3 - Bahaya?

19 3 0
                                    

Langit perlahan semakin gelap seiring dengan bertambahnya waktu. Di salah satu rumah kecil di sudut gang, beberapa orang dengan pakaian nuansa hitamnya tampak duduk melingkar di sebuah meja.

"Lu yakin mau ngelakuin itu sekarang?" kata salah satu dari mereka.

"Iya. Gua udah gasabar lagi." Kata sebuah suara berat.

"Tapi Hari—"

"Udah deh! Lu pada tinggal ngejalanin apa yang gua suruh! Tugas dari gua gak susah ya, sat!" suara berat itu menggema di ruangan yang kini hening itu.

"Semuanya biar gua yang urus. Lagian ini masalah gua sama dia, kalian cuman gua suruh bawa dia doang. Gak nyampe nyakitin dia atau apapun itu!"

S-I-A-P-A-?

"Nes, ini udah jam 8 malem lho. Apa lu gak besok-besok aja ke rumah nyokap lu?" kata Lia saat melihat Nesa yang mulai membereskan barangnya satu persatu dan memasukannya ke tas.

"Aku lupa, Li. Sepupu aku pulang dari Australia hari ini. Pasti dia udah di rumah mama."

"Wat de! Maksud lo si Haje, Nes?"

Nesa menghentikan sebentar kegiatannya, "Iya, Hareld Jeremy."

"Tetep aja, Nes! Lu yakin mau ke rumah nyokap lu? Malem-malem gini?"

"Aku udah janji sama dia bakal nemuin dia di rumah mama."

"Perlu gua anter gak?"

"Ih! Aku udah gede kali. Bisa jaga diri."

"Yaudah beneran ya? Gua anter nyampe depan gedung aja ya." Kata Lia dibalas anggukan oleh Nesa.

.

Setelah berpamitan dengan Lia, Nesa segera pergi menuju halte bus terdekat. Ia melihat jamnya. Jika busnya tepat waktu, maka bus itu akan datang 15 menit lagi. Perjalanan ke rumah mamanya memakan waktu 45 menit dengan menggunakan bus. Mungkin ia akan sampai jam 9 lebih.

Baru beberapa menit menunggu, Nesa sudah merasa haus. Ia lalu pergi sebentar ke minimarket di seberang jalan. Setelah membayar, ia segera keluar dari minimarket.

"Duh, jalannya gelap banget kalau malem gini. Mana aku sendirian lagi."

Nesa berjalan menyusuri jalan kecil yang minim pencahayaan itu. Ia sudah biasa membeli sesuatu dengan Lia di minimarket ini, tapi entah kenapa suasana malam ini begitu berbeda dari biasanya.

Nesa hanya mengeratkan pegangan pada tasnya dan berjalan sedikit cepat.

Krek.

Suara itu membuat Nesa semakin ketakutan. Ia mempercepat langkahnya supaya bisa ke jalan besar yang lebih ramai dengan orang berlalu-lalang.

'Duh, kenapa jalannya panjang banget' kata Nesa di dalam hati.

Nesa semakin panik begitu mendengar suara langkah cepat di belakangnya. Ia buru-buru mempercepat langkahnya juga.

Tap!

Tiba-tiba sebuah tangan menariknya dengan cepat. Dengan reflek, Nesa berteriak dan memberontak, berusaha lepas dari genggaman tangan itu.

"Woi! Nes!"

"Lepass!!" Nesa menutup matanya erat dan terus memberontak.

"Nesa!! Ini gue! Gue Lino!!"

Nesa perlahan berhenti dan membuka matanya pelan. Dilihatnya wajah kebingungan Lino.

Dengan reflek, ia langsung memeluk Lino erat.

"Hiks... Kak Lino..." Nesa menangis kecil.

Lino yang sedikit terkejut itupun tetap berusaha tenang dan mengusap pelan punggung Nesa.

"Ssst...tenang, Nes. Ada gue disini..."

Cukup lama Lino menenangkan Nesa. Ia berhasil membujuknya menuju mobil Lino yang terparkir di pinggir jalan.

"Gua beli minum dulu, ya?" tanya Lino begitu mereka sama-sama duduk di dalam mobil Lino.

"Eng...jangan kak. Aku...aku takut..." kata Nesa pelan.

Lino mengusap pelan rambut Nesa, "Tenang. Disini udah jalan gede dan banyak orang. Bentar aja, ya?"

Nesa akhirnya mengangguk pelan. Lino pun menutup pintu mobil dan segera berlari ke kafe terdekat.

Sembari menunggu pesanannya selesai, mata Lino tak lepas dari mobilnya yang berada tak jauh dari jangkauan matanya. Ia menghela napas pelan.

"Hah...untung aja gua dateng tepat waktu." Kata Lino sambil tetap menatap ke arah mobilnya.

Tak lama kemudian pesanannya selesai dan Lino segera berjalan cepat menuju mobilnya.

"Nih..." Lino menjulurkan segelas kopi hangat yang baru ia beli tadi.

"A-aku gak minum kopi, kak..."

"Oh ya?" Lino menarik kembali kopi itu dan meminumnya sedikit sebelum kembali menaruhnya di saku mobil. "Kalau teh mau? Gua bisa beliin dulu—"

"Ga-gak usah, kak. Aku cuman mau pulang aja."

"Ohh yaudah. Biar gua anter, ya?"

"Gausah, kak. Aku mau ke rumah mama aku soalnya. Cukup jauh kalau dari sini."

"Lho, gapapa kok. Lagian gua gak tega ninggalin cewek cantik kayak lo sendirian kayak tadi. Bisa-bisa lo nangis kejer kan kalo gak ada gua disitu?"

Nesa terdiam. Di dalam hatinya ia mengiyakan perkataan Lino.

"Udah, pokoknya lu arahin gua aja. Mau rumah lu ada di ujung pulau juga gua jabanin dah!"

"Hahaha..." Nesa tertawa kecil.

"Tuh, lo keliatan makin cantik kalau bahagia gitu. Gak kayak tadi 'huhuhu'" Lino memeragakan ekspresi Nesa tadi saat bertemu dengannya.

"Ih kak Lino! Jangan gitu.... Nesa kan tadi takut banget, kak. Soalnya kayak ada yang ngikutin Nesa gitu. Tapi untungnya ada kak Lino. Semoga tadi cuman perasaan Nesa aja sih kak."

Lino terdiam mendengar perkataan Nesa.

'Ternyata yang waktu itu Hari bilang bukan bercandaan doang...' Begitu pikirnya.

"Kak Lino?"

"Hm?" Lino tersadar lalu menoleh begitu Nesa memanggilnya.

"Ayo jalan kak. Keburu makin malem nanti kak Linonya jadi pulang lebih malem juga."

"Ohh iya iya. Kita berangkat sekarang ya."

Nesa mengangguk.

"Ohiya. Ini berarti udah termasuk hari pertama kita dong ya?" kata Lino tak berapa lama setelah mereka mengendara di tengah jalan raya.

"Hng?"

"Hari pertama proses pdkt kita, hehehe..."

Lino tertawa jahil. Ia tidak tahu kalau Nesa sedang tersipu malu dibalik tertawa canggungnya.

SIAPA?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang