dalam hidupmu. Ayah minta maaf atas semuanya."

Ryan mencebik. Menghembuskan napasnya kasar sekali dengan sudut bibir terangkat sebentar. "Ayah kira dengan maaf Ayah sekarang ini, semua yang dulu aku lalui akan menghilang? Gitu?"

Roni mendongak. Menatap putranya sendu. Namun, Ryan tak menghiraukan gurat itu sedikitpun. Ryan memilih memutar tubuh lagi menghadap keluar jendela setelah berucap demikian.

"Ayah nggak tau gimana beratnya hari-hari Ryan dulu, kan? Hampir setiap hari aku disuntik. Tanpa tahu obat apa itu dan sakit apa aku. Lengan aku bengkak dan mereka nggak peduli. Aku tau itu semua pasti atas perintah dari Ayah, 'kan? Tapi kenapa, kenapa Ayah nyuruh mereka nglakuin itu ke aku. Anak kandung Ayah sendiri. Kenapa bukan orang lain atau ... Ke diri Ayah sendiri?"

Rahang Ryan mengeras menahan amarah.

"Sampai kapanpun Ayah nggak akan pernah bilang ke aku apa alasannya, 'kan? Percuma." Membuang napas Ryan mencoba tenang. Yang kemudian memutar tubuh lagi menghadap Roni dan berkata, "Sekarang aku mau ketemu Naresh."

Roni membelalak kaget. Maju lebih dekat sampai dapat meraih bahu lebar putranya. "Sekarang sudah malam. Ibumu nanti curiga. Ayah mohon jangan ungkit masalah anak itu untuk beberapa hari kedepan. Nanti jika sudah waktunya Ayah janji, Ayah akan bawa kamu bertemu dengan anak itu."

Ryan menepis kedua tangan berkerut itu. Masih mempertahankan tatap dingin miliknya menembus iris kecoklatan milik Roni. "Apa yang Ayah lakuin ke Naresh?! Apa yang Ayah sembunyiin dari aku?!"

"Ayah nggak apa-apain, Naresh. Suruhan Ayah sudah bawa dia ke rumah sakit keluarga. Di kamar yang sama dengan kamar yang waktu itu. Tapi untuk sekarang ini Ayah mohon jangan ungkit masalah anak itu. Terlebih lagi di depan ibumu. Untuk beberapa hari tolong lupakan anak itu sebentar."

"Ayah pikir itu mudah?"

Tak disangka Roni mendekat. Meraih tangan putranya dengan tatap penuh permohonan. "Ayah mohon."

"Kenapa Ayah beda? Awalnya Ayah nyuruh aku dengan berbagai ancaman. Tapi kenapa sekarang Ayah seperti ketakutan? Sebenarnya apa yang Ayah sembunyiin dari aku sama Ibu?"

Tbc










Seketika aku kehilangan kemampuan nulis aku lagi. Kayak kejebak didimensi yang beda.


BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang