Surabaya, 01 Juni 2018
Kerikil. Biar lah bongkahan kerikil kasar dan tajam menancap dalam seni kehidupanku yang masih jauh dari kata Bahagia. Tapi, untuk bunda, bisakah engkau biarkan dia hidup Bahagia tanpa memikul se butir kerikil saja di pundaknya? Ia sudah terlalu banyak menopang bongkahan batu jalanan untuk sampai di titik hidupnya kini. Biarlah semua bongkahan batu jalanan yang pernah ia pikul sendirian juga kerikil tajam menjadi bebanku saat ini.
-Bulan-
-0-
"Bunda udah bisa pulang hari ini kan ya mas?"
"Iya kayaknya, kamu kalo mau balik Jakarta duluan nggak papa"
"Nunggu Bunda aja"
"Naf"
"Hmm?"
Bagas dengan otaknya masih bekerja dengan keras, apa hal yang seperti ini wajib di ungkapkan pada Nafa.
"Aku mau batalin perjanjian kita"
"Hah? Gabisa gitu lah. Aku mau tetep batalin. Tetep 6 bulan setelah kita menikah."
"Naf, please. Bunda butuh kamu."
"Kalo urusan Bunda, setelah kita udahan pun aku tetep bakal berhubungan baik sama bunda kok."
"Tapi naf.."
"Gak mas. Aku udah ada Jeffrey."
Nafa melenggang pergi dari tempat duduk semula, perlahan punggungnya menghilang di pertigaan Lorong rumah sakit.
'Tapi aku juga butuh Bintang'.
-0-
"Bagas tenanan wani dewean? Nek ndak bunda tak disini sak wulan nggak popo lo le" (Bagas beneran berani sendiri? Kalo engga bunda bisa disini sebulan nggak apa apa loh nak)
Bunda pada anak tunggalnya yang genap berumur 15 tahun saat itu, Bunda harus sedikit berjuang karena Bapak saat itu – mengalami sebuah skandal, yang belum bisa Bagas pahami. Saat itu juga Bagas hendak melanjutkan Pendidikan di UI, Jakarta, maka dari itu, ia harus menempuh Sekolah Menengah Atas di Jakarta, agar lebih mudah untuknya mengikuti ujian dan satu domisili dengan kampus yang ia inginkan.
"Mboten sah bun, jarene bunda ndadak nang Belanda sak cepet e nyusuli Bapak? Emang e nopo to bun ndadak nyusul nang Belanda? Marai kesel Bunda o ." (Nggak usah bun, katanya Bunda harus secepatnya ke Belanda nyusulin Bapak? Emangnya kenapa sih bun harus nyusul segala? Kan bikin capek Bunda aja)
"Nggak popo nak, Bagas di inget bener – bener yho le, nek ngko Bagas sudah besar, kamu harus bisa bertanggungjawab sama istrimu kelak nak, nek kamu wis ngucap ikrar pernikahan ning ngarepane Bunda, karo Bundane istrimu nanti, jangan pernah dilanggar ya nak – apapun alasannya." (Nggak papa nak, Bagas di inget bener -bener ya nak, kalo nanti Bagas sudah besar, kamu harus bisa bertanggungjawan sama istrimu kelak, kalo kamu sudah mengucao ikrar pernikahan di depan Bunda juga Bunda istrimu nanti, jangan pernah di langgar ya nak, apapun alasannya)
"Iya bun, Bagas inget."
Bagas 15 tahun belum paham akan arti kalimat yang pernah Bunda katakan. Tapi Bagas 24 tahun, sudah cukup paham apa yang Bunda katakan saat itu. Bahwa sebuah ikrar penikahan, bukan suatu hal yang bisa di permainkan. 'Masalahnya udah janji bukan sesama manusia, tapi juga dengan tuhan juga semesta alam'. Apapun alasannya, gak bisa dibenarkan kalo cuman buat main – main. Maka dari itu, Bagas berusaha untuk akan terus menjaga ikrarnya sendiri – sampai kapanpun, sebisa mungkin, sekuat mungkin yang Bagas bisa lakukan. Sebuah awal yang salah bukan harus berakhir dengan salah kan? Buat apa diciptakan karet penghapus untuk menghapus goresan yang salah dalam sebuah coretan pensil, buat apa diciptakan akal semulanya untuk berfikir, kelak memperbaiki sebuah takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Harian Bulan
RomancePerang saudara yang terparah bukan memperebutkan harta maupun tahta. Tapi wanita juga cinta. -0- "Gue mau anak gue, legal jadi anak gue. Keputusan gue udah bulet. Separuh hidup gue sama dia, gue tau dia cinta sama gue. Jadi, lo harus secepetnya sele...