17;

1K 122 10
                                    

Sudah hampir tiga minggu lamanya Naresh mendekam di rumah sakit tersebut. Semenjak kedatangannya, memang tak akan ada izin dari Dokter Gani supaya masa tahanannya diringankan seperti biasanya. Rawat jalan sudah tidak efektif lagi bagi tubuhnya. Mengingat selama tiga minggu ini saja; masih di rawat di rumah sakit, Naresh masih berulang kali drop dan tumbang diwaktu yang tak terduga.

Namun, diwaktu 3 hari ini kondisi Naresh berangsur membaik. Sampai-sampai Dokter Gani memberinya satu pernyataan baik kalau Naresh bisa pulang jika kondisinya semakin meningkat. Meski Ryan menjadi jarang bahkan tidak pernah ada waktu untuk Naresh. Alasannya singkat, Ryan mulai bekerja sampingan yang membuat waktunya habis untuk itu semua.

Bukan tanpa alasan, kondisi Naresh yang perlahan membaik memang karna kemauannya. Tekadnya adalah untuk sembuh. Naresh bisa pulang dan akan mulai membantu Ryan mencari uang. Masalah sekolah ... Ah, Naresh pikir itu semua percuma. Karna waktunya tidak akan banyak lagi. Yang terpenting baginya sekarang adalah untuk tetap bertahan bersama Ryan.

"Hasilnya bagus. Jadi besok kamu sudah boleh pulang," ucap Dokter Gani setelah memeriksa kondisi Naresh malam ini.

Binar diwajahnya berpancar lebih terang. Membuat semangat hidupnya kembali tumbuh meski waktunya singkat.

"Serius, Dok?!" Seru Naresh memastikan. Dokter Gani mengangguk mantap.

Tanpa diduga pintu kamar terbuka perlahan. Menampakkan sosok kusut lusuh yang langsung masuk ke dalam sana.

"Selamat malam," sapa Ryan. Melangkah gontai dengan punggung sedikit membungkuk.

"Ryan? Kamu kenapa?" Tanya Dokter Gani. Merasa aneh dengan gerak-gerik Ryan malam ini.

Merebahkan tubuh pada sofa, Ryan mendesah keras. Ah, sungguh rasanya lega. Setelah beberapa jam menahan nyeri pada punggungnya.

"Ah! Pegel, Dok. Capek!" Adunya. Meski matanya memejam melepas lelah.

"Kakak habis dari mana? Keliatan kotor banget?" Tanya Naresh saat mendapati sepatu yang dipakai Ryan kotor dengan tanah.

"Kerja," jawabnya singkat. "Oh iya, Dokter kesini malam-malam. Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Saya kesini hanya untuk memastikan kondisi Naresh sebelum pulang."

"Trus gimana hasilnya?"

"Besok aku boleh pulang, Kak!" Naresh menyerobot dengan cepat.

Kalimat tersebut sukses membuat Ryan bangkit dari sofa. Bukan bahagia, Ryan justru menatap keduanya keheranan. "Yakin? Bukannya ...." Ryan menjeda kalimatnya.

"Kata Dokter kondisi aku sekarang baik-baik aja. Jadi bisa rawat jalan kayak biasanya. Iya 'kan, Dok?"

"Benar. Lagi pula Om kasihan Naresh kalo lama-lama di sini. Dia pasti suntuk. Pingen sekolah," Dokter Gani menimpali.

Ryan melangkahkan kakinya mendekat keranjang sang adik. Meraih wajahnya dengan mata meneliti tiap sudut dari ukiran wajah sang adik yang tampak tanpa cacat.

"Kamu lagi nggak bohong 'kan sembuhnya?"

"Kamu tenang saja, Ryan. Saya bisa pastikan kalau Naresh benar-benar bisa saya perbolehkan pulang kali ini. Emm ... Maaf saya harus pulang lebih dulu. Permisi."

Ryan mengangguk. Membimbing Dokter Gani keluar dengan tatap mata tak terlepas. Begitu juga dengan tangannya, tak lepas menempel pada pipi sang adik.

"Kak." Ryan menoleh ke bawah. Dimana wajah Naresh terlihat berisi dengan bibir membuka. Mirip seperti ikan yang baru keluar dari dalam air.

"Tangan Kakak kasar." Naresh menepis tangan sang kakak. Lalu meraihnya kemudian memperhatikan telapaknya yang tampak keras karna kapalan. (Kapalan artinya mengalami penebalan atau pengerasan pada tangan atau kaki)

"Kok tangan Kakak jadi begini? Kakak sebenernya kerja sampingan apa?" Tanya Naresh penuh selidik.

"Em ... Enggak. Cuma karna sering pegang-pegang kardus aja jadi begini."

Alis Naresh saling bertautan. "Kardus-kardus?"

"Iya. Kakak kerja mindah-mindahin kardus dari gudang ke mobil pengepul. Jadinya begini. Lagi pula nggak apa-apa kok. Nggak sakit."

"Pasti berat ya, 'Kak? Naresh janji bakalan sembuh. Kakak tenang aja, sebentar lagi aku boleh pulang jadi bisa bantuin Kakak nyari uang."

"Jangan! Nggak usah aneh-aneh, Resh. Kamu cukup jaga diri di rumah nanti. Masalah cari uang biar Kakak aja yang mikir. Mengerti?"

Wajah pemuda itu tiba-tiba meredup. Bibirnya manyun maju dengan gemoynya. Membuat Ryan tanpa sadar mencubit bibirnya lalu berkata, "Udah tidur. Udah malem. Kakak mau mandi dulu."

Mengusak puncak rambut Naresh singkat kemudian berlalu masuk ke dalam kamar mandi.

20 menit kemudian Ryan keluar dari dalam kamar mandi. Langsung menemukan sang adik meringkuk damai di balik selimut tebal yang membungkusnya.

Ryan menggeleng beberapa kali. Tersenyum gemas sembari beranjak mendekati sofa dengan handuk kecil bertengger di atas rambut basahnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 22.15 WIB. Waktu yang tepat untuknya beristirahat. Namun, yang Ryan pilih bukan segera tidur. Ia meraih ponselnya yang sedari tadi teronggok di sana. Membuka aplikasi YouTube guna menemani insomnianya malam ini.

Waktu istirahat Ryan benar-benar terpangkas habis. Hampir tidak ada. Berangkat jam 6 lalu pulang jam 9 malam. Begininya hidup. Semua itu demi Naresh.

Disela menonton, sebelah tangannya meraba bagian belakang punggungnya. Memijatnya perlahan guna mengurai pegal-pegal yang bertumpuk di sana.

Mengangkat adukan semen nyatanya lebih berat dari menggendong Naresh. Apalagi kakinya, setelah berdiri di depan meja kasir, setelahnya masih ia bawa berjalan bolak-balik. Mengangkat adukan semen berpindah tempat cukup jauh.

Tubuh Ryan tersentak kaget saat tiba-tiba terasa sebuah tangan meraba di area punggungnya. Sempat ia sangka itu makhluk tak kasat mata. Namun, setelah memutar tubuhnya cepat Naresh; dengan wajah mengantuknya duduk di belakangnya. Memijat punggung Ryan pelan sembari terkantuk-kantuk.

"Kenapa bangun?" Tanya Ryan. Menghentikan aktifitas tangan Naresh.

"Kakak belum tidur."

"Belum ngantuk. Udah kamu tidur lagi sana. " Naresh menggeleng. Meski matanya sudah seperti 5 watt tapi ia masih berusaha tetap bangun untuk menemani sang kakak.

"Nggak usah bandel. Besok nggak jadi boleh pulang baru tau rasa," sambung Ryan.

Naresh terkekeh. Benar juga ya. Udara malam tidak baik untuknya.

Bersender di bahu sang kakak, Naresh kembali memejamkan matanya. "Aku tidur di sini sama Kakak kalo gitu," katanya.

Ryan berdecak. Dasar bocah. Untung adik.

Ryan bangkit begitu saja. Meraih selimut dari atas brangkar sang adik kemudian memakaikannya pada Naresh dengan cara membungkusnya.

"Sini. Tidur," titahnya. Menepuk kedua pahanya sebagai bantal.

Naresh menurut. Ia merebahkan tubuh berbalut selimutnya di atas pangkuan sang kakak. Setidaknya ia ada di sisi Ryan. Meski hanya raganya, Naresh rasa itu cukup.

Ryan kembali asyik dengan tontonannya di YouTube. Memangku wajahnya dengan sebelah tangan sampai dirasa matanya mulai memberat. Ryan mulai mengantuk.

Kali ini ia harus beristirahat. Menuruti badannya sebelum nantinya berulah dan berujung jatuh sakit.

Ryan membawa tubuh Naresh kembali ke atas brangkarnya. Menyamankan tidur sang adik di brangkar. Mengusak puncak rambut Naresh singkat kemudian kembali ke sofa.

Merebahkan tubuh di sana. Menutupinya dengan selimut kemudian memejam. Menggapai mimpi bersama sang adik dengan damai.

Tbc










-
-
-


BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang