62. Mengungkap Segalanya (Part 3)

1.1K 174 0
                                    

Aku merasakan sakit kepala dan mendengar isakan-isakan tangis yang entah darimana. Aku tersentak dan mataku terbuka sempurna melihat langit-langit kamar yang aku kenal. Ini adalah kamarku.

Aku menatap sekeliling, benar saja. Aku ada di kamarku. Bahkan kaca yang sebelumnya rusak sudah diperbaiki. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan.

Ingatanku kembali kepada kejadian yang aku rasakan beberapa waktu yang lalu. Sasha ... gadis itu. Argh! Aku sakit kepala sekarang. Ini semua sangat aneh, membuatku semakin kesal dengan kenyataan.

Jangan bilang yang dimaksud oleh Sasha itu adalah aku? Tapi aku tidak sakit apa-apa, dan tidak ada Shofia lagi dirumah ini selain aku jadi rasanya mustahil itu adalah orang lain.

Kumohon, ini tidaklah benar!

Lamunanku tiba-tiba buyar saat pintu kamarku dibuka secara tiba-tiba. Di ambang pintu, aku dapat melihat seorang gadis cantik dengan rambut yang berantakan dan mata yang sembab.

Aku mengerutkan dahi, mengapa tiba-tiba ada di sini?

"Echa? Kau ada di---"

Ucapanku terhenti saat Echa malah jatuh ke lantai sambil menangis histeris. Aku bangkit dari kasur dan merasakan kalau badanku sakit, mengabaikan hal itu aku berjalan hati-hati menuju ambang pintu.

"Om---maksudku Papah mu ... ditemukan meninggal dunia."

Aku terkekeh mendengar penuturan Echa yang kelewat ngawur. "Tidak boleh seperti, Cha. Omongan itu doa, kau tidak bisa berbicara seperti itu." ujarku mewanti-wanti.

Echa masih terisak sambil menggeleng kepala, "Aku tidak bohong, Shof. Apa bisa aku bermain-main dengan nyawa?"

Senyumku luntur seketika. Jantungku berdetak lebih cepat dan rasanya aku ingin terjatuh. "Apaan, sih. Pagi tadi aku baru chatting bersama dengan Papah." ujarku masih mempertahankan senyum.

"Shof! Aku tidak bercanda!"

Melihat raut wajah Echa membuatku semakin kalut. Aku segera berlari keluar dan melihat ada Tante Shifa yang menangis dan ada Abang Dean juga di sana.

"Ada apa tengah malam seperti ini?" tanyaku dengan suara bergetar. Tante Shifa tidak menjawab membuat nafasku semakin memburu. Aku melihat sekeliling dan mendapati Cleo, Mark, dan Megan yang sedang berdiri kaku.

"Ada apa malam-malam kayak gini?" tanyaku semakin frustasi saat mereka bertiga tidak mengatakan apa-apa.

Butiran air mata semakin deras keluar dari mataku. Aku merasakan lututku lemas saat melihat beberapa orang yang aku ketahui sebagai bodyguard Papah masuk sambil membawa ...

"Pa-pah!?" Demi Tuhan, aku langsung berlari memeluk Papah yang entah mengapa hanya diam dengan tubuh yang dingin. Tubuhku gemetaran, air mata terus saja mengalir tetapi tidak ada isakan yang keluar dari bibirku.

Aku mengelus lembut kepala Papah dan mencium pipi seorang pahlawan ku sedari kecil.

"Apa yang terjadi?" lirihku pada salah satu bawahan Papah.

"Menjawab nona, Tuan ditemukan sudah bersimbah darah di dalam kamarnya pada pukul setengah tiga sore tadi."

Aku mencengkram erat pakaian tidur terusan yang kupakai dengan tetesan-tetesan air mata yang terus mengalir.

"Sudah di autopsi?" tanyaku lagi masih memandangi Papah yang terbujur kaku.

"Sudah atas izin nyonya Shifa. Hasil autopsi mengatakan kalau Tuan bunuh diri menggunakan pisau karena tidak ada sidik jari lain di pisau itu. Polisi juga tidak melihat kejanggalan atau pembunuhan yang terjadi." jawabnya panjang lebar.

Bibirku bergetar hebat. Bunuh diri? Aku tidak yakin dengan hal itu mengingat Papah bukanlah orang yang bisa meninggalkan diriku sendiri di dunia yang kejam ini. Aku tersenyum sinis, tidak ada pelaku lagi selain sosok monster sialan itu!

"Waktu kematian?"

"Sekitaran pukul dua siang."

Aku tersenyum sinis, jam di mana aku meminta izin kepada Papah untuk pergi ke pesta. Itu adalah ... saat-saat terakhir Papah.

"Tuan meninggalkan sebuah flashdisk untuk anda. Polisi mengatakan kalau isinya tidak masuk akal," lanjut lelaki itu membuatku segera menoleh kearahnya dan mengambil flashdisk itu.

Cleo dan Echa mencoba memelukku tapi langsung aku tepis. Aku hanya tidak ingin lemah, biarlah aku seperti ini untuk sementara waktu. Aku tidak ingin melihat bagaimana rupa luka tusuk itu.

Aku mencium Papah sekali lagi sambil tersenyum manis. "Pemakaman besok, aku harap kalian semua dapat mempersiapkannya dengan baik. " ujarku pada bawahan-bawahan Papah.

"Suruh sekretaris Papah untuk menelepon ku besok pagi, kabarkan Abang Sean untuk segera pulang ke rumah. Dan aku ingin media dapat dikendalikan besok biar tidak ada berita simpang siur. Mohon bantuannya ..."

Aku kembali ke kamarku dengan langkah gontai. Ku tutup pintu itu dan tubuhku langsung jatuh pada lantai yang dingin. Aku sudah tidak bisa menyembunyikan isakanku.

Ini sangat menyakitkan, masih banyak masalah hidupku yang belum selesai tetapi sekarang Papah malah meninggalkan diriku. Sekarang aku sendirian, di dunia yang sangat mengerikan. Di mana semua orang bisa saja membuatku terpuruk, di mana banyak sosok makhluk lain yang menggangu diriku.

Semuanya hancur dalam satu waktu membuatku merasakan kalau hidupku begitu hambar. Aku sekarang hanyalah gadis yatim piatu yang mempunyai banyak masalah di pundak.

Entah apa yang terjadi besok hari, aku berharap kalau besok saat bangun tidur, ini hanyalah mimpi buruk. Mimpi yang hanya sesaat dan hanyalah bunga tidur yang menakutkan.

Aku menatap flashdisk itu dengan lekat. Aku merasa kalau ada sesuatu yang akan mengejutkan diriku jika mengetahui apa isi benda kecil ini. Entah apa itu ...

Aku merasakan kalau hidupku tidak akan seperti semula pada esok hari

 The Exorcists. I Am Indigo! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang