19;

1K 116 6
                                    

Seharian penuh benar-benar mereka lalui dengan bermain. Baik Naresh, Darren bahkan Jeno tertawa riang tanpa beban. Sampai malam menjelang pun mereka masih sempat tertawa bersama. Sampai akhirnya tiba-tiba, dari bagian jok belakang mobil, Naresh tampak sudah diam tanpa suara. Tidur meringkuk di sana dengan bantal yang sudah memang tersedia di dalam mobil Jeno.

Pukul 9 malam ketiganya tiba di rumah kontrakan Ryan. Lengkap dengan Ryan yang tengah duduk di teras depan kontrakan. Tampaknya pemuda itu memang sedang menunggu mereka. Wajah lelahnya gambaran betapa bekerja kerasnya dia hari ini, namun terlihat khawatir ketika yang keluar dari dalam mobil Jeno hanya Jeno dan Darren.

"Kalian dari mana aja? Adik gue mana?" Tanya Ryan buru-buru menghampiri keduanya.

"Ada tuh di dalam mobil," sahut Jeno enteng.

Tanpa babibu lagi Ryan segera membuka pintu bagian jok belakang mobil. Dan langsung terkejut melihat Naresh meringkuk di sana. Terlihat pulas dalam tidur yang ia kira Naresh pingsan.

"Kalian apain adik gue?"

"Kenapa? Naresh oke kok. Dia cuma lagi tidur," sahut Darren segera. Ikut menghampiri lalu memperhatikan wajah Naresh dari arah berlawanan.

"Lo yakin?"

"Cek aja. Bangunin dia. Eh tapi kasian kalo di bangunin."

Bukannya mendengarkan, Ryan justru melakukan saran pertama Darren. Dengan pelan dan lembut ia mengguncang bahu sang adik. Memanggil namanya berulang kali, mencoba membangunkan.

Di tempatnya, Naresh melenguh pelan. Mengerjapkan mata berulang kali yang langsung duduk saat kedua tangannya terasa ditarik seseorang.

"Kamu nggak apa-apa?" Selidik Ryan.

Masih sedikit memejam, Naresh menggeleng. Sebelah tangannya sibuk mengucek mata. Mencoba memfokuskan pandangnya. "Ngantuk, Kak," keluhnya.

Ryan segera berbalik. Menuntun sang adik untuk naik ke atas punggungnya. Disusul kedua temannya yang ikut membantu mengemasi barang-barang milik Naresh.

Setelah menempatkan sang adik di kamar tidurnya. Merapikan posisi, memberi kenyamanan pada sang adik, Ryan bergegas menghampiri kedua sahabat se-gengnya yang masih menunggu di ruang depan. Tak lupa ia membawakan beberapa cemilan lengkap dengan air putih. Karna hanya air putih yang ia punya saat ini.

"Nah, gitu dong. Tau aja gue lagi haus berat," seru Darren yang kegirangan melihat seteko air yang baru saja Ryan bawa.

Menenggak air tanpa bantuan gelas membuat Ryan dan Jeno hanya bisa geleng-geleng saja. Merasakan tingkah laku teman mereka satu ini tidak akan ada habisnya pasti.

"Kalian dari mana aja tadi?" Tanya Ryan memecah keheningan yang baru beberapa detik tercipta.

"Jalan-jalan. Cuma muter-muterin mall sambil nurutin maunya Naresh," jelas Jeno padat.

"Lo tau nggak Naresh lucu banget sumpah. Fix gue beneran iri sama lo." Jeno melanjutkannya dengan wajah berubah melunak.

Ryan hanya menaikkan sebelah alisnya. Merasa aneh dengan Jeno malam ini.

"Lo nggak usah heran. Asal lo tau, seharian, selama sama Naresh tuh muka dia lentur gitu. Eh keblabasan," jelas Darren seolah menjelaskan pertanyaan Ryan.

Ryan mengulas senyum. Benar-benar mengucapkan terima kasih kepada keduanya yang telah mewarnai hari sang adik hari ini.

"Gue cuma mau bilang makasih banget ke kalian. Baru kali ini gue lihat tidur Naresh sedamai ini. Bahkan pas tidur dia sempet-sempetnya senyum. Gue rasa hari ini bener-bener hari spesialnya dia. Sekali lagi thanks bro!"

"Santai. Gue juga seneng kok liat adik lo seneng."

"Gue janji bayar semua yang Naresh minta dari lo."

"Nggak usah. Gue emang punya niatan beliin semuanya buat Naresh. So, lo nggak perlu ganti semuanya. Itu hadiah dari gue," jawab Jeno.

"Oh ... Oh ... Lo tau nggak, Yan ... Naresh tadi seneng banget liat lumba-lumba. Sampek jingkrak-jingkrak seneng kayak anak kecil. Sumpah gue pingen karungin," timpal Darren.

"Gue emang belum pernah bawa dia ke tempat-tempat begituan. Sibuk kerja buat gue lupa soal liburan. Jadi ini pertama kalinya buat dia." Ryan tersenyum getir. Memandangi kosong tembok kontrakannya.

"Gue bilang santai, Yan. Kita itu temen. Kita masing-masing punya kekurangan dan kelebihan beda-beda. So, tugas kita bersahabat itu buat saling melengkapi dan menolong tanpa mengharapkan imbalan."

Darren tergelak tawa kencang sekali. Saat mendengar Jeno tampak dewasa dan bijaksana malam ini. Apa sebesar itu pengaruh Naresh baginya?

Sudahlah, lupakan saya percakapan mereka malam ini sampai larut malam. Hingga pukul 2 pagi barulah Ryan mengusir kedua temannya itu. Karna ia lelah, butuh istirahat untuk kembali bugar keesokan paginya.

Merasa rindu, malam ini Ryan memutuskan tidur di kamar Naresh. Bukan hanya alibi, ia memang benar-benar merindukan sosok sang adik. Berharap hari ini ia mendapatkan libur dan bisa menjemput sang adik. Mengajaknya bermain seperti halnya yang dilakukan oleh Jeno dan juga Darren hari ini. Tapi ... Ya sudahlah. Ia banting tulang, bekerja siang malam juga untuk sang adik.

Pemuda dengan wajah kusut itu merebahkan tubuhnya pada kasur sempit sang adik. Kasur yang sebenarnya hanya muat untuk satu orang saja. Tapi tetap Ryan paksakan meski besok paginya ia akan merasakan pegal-pegal karna tidur dengan posisi miring.

Beberapa menit selanjutnya, Ryan belum bisa menjemput mimpinya. Kendati matanya sudah memerah karna mengantuk, legam irisnya masih terpaku pada wajah damai sang adik yang tanpa diminta memeluk tubuhnya dari samping. Seolah-olah Ryan adalah boneka beruang teman tidurnya.

Perlahan tangan Ryan bergerak ke atas. Menyisir lembut puncak kepala sang adik. Menghantarkan rasa nyaman bagi Naresh. Disertai degup jantung berirama tenang milik Ryan, membuat Naresh benar-benar merasa dilindungi.

Sampai tanpa sadar Ryan menyusul Naresh dalam mimpi.

---

"Selamat malam, Bos." Seru seseorang dari seberang sana setelah beberapa detik kemudian sebuah panggilan ia jawab.

Roni menjawabnya dengan sedikit gumaman. "Ada apa?"

"Saya mendapatkan info dari pihak rumah sakit kalau pasien atas nama Naresh Adiyaksa hari ini sudah diperbolehkan pulang."

"Sejak kapan?"

"Pagi tadi, Bos."

Di kursi kerjanya Roni menghembuskan napasnya kasar. Garis wajahnya mengeras meredam emosi.

"Saya tidak mau tau. Terus cari keberadaannya dimanapun itu. Dan segera kabari saya secepatnya!" Perintahnya telak. Memutus panggilan sepihak seenak jidatnya.

Otaknya kembali bekerja ekstra lagi. Memikirkan cara yang tepat untuk secepatnya membawa putranya kembali untuk sang istri.

Tbc


















-
-
-
Slow update ya, soalnya jadi ibu baru ternyata gak semudah kayak jadi istri baru xixixi

See you. Terima kasih untuk yang mau mampir 💜


BrotherlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang