2

54 7 6
                                    

Paris, 20 Mei 2018

Bukan suatu masalah terbang dari satu tempat ke tempat lainnya secara dadakan. Taksana Group is mine. Tapi gue harus terjebak dengan waktu yang kian lama kian melambat. Melambat di jalur negatif. Jika melambat untuk alasan menikmati sebuah hidup, salah besar. Melambat disini adalah karena gue yang ingin waktu berlalu lebih cepat dari biasanya, tapi malah melambat karena setiap detiknya terasa menyakitkan.

-Bulan-

2 hari sebelumnya...

"Apa kabar Bunda, Bapak?"

Sapa Nafa yang sangat santun dan sopan. Nafa memang anak yang sopan, karena mereka semua berasal dari budaya Jawa yang kental. Dimana seorang anak harus amat menghormati kedua orang tuanya.

"Baik nduk, kamu sama Bagas piye? Ono sing mengganggu opo ora?" (baik nak, kamu sama bagas gimana ? ada yang menggangu atau engga?)

Nafa melirik Bagas yang sedang mengemudi, tapi Bagas jelas langsung melirik ke arah Nafa karena ia dengan jelas mendengar pertanyaan Bundanya sendiri.

"Baik kok bu, Nafa sama Bagas juga udah pindah ke rumah yang di PI"

"Bagus to le, mosok istrimu di kon turu nang omah sempit mu jaman kuliah, yo ra pantes no le, le" (bagus dong nak, masa istrimu disuruh tidur dirumah sempitmu jaman kuliah, ya nggak pantes dong nak.)

Kali ini yang menjawab Bapak, Alias Wantono Taksana. Keluarga taksana memang terkenal tajir 14 turunan juga nggak abis, tapi mereka termasuk keluarga low profile. Tapi bukan yang sampe kemana mana naik mobil sekelas Avanza dan naik gojek kemana-mana. Prinsipnya adalah berbuatlah sesuai waktu dan tempat, sesuaikanlah sesuai arah dan kemampuan. Kalo waktunya mengharuskan pake jet pribadi keluar negri, ya sesuaikan, kalo tempatnya di gang sempit perkampungan harus naik motor atau berjalan kaki sekalipun, ya jalani aja. Jadi orang harus bisa mau di atas, mau di bawah. Roda kehidupan gaaakan berenti berputar. Emang harta mereka gaabis 14 turunan. Tapi kalo tiba-tiba harta mereka hilang di gondol genderuwo ya mana ada yang tau?

"Nduk piye? Wis ono gejala ngidam ngidam sing ngekon Bagas manjati wit blimbing wuluh durung nduk?" (Nak gimana? Udah ada gejala ngidam-ngidam yang nyuruh bagas buat manjat pohon belimbing wuluh belum?)

UHUK UHUK

Nafa tersedak salivanya sendiri tanpa sengaja, lagi-lagi ia melirik Bagas, kali ini tatapan tajam dan membunuh membuat Bagas sendiri bingung harus bereaksi apa untuk menimpali pertanyaan kedua orang tuanya. 'Gimana mau ngidam-ngidam bun, nyentuh macan taman safari ini aja Bagas belum pernah' suara dalam hatinya jelas, mana berani mulut bagas melontarkan dengan gamblang.

"nduk kamu arepane hoek hoek po piye nduk malih ngiklik koyo ngono? Gas mbok yo nek istrimu ndak penak awak e ndang di gowo nang RS mu lho yo, ngko nasib e putu ku piye"(Kamu mau muntah apa gimana nak? Malah batuk-batuk kaya gitu? Gas, kalo istri kamu ga enak badan buruan di bawa ke RS mu, nanti nasib cucuku gimana)

"Nafa gak kenapa napa bun, Cuma keselek aja tadi makan permen, hehe"

Nafa mengalihkan pembicaraan. Cucu? Mana mungkin. Sekalipun Nafa tidak pernah membayangkan memiliki keturunan dari seorang Bagaskara. Bahkan sejak hari pertama mereka menikah, mencium kening dan mencium tangan pun hanya dilakukan sebagai syarat prosesi pernikahan. Tentu saja semua hanya pencitraan belaka.

"Hoalah keselek, mbok yo ngati ati nduk. Tapi, iki bunda serius nakoni kalian lho yho. Sak gercep e poko e bunda karo mamimu wis ngarep arep putu lho yo..." (oh keselek, yang hati-hati dong nak. Tapi ini bunda serius nanya kalian loh ya. Se seceapatnya pokoknya bunda sama mamimu udah mengharapkan cucu).

Jurnal Harian BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang